Oleh: M. Zainuddin*
Dalam setiap kesempatan hari raya kurban (ied al-adha) selama lima hari, umat Islam terus mengumandangkan takbir dan tahmid, termasuk membaca talbiyah bagi jamaah haji di Makkah. Takbir dan tahmid artinya, mengakui dan menegaskan bahwa Allah SWT adalah Tuhan Yang Maha Besar, tidak ada tuhan selain Allah yang patut dipuji dan disanjung, tiada sekutu bagi-Nya dan tiada tuhan yang wajib dan berhak disembah dan diagung-agungkan selain Allah SWT itu sendiri. Inilah tauhid yang diajarkan oleh Nabi Ibrahim AS. dan para utusan Allah kepada para umatnya.
Dalam konsep Islam, tauhid adalah penegasian terhadap seluruh tuhan-tuhan yang ada di dunia ini, baik tuhan materi, tuhan kekuasaan, tuhan pangkat dan kedudukan maupun tuhan-tuhan yang lain. Semua tuhan-tuhan itu harus disingkirkan dari benak pikiran umat Islam. Oleh sebab itu, dalam konteks kehidupan bermasyarakat dan bernegara, boleh saja umat Islam kehilangan pangkat dan kedudukan, jabatan dan kekuasaan, tetapi tidak boleh kehilangan keyakinan dan keimanannya kepada Allah SWT. Jangan sampai karena jabatan dan kedudukan tadi kemudian umat Islam menyembah, memuji dan mengagungkan kekuasaan dan penguasa, mengurbankan orang lain dan keimanannya. Bisa saja dalam hidup ini umat Islam kehilangan harta, merugi dalam berdagang, tetapi jangan sampai merugi di hadapan Allah SWT.
Pemimpin Peduli Sosial
Nabi Ibrahim AS. adalah figur pemimpin teladan yang berjiwa tauhid yang bersedia berkurban dan memberi makan kepada orang-orang yang sengsara lagi fakir sebagaimana yang diperintahkan oleh Allah SWT dalam QS. al-Hajj: 27-28. Ibadah kurban merupakan manifestasi ajaran tauhid yang tidak terlepas dari semangat pemupukan jiwa solidaritas sosial dan kemanusiaan. Peduli dan menyantuni kepada orang-orang yang sengsara lagi fakir (Ith’am al bais al-faqir) adalah merupakan tanggung jawab sosial yang harus ditunaikan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara bagi setiap muslim, baik secara individual maupun kolektif, karena hal ini merupakan satu kesatuan ayat yang tidak dapat dipisahkan dari doktrin teologis dan sosial.
Jika digali lebih dalam sesungguhnya ibadah kurban itu lebih dari sekadar ibadah simbolik dengan menyembelih binatang ternak, tetapi ia sarat dengan nilai-nilai moral dan sosial. Umat Islam diperintahkan untuk memiliki kekokohan iman dan mentaati semua perintah Allah meski tampak berat sekalipun sebagaimana yang dilakukan oleh Nabi Ibrahim AS. Iman adalah keyakinan yang mendalam, bahwa apa yang datang dari Allah SWT adalah benar dan tidak boleh diragukan sedikit pun. Umat Islam tidak hanya diperintahkan berkurban dan kemudian dagingnya dibagi-bagikan kepada fakir-miskin, begitu setiap tahun dilakukan secara massif, namun pada saat yang sama mereka juga mengurbankan fakir-miskin tersebut untuk kepentingan pribadi, ambisi politik dan segala macam bentuk mengurbankan orang lain.
Yang diperintahkan oleh Allah SWT adalah berkurban untuk melahirkan nilai takwa, bukan membuat orang lain jadi kurban atau terkurbankan, seperti yang terjadi selama ini dan beberapa praktik pembangunan yang terjadi di negara-negara sekuler, seperti yang dilukiskan oleh Peter L. Berger dalam karyanya, Piramida Kurban Manusia. Itulah maka Allah menegaskan dalam firman-Nya: “Bukan daging dan darahnya (yang sampai kepada Allah), melainkan takwamu”. (QS. Al-Hajj:37).
Jika diperhatikan secara cermat, bahwa semua amal ibadah dalam ajaran Islam hakikatnya mengandung pesan moral dan tanggung jawab sosial yang kompatibel dengan upaya peningkatan kesejahteraan dan keadilan, mulai dari shalat, puasa, zakat, haji dan ibadah kurban. Misalnya ibadah puasa mengandung hikmah menumbuhkan rasa kasih sayang kepada kaum dhuafa’. Zakat, infaq dan shadaqah memiliki hikmah memberantas sifat kikir dan membantu kaum mustadh’afin dan mengentas kemiskinan. Demikian juga ibadah haji memupuk jiwa ketundukan kepada Tuhan dan memahami makna egalitarianisme dalam masyarakat. Dengan demikian semua ajaran dan ibadah dalam Islam selalu terkait dengan relasi vertikal dan horizontal (hablun minallah wa hablun minannas). Umat Islam tidak dibenarkan hidup egois dan melepaskan diri dari tanggung jawab sosialnya. Masing-masing pribadi muslim diperintahkan untuk peka dan ikut bertanggung jawab terhadap persoalan-persoalan yang dihadapi masyarakat.
Kesediaan orang Islam meyembelih ternak kurban, sebagaimana yang dicontohkan oleh Nabi Ibrahim AS. merupakan wujud refleksi iman untuk lebih mendekatkan diri (taqarrub) kepada Allah SWT. Kemudian, daging kurban yang dibagi-bagikan kepada fakir-miskin itu secara kongkret telah menunjukkan kepedulian orang-orang beriman untuk turut melaksanakan ajaran kepedulian dan keadilan sosial. Perintah berkurban juga merupakan pesan kongkret seberapa jauh Islam mengajarkan kepada pemeluknya untuk senantiasa memiliki perhatian sosial di sekelilingnya. Disamping itu semua tugas sosial dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara bagi setiap muslim merupakan tanggung jawab yang harus ditunaikan, baik secara individual maupun secara kolektif, terutama bagi para pemimpinnya.
Dalam perspektif Islam, seorang pemimpin tidak dibenarkan hidup egois dan melepaskan diri dari tanggung jawab sosialnya. Masing-masing pribadi muslim diperintahkan untuk peka dan ikut bertanggung jawab terhadap persoalan-persoalan yang dihadapi masyarakat. Mereka dituntut untuk berperan aktif dalam mewujudkan pembangunan lahir dan batin, pembangunan manusia seutuhnya, bukan dalam slogan-slogan, namun harus diwujudkan secara kongkret dalam masyarakat. Dalam konteks relasi sosial-Islam, Rasulullah SAW. sangat membenci terhadap orang Islam yang bersikap acuh terhadap kepentingan masyarakat dan mengabaikan perjuangan agamanya, sebagaimana sabdanya: “Barang siapa yang tidak mau mementingkan urusan kaum muslimin, maka ia tidak termasuk golongan mereka”.
Ibadah kurban yang dilakukan oleh Nabi Ibrahim AS. juga sejatinya lebih dari sekadar menyembelih ternak kurban, namun secara substansial ia merupakan ibadah memerangi egoisme dan menyerahkan jalan hidup ini hanya kepada Tuhan semata. Hal ini telah dibuktikan oleh Nabi Ibrahim AS. Tidak akan pernah terjadi seorang ayah yang karena perintah Allah SWT. bersedia menyembelih anak kesayangannya untuk dijadikan kurban sebagaimana Nabi Ibrahim AS. Demikian pula Ismail AS, puteranya yang dengan ikhlas dan lapang dada menerima perintah tersebut untuk dijadikan kurban. Ini adalah peristiwa amat berat dan luar biasa yang harus ditanggung oleh keluarga. Itulah profil pemimpin yang mampu memerangi sikap egoisme. Dari deegoisme inilah kemudian melahirkan sikap toleran dan peduli sosial dari figur seorang pemimpin.
Jika saja para pemimpin bangsa mau mengambil hikmah dari peristiwa kurban tersebut, maka tidak pernah terjadi krisis kemanusiaan di negerinya. Umat Islam perlu belajar dari peristiwa kurban seperti yang dialami oleh Nabi Ibrahim AS, seorang figur pemimpin yang jauh dari sikap egois dan bebas dari godaan dan rayuan materi. Memang Nabi Ibrahim saat itu sempat tergoda oleh rayuan dan bujukan syetan supaya membatalkan niatnya untuk melaksanakan perintah berkurban tersebut, namun karena kekokohan imannya itulah beliau mampu mengatasi segala macam godaan dan cobaan tersebut dan berhasil melepaskan kepentingan pribadinya untuk tujuan yang lebih mulia, yaitu kemanusiaan universal.***.
BACA JUGA: Berita tugumalang.id
____________
*Penulis adalah Profesor Sosiologi Agama, Rektor UIN Maulana Malik Ibrahim Malang.