MALANG | TuguMalang.id – Pementasan tonil (sandiwara) naskah buatan Bung Karno berjudul Chungking Jakarta yang coba direproduksi seniman di Malang pada Selasa (30/8/2022) malam tak hanya sukses menuai tepuk tangan penonton. Namun juga pulang dengan tanda tanya.
Pasalnya, dalam salah satu adegan tonil legendaris tersebut juga terdapat slentingan dialog bernada satir yang menyiratkan sebuah pertanyaan. Adegan dialog itu muncul dalam adegan kedua tokoh sentral yakni Tian Kung Hoei dan Zakir Djohan menghadapi detik-detik hukuman meminum racun.
Konsekuensi ini mereka dapat karena uang senilai 250 ribu gulden yang dimandatkan pada mereka berdua untuk dikirim ke China hilang dicuri. Namun, dalam detik-detik menjemput maut itu Zakir punya ide untuk membeli obat penawar racun.
Di saat bersamaan, ada seorang tokoh perempuan bernama Saminah juga sedang dihadapkan pada situasi sulit karena akan dinikahkan secara paksa dengan Abu, seorang pribumi yang menjadi kaki tangan tokoh Jo Ho Sioe; penghianat perkumpulan yang menangkap Tjen dan Zakir.
Di saat Abu lengah, Zakir meminta tolong Saminah untuk membeli obat penawar racun di suatu tempat. Saminah menyanggupi, namun menyuruh adiknya yang bernama Amat pergi untuk membelinya. Disitu, Amat menanyakan lokasi tempat persisnya membeli obat penawar racun tersebut.
Saminah : Amat! Amat! Kemari sebentar! (Amat datang) Amat, tolong engkau pergi ke Tanjungpura, belikan obat ini di apotek.
Amat : Di manakah apotek itu kakak?
Saminah : Itu lo, di jalan simpang 3, rumah yang tinggi, catnya warna merah?
Amat : Oh yang dekat kandang banyak (angsa, red)?
Saminah : Ya, yang sebelahnya kandang banteng, ada gedung DKM?
Amat : Ooh yang mau digusur?
Saminah : Yaa, betul. Lekas pergi.
Amat : Baik kakak! (Amat pergi)
Demikian sepenggal adegan dengan sisipan kritik satir penuh tanda tanya malam itu. Ditambah lagi, pada dialog ini, penonton justru menyambutnya dengan tepuk tangan meriah. Lalu, benarkah gedung Dewan Kesenian Malang (DKM) yang berlokasi di Jalan Majapahit, Kota Malang akan digusur?
Donny Kus Indarto, selaku sutradara pementasan tonil Chungking Jakarta itu mengakui jika dirinya dan tim produksi sengaja menyisipkan aspirasi kecil tersebut. Menurut Donny, ini merupakan bentuk kegelisahan banyak pihak, khususnya para seniman hingga budayawan.
Pasalnya, status gedung DKM yang menjadi denyut nadi aktivitas kesenian dan kebudayaan di Kota Malang itu terus menggantung. Padahal, tempat itu menjadi saksi riuh-rendahnya dinamika aktivitas kesenian dan budaya di Malang sejak 1973 silam.
Kata Donny, belakangan ini santer dikabarkan bahwa gedung DKM yang sudah ada sejak lama itu akan digusur entah dijadikan apa. Hingga saat ini, diakui Donny, tidak ada sosialisasi yang jelas dari pemerintah daerah terkait rencana itu.
”Yang dikhawatirkan kan nasib gedung DKM ini nanti mau diapakan, lalu kegiatan seni mau dimana? Lalu, seniman dan budayawan dikemanakan kan belum jelas. Dipindah kemana juga kami tidak tahu apa-apa. Tiba-tiba saja dapet kabar mau digusur,” ungkap Donny.
Keresahan tanpa ujung itu membuat Donny sengaja menyisipkan aspirasi itu dalam pementasan tonil yang digagas bersama DPC Relawan Perjuangan Demokrasi (Repdem) Malang tersebut. ”Ya kita nitip-nitip sedikitlah, kegelisahan kami bersama,” tandas Donny yang juga selaku sekretaris DKM tersebut.
Keresahan yang sama juga datang dari Ketua Umum DPC Repdem Kota Malang Faizal Riza yang meminta agar Pemkot Malang bisa melakukan langkah bijak sebelum mengambil keputusan. Mengingat DKM menjadi tempat bersejarah bagi para seniman dan budayawan menjadikan kesenian di Kota Malang jadi lebih hidup.
Sejauh ini, Pemkot Malang diketahui tak pernah melakukan sosialisasi secara jelas terkait masa depan DKM. Malah justru tiba-tiba ada informasi bahwa gedung DKM akan diratakan.
”Kami berharap untuk dibuka ruang mediasi seluas-luasnya bersama semua seniman dan budayawan untuk membahas nasib DKM kedepannya. Seperti legal kontrak misalnya, mengingat kepastian status kepemilikan asetnya ini juga belum jelas sampai hari ini,” kata Faizal.
Reporter: Ulul Azmy
editor: jatmiko