Akhmad Mukhlis*
“Susah-susah menjadi Profesor, malahan kena teguran berat berupa pemberhentian gara-gara ceklok”
Gurauan tersebut banyak terlontar ketika muncul edaran terkait pendisiplinan dosen di tempat kerja. Berdasarkan hasil audit kehadiran kerja data finger print, sebagian dosen diberikan teguran mulai ringan sampai pemberhentian dengan tidak hormat tidak atas permintaan sendiri. Sontak edaran tersebut menjadi pergunjingan dan perdebatan klasik, bagaimanakah seharusnya mengevaluasi kinerja dosen?
Dosen dalam regulasi
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 menyebut dosen sebagai pendidik profesional dan ilmuwan dengan tugas utama mentransformasikan, mengembangkan, dan menyebarluaskan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni melalui pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat. Dua hal terakhir dalam definisi tersebut merupakan hal khusus yang membedakan dosen dengan profesi lainnya. Selain melaksanakan pendidikan dengan mengajar, dosen juga berkewajiban melaksanakan kewajiban lain berupa penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat atau biasa disebut Tri Dharma Perguruan Tinggi. Dengan kewajiban tersebut, dosen diharuskan bukan hanya untuk hadir mengajar, namun juga melakukan penelitian dan juga pengabdian kepada masyarakat. Dua hal terakhir inilah yang nantinya menimbulkan perdebatan klasik. Perdebatan terkait bagaimanakah mengatur kehadiran dosen, terlebih pada pasal 23 sampai pasal 30 PP Republik Indonesia Nomor 37 Tahun 2009 tentang Dosen juga disebutkan dengan jelas bahwa dosen mendapatkan perlindungan dan kebebasan dalam melaksanakan kewajibannya.
Masalah terkait kehadiran dosen muncul saat dosen adalah juga sebagai Aparatur Sipil Negara (ASN) Pegawai Negeri Sipil (PNS). Peraturan Pemerintah (PP) Republik Indonesia Nomor 94 Tahun 2021 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil dengan jelas mengatur tentang kedisiplinan kerja PNS, diantaranya adalah kewajiban untuk masuk kerja dan menaati ketentuan jam kerja (Pasal 4 poin f). Kelalaian dalam hal tersebut dapat mengakibatkan seorang dosen PNS terkena hukuman disiplin mulai ringan sampai berat.
Lebih lanjut, SE Menteri PANRB No.16/2022 poin ketiga, disebutkan bahwa ASN wajib menerapkan jam kerja sesuai dengan aturan yang telah berlaku. Adapun jumlah jam kerja yang ditetapkan bagi para ASN adalah paling sedikit 37,5 jam per minggu. Sementara lebih jauh, di lingkup Kementerian Agama melalui Peraturan Menteri Agama Nomor 5 tahun 2017 tentang Jam Kerja Dosen Pada Perguruan Tinggi Negeri Keagamaan lebih teknis menjelaskan bahwa hanya dosen dengan tugas tambahan (menduduki jabatan) yang memiliki kewajiban mengisi jam hadir sebanyak 37.5 jam per minggu. Sementara dosen yang tidak menjabat memiliki kewajiban dengan akumulasi yang berbeda sesuai kepangkatan fungsionalnya. Ambil contoh, seorang guru besar (profesor) hanya dituntut hadir di kampus minimal 9 jam per minggu.
Tentang hukuman dan kedisiplinan
Kedisiplinan adalah tema yang banyak dibicarakan dalam berbagai kajian keilmuan. Dalam hal mengoreksi perilaku buruk, psikologi menyebut terdapat perbedaan besar antara hukuman dan disiplin. Sementara hukuman (punishment) berfokus pada pemberian konsekuensi negatif (biasanya menyebabkan penderitaan) karena melanggar aturan, disiplin (discipline) adalah tentang memberikan edukasi terkait bagaimana membuat pilihan yang lebih baik di lain waktu.
Hukuman adalah tentang mengendalikan seseorang atau sekelompok orang, dia tidak mengajari subyek bagaimana mengendalikan perilaku dirinya atau kelompoknya. Dan yang paling sering, hukuman mengubah cara berpikir subyek terhukum tentang dirinya sendiri. Subjek terhukum mungkin mulai berpikir, “Aku salah.” Hukuman tidak mengarahkan kesadaran terkait pilihan buruk yang telah dipilih, subjek mungkin hanya percaya bahwa dirinya buruk dan salah. Akibatnya, banyak hukuman malah mengarahkan subjek dewasa untuk memberontak dan meawan balik, bukan malah memberbaiki pilihan-pilihan yang akan diambil di masa yang akan datang.
Berbeda dengan hukuman, pendisiplinan biasanya mengajarkan sesorang untuk memperoleh keterampilan baru, seperti mengelola perilaku yang lebih baik, memecahkan masalah dan menghadapi emosi yang tidak nyaman. Pada anak-anak, disiplin membantu mereka belajar dari kesalahan mereka dan mengajari mereka cara yang tepat secara sosial untuk menangani emosi, seperti kemarahan dan kekecewaan. Tujuannya umum pendisiplinan adalah untuk memberikan konsekuensi negatif yang jelas yang akan membantu subjek membuat keputusan yang lebih baik di masa depan.
Keluar dari simalakama presensi dosen
Sebagai profesi, sudah selayaknya dosen juga harus mendapatkan evaluasi atas proses dan hasil kerjanya, namun apakah evaluasi berdasarkan kehadiran fisik tepat?
Pada satu sisi, dosen dengan status ASN terikat jam kerja sesuai dengan regulasi di bawah Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PAN-RB), pada sisi lain kompleksitas pekerjaan dosen sangatlah variatif dan hal tersebut juga dilindungi oleh PP Republik Indonesia Nomor 37 Tahun 2009. Menjatuhi hukuman disiplin kepada dosen hanya berdasar kehadiran di kampus jelaslah bukan pilihan bijak, namun melihat kinerja dosen secara komprehensif dalam memenuhi tri dharma perguruan tinggi juga bukan persoalan yang mudah.
Sayangnya tidak mudah mendefinisikan jam kerja dosen jika melihat aturan-aturan lain yang terkait. KemenPan-RB dalam hal ini hanya mewajibkan kehadiran secara akumulatif sebanyak 37.5 jam per minggu. Masalah teknis lainnya, seperti bagaimanakah akumulasi tersebut dapat dipenuhi, sepertinya membutuhkan aturan yang lebih teknis pada instansi masing-masing tempat dosen bekerja.
Sangat tidak masuk akal memang jika dosen yang tidak menjabat harus datang dan pulang sesuai jam layanan perkantoran, padahal dirinya juga harus memenuhi kewajiban lainnya seperti penyiapan dan evaluasi perkuliahan, rangkaian kegiatan penelitian dan juga mengabdi kepada masyarakat dalam berbagai bentuknya. Sementara kasus di berbagai kampus, ruang kerja yang tersedia tidak sebanding dengan jumlah dosen. Jangankan untuk memberikan ruangan kerja pada setiap dosen, untuk menyediakan ruang perkuliahan saja banyak kampus menemui permasalahan.
Sudah saatnya terdapat penyatuan paradigma antara universitas tempat bernaung dosen ASN dengan auditor internal maupun eksternal dalam memandang profesi dosen. Hal ini penting untuk meningkatkan perangkat yang komprehensif untuk melihat ketercapaian kinerja dosen. Kinerja jelas sangat berkaitan dengan target yang disepakati terkait jenis pekerjaan yang memang seharusnya dilakukan oleh dosen. Masa iya, kecakapan seniman music diuji dengan kemampuan dia mengocek bola sepak?
Regulasi telah mengatur kewajiban utama dosen, selayaknya kepentingan mengevaluasi kinerja dosen dikembalikan pada pemenuhan kewajiban tersebut. Seperti apa perangkat mengajar dan pelaksanaannya, seperti apa hasil penelitiannya dan bagaimana perannya dalam masyarakat. Target kinerja individual dosen bisa menjadi salah satu hal yang mungkin dapat memecahkan perdebatan klasik terkait haruskan dosen melakukan presensi harian. Dengan begitu, dosen akan dikembalikan pada marwahnya seperti tertera dalam perundangan, yaitu pendidik professional yang memiliki tugas utama mentransformasikan, mengembangkan, dan menyebarluaskan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni, bukan makhluk yang takluk pada mesin pencatat kehadiran.
*Dosen PIAUD UIN Maliki Malang
—
Terima kasih sudah membaca artikel kami. Ikuti media sosial kami yakni Instagram @tugumalangid , Facebook Tugu Malang ID ,
Youtube Tugu Malang ID , dan Twitter @tugumalang_id