Oleh: Soejatmiko, Redaktur Tugumalang.id
Tugumalang.id – Saya masih ingat betul, tiga hari jelang pilkada serentak 5 tahun lalu, beberapa tetangga berkumpul di gardu ronda kampung depan kediaman saya. Salah seorang teman yang sehari-harinya bekerja sebagai driver Ojol tanya ke saya. ‘’Piye cak, sudah dapat kabar. KTP sampeyan sudah diminta Pak Anu,’’ katanya.
Tiga orang di belakang tetangga saya itu juga berkata dengan ucapan yang hampir sama. Lalu saya katakan, ‘’Saya bukan penduduk sini. Istri saya yang penduduk sini. Pak Anu sudah minta KTP istri saya, tapi dia ndak memberikan,’’ kata saya.
Pak Anu itu ketua RT tempat saya dan keluarga tinggal. Sedangkan saya memang masih belum pindah KTP. Saya masih tercatat sebagai warga luar kota ini.
‘’Sudah ada kabar dari Pak Anu, kapan sawerannya turun dan berapa,’’ kata teman yang lain berkaca mata minus.
Baca Juga: Pesantren sebagai Ekosistem Nilai
‘’Katanya sih besok… kabarnya RT kita dapatnya 100 ribuan,’’ kata teman lainnya spontan.
Teman saya yang driver ojol itu langsung terdiam. Mimiknya terlihat seperti kecewa. Lalu dia cerita kalau RT sebelah sudah terima Rp 200 ribuan per KTP, untuk mendukung pasangan calon wali kota incumbent. Nota bene juga yang saweran tempat kampung saya tinggal juga untuk mendukung wali kota incumbent. Sebutan saweran itu plesetan dari amplop serangan fajar dari salah satu tim calon wali kota tempat saya tinggal.
Karena saya sendiri bukan penduduk asli kota ini, maka saya juga tidak mau pusing dengan urusan saweran atau serangan fajar. Tapi terkait saweran itu sepekan ini jadi pokok bahasan utama Ketika kumpul.
Setiap kumpul Bersama, saya selalu bilang pada mereka, bila saweran itu sudah melanggar undang-undang. ‘’Itu merusak tatanan demokrasi…lho,’’ kata saya pada mereka.
Baca Juga: Kejahatan Penipuan Online
Tentu apa yang saya sampaikan itu dianggap terlalu berlebihan bagi mereka. ‘’Demokrasi wis onok sing ngurus cak, sekarang sepatu buat sekolah anakku jebol, butuh dibelikan baru, siapa yang urus, dapat saweran kan lumayan, buat beli sepatu,’’ kata salah seorang tetangga yang sehari-harinya juru parkir di salah satu restoran di tepi jalan dekat rumah.
Lain halnya dengan salah seorang tetangga sebelah rumah, yang usianya sudah 45-an, anak dua, istrinya baru melahirkan anak kedua. ‘’Saya butuh saweran itu, buat tambahan beli susu anakku. Nantilah kalau ekonomiku bagus, saya ndak nrima saweran lagi,’’ kata tetangga yang sehari-harinya bekerja sebagai tukang tambal ban.
Mendapat jawaban seperti itu, saya juga tak ingin berdebat lebih jauh. Seperti debat di televisi. Saya memahami mereka. Apalagi kondisi perekonomian mereka. Berdebat lebih jauh, bisa-bisa jadi musuh dalam selimut. Rasanya tidak enak punya musuh tetangga sendiri. Tiap hari bertemu. Kalau punya hajad, ya tetangga yang membantu. Apalagi Ketika sakit, tetangga yang paling awal menjenguk.
Saya akhirnya tak lagi ngoceh soal demokrasi dan pemilu jujur dan adil yang saya cermati di televisi maupun di plaform sosial di Youtube, maupun di X.
Saya jadi teringat video youtube Rocky Gerung 10 tahun lalu di channel ‘Sahabat ICW’. Saat itu Rocky menyampaikan orasinya saat deklarasi Tidak Politik Uang di Taman Ismail Marzuki yang dihelat ICW.
Rocky cerita sebuah desa di Jawa (orang Jakarta menyebut Jateng dan Jatim itu Jawa) terang-terangan menerima serangan fajar.
‘’Saya baca poster lain di mulut desa di sebuah kampung di Jawa. di gerbang desa itu spanduknya bunyinya begini, saya kutip secara peribadi, Pilkada adalah perang uang. Kami menerima serangan fajar. jadi anda lihat bahwa ada jarak moral antara apa yang dikampanyekan di sini dan fakta di lapangan,’’ katanya.
Lalu Roky melanjutkan, bila dinalisa apa sebetulnya isi Spanduk itu? Itu adalah undangan terang-terangan pada partai politik untuk membawa uang ke kampung-kampung ke TPS dan jangan bawa pikiran.
‘’Semacam sinisme mungkin. Tetapi, kemiskinan di desa itu membuat sinisme itu berkumpul menjadi pragmatisme. Itu sebetulnya target kampanye kita, yaitu mencegah jangan sampai sinisme terhadap politik uang berkumpul menjadi pragmatisme karena kemiskinan di desa,’’ kata Rocky melanjutkan.
Sejak reformasi dan pemilu berjalan, ajakan tolak politik uang telah dilakukan 10 tahun ini dengan gencar dilakukan, terutama jelang pemilu, pileg, maupun pilkada. Mulai lembaga pemilu seperti KPU, Bawaslu, sampai dengan ICW. Belum lagi komunitas mahasiswa atau anak muda, menggelorakan tolak politik uang. Tak tanggung-tanggung dengan munculnya platform sosial media, kampanye terus digelorakan.
Kampanye tolak politik uang melalui sosial media itu juga dilihat para tetangga saya yang ngotot tetap terima saweran. Kalau sudah melihat kampanye tolak politik uang di channel youtube, mereka hanya bilang. ‘’Memang kalian bisa membelikan susu anakku. Toh kalaupun wali kota itu jadi, apa ekonomi keluarga saya makin baik. Daripada gak terima apa-apa, lebih baik terima sawerannya sekarang.’’
Seperti Rocky bilang, bahwa sinisme itu membawa pada pragmatisme. Kemiskinan rakyat dalam Pilkada, membawa pragmatisme.
Nah, lho..
Baca Juga Berita Tugumalang.id di Google News
Editor: Herlianto. A