Tugumalang.id – Seminar nasional yang mengangkat tema “Peran Mahasiswa Dalam Menangkal Bahaya Radikalisme di Perguruan Tinggi” dilaksanakan di Gedung Islamic Center Kepanjen, Kabupaten Malang, pada Sabtu (12/2/2022).
Kolaborasi dan refleksi antara BEM STIT Ibnu Sina Malang dengan BEM STIE Al-Rifa’ie menjadi kunci terlaksananya seminar ini, sebagai wujud responsif mahasiswa terhadap kondisi di sekitar lingkungan perguruan tinggi dan lingkungan sekolah.
Kegiatan ini diisi oleh Guru Besar UIN Satu Tulungagung dan Guru Besar STIT Ibnu Sina Malang, Prof Dr Mujamil Qamar dan Kepala Kemenag Kabupaten Malang, Dr Musta’in MAg.
Kegiatan ini diikuti oleh 50 peserta dari siswa SMA hingga mahasiswa perwakilan BEM se-Kabupaten Malang. Juga dihadiri oleh Koordinator BEM Malang Raya dengan penerapan protokol kesehatan yang sesuai dengan aturan Kemenkes.
“Alasan dibuatnya seminar ini adalah karena kedua kampus telah menelaah dan melakukan kajian secara mendalam perihal pentingnya penanaman radikalisme di lingkungan kampus. Iya radikalisme itu berbahaya dan perlu penanganan serius dan terus menerus,” jelas Presiden Mahasiswa STIE AL-Rifa’ie Malang, Ivatur Rofiqoh.
Presiden Mahasiswa STIT Ibnu Sina Malang, Daud Hidayatulloh menambahkan bahwa saat ini peran mahasiswa dalam menangkal bahaya radikalisme di perguruan tinggi sangat penting dan harus gencar dilakukan melalui organisasi intra kampus maupun di luar kampus (OMEK).
“Dengan melaksanakan kajian, diskusi, atau seminar mengenai faham radikalisme di setiap sudut-sudut kampus. Supaya kita tahu dan update pola gerakan radikalisme bagaimana dan harapannya setelah mengikuti seminar ini kita mampu mengenali sejak dini gejala-gejala faham radikalisme di perguruan tinggi dan tahu bagaimana mengatasi atau menangkal gejala radikalisme di lingkungan kita,” ucapnya.
Dalam paparannya, Prof Dr Mujamil Qamar menjelaskan bahwa secara istilah, kemunculah radikalisme adalah hasil dari pengembangan suku kata radikal. Adapun kata radikal berasal dari bahasa latin, radix atau radici. Radix dalam bahasa Latin berarti ‘akar’. Istilah radikal mengacu pada hal-hal mendasar, prinsip-prinsip fundamental, pokok soal, dan esensial atas bermacam gejala.
Dalam filsafat kata, radikal memiliki makna positif, namun bisa juga kata radikal bermakna negatif tergantung bagaiamana dan dari sudut pandang mana menyikapinya.
Dia menambahkan, salah satu momok masalah yang dihadapi banyak negara di era globalisasi saat ini adalah munculnya ideologi pemikiran radikalisme. Pemikiran radikalisme banyak muncul dalam konteks percaturan politik.
Selain itu, pola pikir ini sering dikaitkan dengan pandangan ekstrem dan keinginan untuk perubahan sosial yang cepat.
Secara garis besar, tambah dia, radikalisme meliputi dari berbagai bidang baik sosial, politik, dan agama.
“Biasanya ciri-ciri orang yang menganut faham radikal ini orangnya keras dan merasa paling benar dan tidak dapat menerima pandangan orang lain. Sehingga memunculkan rasa intoleran di masyarakat,” sebutnya.
“Tidak ada dalam sejarah sebuah peradaban dibangun dengan sebuah kekerasan, justru radikalisme memunculkan pertengkaran dan perpecahan,“ imbuhnya.
Radikalisme itu tidak identik dengan Islam dan Islam tidak indentik dengan radikal, kenapa begitu?
“Karena agama ketika di tangan orang-orang moderat agama itu lembut, menebar kasih sayang. Jika di tangan orang radikal maka akan galak, mengancam kebebasan. Jadi semua itu tergantung siapa yang menyampaikan. Citra agama sangat tergantung pada figur tokoh yang mengekpresikan agama itu,” jelasnya.
Prof Mujamil Qomar mengatakan bahwa Allah SWT mempunyai sifat Al-Jabar, Al-Qahar, namun Allah SWT juga mempunyai sifat Ar-rahman, Ar-Rahim.
“Artinya Islam itu Rahmatan lil Alaminn, penuh kasih sayang yang menaungi seluruh makhuk-Nya, dan perlu diketahui tidak ada pondasi Islam yang dibangun dengan kekerasan. Agama Islam itu menebar kasih sayang. Bukan hanya pada lintas suku, agama saja yang dijaga. Bukan hanya manusia saja yang harus dijaga, tapi juga hewan dan lingkungannya,” jelasnya.
Dia berpesan kepada seluruh peserta untuk terus mempertajam pendidikan yang dibangun dengan penuh kesadaran tanpa paksaan dan tanpa copy paste.
“Dalam praktiknya di setiap zaman, agama itu berkembang. Maka wajib hukumnya bagi muslim untuk selalu memperluas dan memperkaya khasanah kita tentang faham keislaman terutama fiqih. Agar terwujud moderasi beragama,” pungkasnya.
Senada dengan hal itu, Dr Musta’in menambahkan bahwa radikalisme itu dapat dihalangi dan ditiadakan salah satunya dengan jalan moderasi dalam beragama. Artinya, agama merupakan suatu landasan berpikir secara moderat dan bijak.
“Salah satu jalan menangkal radikalisme yaitu dengan menerapkan moderasi dalam beragama. Berbijaklah dalam berpikir, berbuat, dan berekspresi,” pesannya.(*)