MALANG, Tugumalang.id – Tepat hari ini 1 Oktober 2024, merupakan tahun kedua sejarah paling kelam sepak bola Indonesia yakni insiden Tragedi Kanjuruhan pada 1 Oktober 2022 lalu usai laga Arema FC vs Persebaya Surabaya di Stadion Kanjuruhan Kepanjen, Kabupaten Malang.
Laga yang berakhir dengan skor 2-3 untuk kemenangan Persebaya itu berakhir dengan duka setelah 135 korban meregang nyawa pasca laga bertajuk Derby Jatim itu.
Chaos antara oknum suporter dan aparat keamanan berujung pada penembakan gas air mata yang membuat suporter panik meninggalkan tribun stadion dan akhirnya saling berdesak-desakan hingga menyebabkan banyaknya korban jiwa.
Baca Juga: Keluarga Korban Usul Ada Tangan Memegang Syal Arema di Monumen Tragedi Kanjuruhan
Tragedi Kanjuruhan menjadi noda hitam sejarah sepak bola Indonesia sebagai tragedi sepak bola paling mematikan di Indonesia. Serta nomor dua tragedi paling memilukan dalam sejarah sepak bola dunia setelah peristiwa di Peru yang terjadi pada tahun 1964 yang merenggut 328 korban jiwa.
Peristiwa terjadinya Tragedi Kanjuruhan bermula dari beberapa oknum suporter Arema FC, Aremania yang turun ke lapangan untuk meluapkan kekecewaan kepada para pemain Arema FC. Pasalnya sebelum laga 1 Oktober 2022, Persebaya tak pernah bisa meraih kemenangan di Malang selama 23 tahun.
Baca Juga: Keluarga Korban Usul Ada Tangan Memegang Syal Arema di Monumen Tragedi Kanjuruhan
Kekalahan 2-3 dalam laga pekan ke-11 BRI Liga 1 musim 2022/2023 itu membuat suporter Arema FC kecewa klub kesayangan mereka gagal mempertahankan hegemoni atas tim rival di kandang sendiri.
Seperti diketahui laga Arema FC vs Persebaya selalu berlangsung dengan tensi tinggi baik di dalam maupun di luar lapangan. Kedua tim memiliki sejarah rivalitas yang cukup panjang sebagai dua tim terbaik di Jawa Timur yang banyak menuai prestasi di kancah sepak bola nasional.
Saat Tragedi Kanjuruhan terjadi, Stadion Kanjuruhan disebut mengalami overload penonton karena laga Arema FC vs Persebaya memang menyedot perhatian publik khususnya suporter kedua tim. Saat itu jumlah personel keamanan yang disiapkan meningkat drastis dari 1.073 personel menjadi 2.034 personel.
Tetapi situasi yang tak terkendali selepas laga Arema FC vs Persebaya membuat aparat keamanan menembakkan gas air mata untuk mengurai suporter. Total ada 11 tembakan gas air mata yang ditembakkan ke lapangan dan tribun penonton Stadion Kanjuruhan di sisi utara dan selatan.
Tembakan gas air mata itulah yang memicu kepanikan massal dan membuat suporter saling berebut dan berdesak-desakan untuk keluar dari stadion. Akan tetapi saat situasi panik beberapa pintu stadion justru dalam kondisi terkunci.
Kondisi pintu tribun Stadion Kanjuruhan yang terdapat besi setinggi 5 meter juga memperparah situasi. Pintu 13 menjadi tempat yang paling memilukan karena menelan korban jiwa paling banyak dimana para korban terhimpit saat berupaya meninggalkan area tribun penonton.
Pasca Tragedi Kanjuruhan, Pemerintah Republik Indonesia membentuk Tim Gabungan Independen Pencari Fakta (TGIPF) yang diketuai oleh Mahfud MD yang saat itu menjabat sebagai Menko Polhukam RI.
Sayangnya, meski TGIPF Kanjuruhan menemukan fakta penyelenggaraan pertandingan yang cacat prosedur hingga memberikan banyak rekomendasi usai terjadinya insiden memilukan tersebut.
Proses peradilan justru banyak terjadi kejanggalan mulai dari hilangnya rekaman CCTV di area stadion hingga proses hukum kepada pihak-pihak yang bertanggung jawab atas terjadinya Tragedi Kanjuruhan yang dirasa tidak memberi keadilan kepada korban.
Tragedi Kanjuruhan adalah momen terburuk dan terpahit dalam perjalanan sepak bola Indonesia. Karena bagaimanapun sepak bola merupakan sebuah hiburan dan nyawa jauh lebih berharga dari angka yang tertulis di papan skor pertandingan.
Selain itu, Tragedi Kanjuruhan juga menjadi pembelajaran bagi semua pihak untuk memastikan setiap penonton mendapatkan rasa aman dan nyaman saat menyaksikan langsung pertandingan sepak bola di stadion.
Baca Juga Berita Tugumalang.id di Google News
Penulis: Bagus Rachmad Saputra
Editor: Herlianto. A