Sita Acetylena*
8 MARET ditetapkan sebagai Hari Perempuan Internasional oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tahun 1977. Awalnya di tahun 1917, Hari Perempuan Internasional dirayakan para perempuan di Rusia dengan terjadinya demonstrasi para buruh perempuan yang menginginkan kesetaraan gender.
Pemberdayaan perempuan banyak dilakukan di seluruh dunia untuk menghilangkan intimidasi maupun kekerasan pada perempuan. Namun demikian, sebenarnya perempuan memiliki makna penting dalam sebuah perubahan peradaban. Perempuan bukan hanya pelengkap kehidupan, tetapi menjadi pendorong utama membangun peradaban.
Perempuan juga menjadi tempat pertama pendidikan manusia yang akan menghasilkan aktor-aktor perubahan. Pendidikan adalah jalan utama membentuk kebangkitan peradaban karena dengan pendidikan pertama dalam keluarga akan memberikan karakter baik atau buruk dalam kehidupan manusia.
Pandemi COVID-19 dan modernitas serta digitalisasi di segala bidang berdampak pada perubahan kehidupan. Gejolak sosial dan perubahan sosial tengah terjadi di semua lapisan masyarakat. Modernitas dan globalisasi datang dengan sangat cepat tanpa membiarkan setiap masyarakat dunia menyiapkan diri.
Demikian pula perempuan di seluruh dunia juga gagap menghadapinya, baik sebagai individu, istri , maupun sebagai seorang ibu. Kemajuan teknologi dan pengetahuan yang memberikan janji kemakmuran dunia dan keharmonisan masyarakat telah melahirkan masyarakat komputerisasi. Masyarakat komputerisasi adalah masyarakat post-insdustrial dalam era teknologi informasi. Penyebaran pengetahuan dan kekuasaan secara massif, merupakan beberapa konsekuensi perkembangan teknologi.
Masyarakat komputerisasi yang dulu diramalkan akhirnya terjun bebas di era COVID-19 yang mengharuskan manusia bekerja dan melakukan segala aktivitas menggunakan teknologi dan perangkat digital. Makna perempuan sebagai pembangun peradaban juga ditantang pada era serba sulit ini. Era digitalisasi terjun bebas yang masih gagap diterima oleh sebagian masyarakat di seluruh dunia, termasuk Indonesia.
Masih sanggupkah perempuan berperan dalam pendidik pertama dalam keluarga sebagai benteng dan pembangun aktor perubahan? Atau perempuan malah ikut terhempas dengan kemajuan teknologi dan digitalisasi serta virus COVID-19 yang sudah memakan banyak korban?.
Benteng perlindungan dari segala ancaman dan tantangan adalah karakter yang kokoh dan karakter yang berpijak pada spiritualitas diri yang mengacu pada agama. Karena agama lahir untuk menyempurnakan akhlak manusia, karakter manusia. Pendidikan bertujuan membentuk karakter peserta didik sebagai generasi penerus bangsa.
Pendidikan dan pembentukan karakter sangat erat kaitannya dan harus dikelola dengan baik. Agar tujuan pendidikan tersebut dapat tercapai. Karakter akan membentuk takdir manusia dan kesejahteraan suatu bangsa. Oleh karena itu karakter sangat penting dan bernilai bagi manusia dan peradaban masyarakat suatu bangsa.
Dalam pendidikan dan proses pembentukan karakter, bahasa merupakan alat yang sangat penting dalam pembentuk karakter manusia. Disinilah peran perempuan akan memberikan sebuah benteng kehidupan. Yakni pada ucapannya berupa doa-doanya yang merupakan kekuatan spiritualnya. Segala ancaman dan tantangan jaman akan mampu dihadapinya. Serta keluarga dan generasi penerusnya dengan bahasa positif yang memiliki energi besar.
Bahasa positif atau bahasa kebajikan yang digunakan dalam proses pendidikan karakter merupakan alat yang tepat dalam pendidikan karakter. Hal ini juga dapat diketahui dalam penelitian Emoto dan ditulis dalam bukunya The Massage of Water dan The True Power of Water. Bahasa Positif akan memberikan karakter yang baik bagi manusia.
Oleh sebab itu, pendidikan memerlukan bahasa sebagai pengantar yang mampu mentransfer ilmu pengetahuan pendidik kepada peserta didik, dan mampu menstransfer nilai-nilai moral pada peserta didik. Dan ini ada peran utama seorang perempuan. Saat ia mendidik anak-anaknya dengan bahasa-bahasa positif yang ia ucapkan kepada anaknya. Ataupun doa-doa yang ia panjatkan untuk keluarganya.
Seperti dalam teori Habermas bahwa nilai-nilai moral dan kebaikan serta kebenaran tidak hanya dijadikan sebuah kontemplasi. Melainkan mendorong “praksis perubahan sosial‟. Praksis ini bukanlah tingkah laku buta atas naluri belaka. Melainkan tindakan dasar manusia sebagai mahluk sosial.
Dengan demikian praksis diterangi oleh “kesadaran rasional‟, karenanya bersifat emansipatoris. Habermas dalam eseinya, Labor and Interaction: Remarks on Hegel’s Jena ‘Philosophy of Mind’, mengatakan bahwa Hegel memahami praksis bukan hanya sebagai “kerja‟, melainkan juga “komunikasi”. Karena praksis dilandasi kesadaran rasional, rasio tidak hanya tampak dalam kegiatan menaklukan alam dengan kerja, melainkan juga dalam “interaksi intersubjektif’ dengan bahasa sehari-hari.
Jadi seperti halnya kerja membuat orang berdistansi dari alamnya, bahasa memungkinkan distansi dari persepsi langsung. Sehingga baik kerja maupun bahasa berhubungan tidak hanya dengan praksis, tetapi juga dengan rasionalitas.
Peran perempuan sebagai pendidik utama dan pertama dalam keluarga harus disadari dan dipahami oleh semua perempuan di dunia. Bahasa yang ia keluarkan dari hatinya dan terlontar dari mulutnya akan memberikan dampak positif atau negatif pada anak-anaknya dan keluarganya. Pesan yang terus-menerus masuk pada alam bawah sadar manusia, akan membentuk karakter dirinya dan itulah akan terlahir apakah ia akan penjadi pemenang dan pemimpin kehidupan atau sebaliknya.
*Dosen Pascasarjana IAI Al Qolam Malang
editor: jatmiko
—
Terima kasih sudah membaca artikel kami. Ikuti media sosial kami yakni Instagram @tugumalangid , Facebook Tugu Malang ID ,
Youtube Tugu Malang ID , dan Twitter @tugumalang_id