Tidak banyak yang tahu bahwa di kawasan Waduk Selorejo, Kecamatan Ngantang, Kabupaten Malang menyimpan surga kopi yang tak kalah harum aromanya. Seperti halnya Amstirdam (Ampelgading, Tirtoyudo dan Dampit) yang selama ini sudah lebih dulu populer.
Tugumalang.id – Harum aroma kopi menguar kuat dari sebuah rumah di pelosok Dusun Gagar, Desa Tulungrejo, Kecamatan Ngantang, Kabupaten Malang, Jawa Timur. Lokasinya tak jauh dari Waduk Selorejo, sekira 9 kilometer atau 20 menit perjalanan dengan motor.
Dari dalam petak rumah kecil itu rupanya menjadi ‘laboratorium’ kopi sederhana sepasang suami istri, Siswanto (39) dan Yetik Ratnaningsih (30). Sehari-hari, keduanya sudah disibukkan dengan pengolahan biji kopi berkualitas mereka yang dinamai Selo Parang.
Dari ribuan hektare kebun kopi yang ada di Ngantang, Kopi Selo Parang menjadi varian jenis kopi produksi skala rumahan yang mampu berbicara banyak. Baru saja diproduksi pada 2019-an, Kopi Selo Parang sudah banyak dikirim ke berbagai wilayah.
Baca Juga: Amstirdam Coffee dan Ambisinya Mempopulerkan Kopi Robusta Asal Malang
“Alhamdulillah, sekarang sudah banyak yang pesan. Mulai di Malang Raya, Probolinggo, Pasuruan, Surabaya. Paling jauh ke Bali,” ungkap Siswanto pada tugumalang.id.
Kendati demikian, butuh waktu dan inovasi berkali-kali untuk Siswanto menemukan cita rasa yang khas seperti saat ini. Selain dari lokasi geografis yang mendukung, Siswanto masih harus meracik berbagai macam cara sebelum menemukan rasa yang pas.
Secara metode pengolahannya, kini mereka sudah jauh lebih berkembang dibanding masa awal yang masih tradisional. Mulai tahapan sortasi, metode pengeringan hingga proses sangrai yang sudah menggunakan beragam teknik dan alat.
Berbicara cita rasa, Kopi Selo Parang mempunyai rasa pahit yang khas dengan kadar kafein yang tinggi. Tentu saja, apa yang terlintas di benak Anda ketika menyesap kopi ini adalah keindahan Waduk Selorejo seluas 650 hektare itu.
Baca Juga: 7 Tips Sukses Bisnis Kedai Kopi yang Menguntungkan
Terlebih, jika membincangkan soal penamaannya yang cukup unik karena mengacu dari lokasi pohon kopi yang ditanam oleh Wong Tani Sumber Lancar tersebut berada di kawasan bukit tebing. Kawasan geografis seperti itu disebut masyarakat sekitar dengan nama Selo Parang.
“Di sana, saya menyewa lahan sekitar 2 hektare milik Perhutani, dengan ketinggian 1.000 mdpl, di kawasan bukit batu tebing. Nama Selo Parang juga punya arti lain yaitu senjata,” kisah ayah satu anak itu.
Bangkit Pasca Jadi UMKM Binaan Perum Jasa Tirta 1
Usaha Siswanto mengembangkan budidaya kopi hingga sejauh ini diakuinya berkat menjadi UMKM binaan Perum Jasa Tirta 1 dari kerja sama Program Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan (TJSL).
Dari situlah, Siswanto mendapatkan kemudahan akses bantuan permodalan dan pembinaan. Mulai hulu hingga hilir, dari tahap produksi hingga pemasaran.
Mulanya, Siswanto hanyalah seorang buruh tani serabutan dengan penghasilan tak menentu. Bahkan dia hanya punya modal awal Rp2 juta saja untuk mengembangkan usahanya itu. Namun, dia tidak menyerah begitu saja. Daya kreativitasnya justru semakin terasah.
Meski sempat terpuruk, buktinya Siswanto berhasil bangkit. Bahkan, berkat kegigihannya, harga kopi di Kecamatan Ngantang meroket naik dari yang awalnya dihargai hanya Rp70 ribu, kini naik dua kali lipat di angka Rp120-150 ribu per kilogram.
Dulu, Siswanto bersama istrinya hanya mampu mengolah biji kopi tidak sampai satu ton. Kini, dengan berbagai alat yang dimilikinya, dia sudah mampu menghasilkan 12 ton buah kopi dengan cita rasa khas yang tetap terjaga.
Bahkan kini, Siswanto juga sudah mengembangkan produksi bubuk kopinya ke dalam beberapa varian. Mulai dari robusta, kopi robusta fermentasi, kopi lanang, kopi arabica hingga excelso.
Waktunya Naik Kelas
Kopi Selo Parang menjadi satu dari ratusan produk UMKM binaan PJT I yang berkembang paling pesat. Hal ini diakui oleh Direktur Operasional Perum Jasa Tirta 1, Ir Milfan Rantawi MM. Bahkan, dirinya tak menyangka jika perkembangannya sepesat sekarang.
“Kami lihat progresnya signifikan sekali. Dari proses sangrai, dulu masih tradisional. Satu orang hanya bisa produksi 3 kilogram. Sekarang dalam 1 jam sudah bisa produksi 9 kilogram, tanpa mengurangi kualitas biji kopi,” ujar Milfan saat berkunjung ke sana.
Selain itu, UMKM Kopi Selo Parang juga sudah mulai mengembangkan pemasarannya lewat online dan bahkan memberdayakan masyarakat sekitar. Milfan terkesan dengan kegigihan UMKM binaannya ini sehingga menurutnya, UMKM ini sudah waktunya naik kelas.
“Soal itu (naik kelas, red) nanti akan jadi tugas kami. Nanti mulai dari tahapan hulu hingga hilir akan kami kawal. Tujuan kami kepada UMKM binaan itu bisa sampai level yang tinggi. Kalau bisa, ekspor ke Vietnam atau Timor Leste,” tegasnya.
PJT I sebagai salah satu BUMN punya kewajiban dalam membangun perekonomian nasional melalui program TJSL. Namun tidak hanya berorientasi pada keuntungan semata, tetapi juga memperhatikan kondisi sosial dan lingkungan serta ekonomi berkelanjutan.
Total ada sekitar 400 UMKM binaan di bawah PJT I di seluruh wilayah kerjanya yakni WS Brantas, WS Bengawan Solo, WS Jratun Seluna, WS Serayu Bogowonto, dan WS Toba Asahan. Namun yang benar-benar serius hanya beberapa.
“Nah, Kopi Selo Parang ini saya salut sekali dengan semangatnya. Jadi gak hanya sekedar dapat uang saja. Kalau ada kemauan berkembang, ya akan terus kita dorong,” ucapnya.
Menurutnya melalui fungsi TJSL dan peran sebagai BUMN, Jasa Tirta 1 berpartisipasi aktif dalam upaya membantu UMKM khususnya mitra binaan yang terdampak pandemi Covid-19.
“Kami bantu UMKM bertahan, bangkit dan maju bersama, dengan memberikan bantuan program kemitraan, pendidikan dan pelatihan mengelola keuangan dan mengenalkan produk UMKM ke masyarakat,” tandasnya.
Reporter: M Ulul Azmy
Editor: Herlianto. A