Irham Thoriq*
Para muhibbin (pecinta) Gus Baha berkumpul. Pada 14 September 2022 lalu. Ini kegiatan rutin. Setiap hari Rabu. Dua minggu sekali. Namanya ngaji Raboan. Ngaji ini sudah digelar bertahun-tahun.
Khusus warga luar pesantren. Ketika momen ngaji Raboan itu, mayoritas santri di Pesantren Tahfidzul Qur’an Lembaga Pembinaan Pendidikan Pengambangan Ilmu Alqur’an (LP3IA) yang diasuh KH Ahmad Bahauddin atau Gus Baha, tidak mengikuti pengajian. Hari bebas. Para santri dibebaskan main handphone ketika itu. Para santri dalam sebulan, enam kali saja boleh main handphone. Dua hari diantaranya saat momen ngaji raboan itu.
Perkiraan saya, ada sekitar 400-500 orang yang ngaji raboan. Mereka mengaji kitab Ihya’ Ulumuddin yang dibacakan langsung oleh Gus Baha. Pesantren Gus Baha yang luasnya sekitar satu lapangan sepak bola, full parkirannya oleh para tamu yang hadir. Sudah sekitar 15-20 tahunan yang lalu ngaji rutin raboan ini digelar.
Mula-mula, yang ikut sekitar 10-15 orang. Minim. Baru membeludak sekitar lima tahun terakhir ini, pengajian itu ramai.”Ketika Gus Baha viral di YouTube, baru ngaji raboan ini banyak sekali,” kata Said, salah seorang warga yang ikut sejak pertama kali ngaji ini.
Saat ini, peserta ngaji raboan datang dari mana-mana. Mayoritas datang dari jarak yang tidaklah dekat dari pesantren Gus Baha yang berada di Narukan, Rembang, Jawa Tengah.

Ada dari Malang, Surabaya, Sidoarjo, Nganjuk, Demak, Banyumas, dan lain sebagainya.
Rata-rata, para muhibbin itu harus menempuh perjalanan lebih dari dua jam. Kami, yang dari Malang, menempuh jarak kurang lebih enam jam. Baru pertama kalinya saya ikut ngaji raboan tersebut.
Para muhibbin itu mayoritas tahu Gus Baha mula-mula dari pengajian di YouTube. Seperti Nasir, salah seorang paman saya yang bekerja sebagai Tenaga Kerja Indonesia (TKI) di Arab Saudi. Awalnya, saya bercerita kalau awal September lalu saya yang datang ke pesantren Gus Baha, gagal bertemu dengan Gus Baha.
Oleh para santri, saya diminta datang ketika ngaji raboan. Alasannya, Gus Baha sudah lama tidak menerima tamu. Ketika orang nge-fans ke seseorang, lebih baik suka ke ilmunya, bukan kepada orangnya.
Ketika saya bercerita itu, Nasir langsung tertarik untuk ikut. ”Semua video soal Gus Baha, hampir sudah saya tonton,” katanya yang sedang cuti kerja dan pulang kampung di Indonesia.”Saat pulang saya memang berniat ingin ngaji ke Gus Baha, sekali saja,” imbuhnya.
Alasan Nasir sama dengan orang lain yang menyukai Gus Baha. Yakni, apa yang disampaikan mudah dicerna oleh semua orang dari semua lapisan masyarakat. Paling penting, Gus Baha mengajarkan substansi.
Ya, Gus Baha umumnya tidak berceramah. Tapi, mengaji kitab kuning dan dari kitab kuning inilah, Gus Baha menafsiri dan menjelaskan dengan aneka macam contoh. Gus Baha tidak tekstual. Tapi, mampu mengkonteks-an apa yang dikaji dari kitab itu.
Gus Baha sangat jarang berceramah dengan tema-tema tertentu. Semua ada rujukan dari khasanah Islam klasik. Ini jugalah yang dirasakan oleh Khalil dan Bisri, paman dan sepupu saya yang lainnya, yang juga sangat menyukai pengajian Gus Baha.”Sambil kerja, hampir selalu saya putar pengajian Gus Baha,” kata Bisri.”Makanya karena ada ajakan ke Gus Baha, meski enam jam perjalanan, tanpa pikir panjang langsung saya iyakan,” imbuhnya.
Kesukaan terhadap Gus Baha itu jugalah yang memacu salah seorang pria asal Sidoarjo, yang rela naik bus ke Rembang, untuk bisa mengaji ke Gus Baha.”Sepeda motor saya taruh di Terminal Bungurasih, Sidoarjo, lalu naik bus ke sini,” kata pria yang kira-kira berumur 65 tahun itu.
Satu lagi yang menurut saya Gus Baha layak kita tiru. Saya lihat, Gus Baha tidak menjadikan kepopulerannya sebagai ajang untuk mencari duit. Ya, meski ratusan orang hadir di pengajiannya, Gus Baha tidak berkenan jama’ah-nya melakukan salam tempel kepada Gus Baha.
Permintaan itu benar-benar dilakukan oleh para jama’ahnya. Dan Gus Baha, tampaknya sangat menghindari hal itu. Ini terlihat dari langkah Gus Baha yang datang dan keluar dari pengajian dengan langkah yang begitu cepat.
Dalam sebuah ceramahnya, Gus Baha mengaku tidak ingin menyusahkan orang lain.”Jangan-jangan, mereka ngasih salam tempel ke kiai, dengan pinjam uang ke mertua,” katanya.
Kepada Gus Baha kita perlu banyak belajar. Kepada kegigihan para muhibbin Gus Baha, kita angkat topi.
*Penulis adalah CEO Tugu Media Group
Editor: jatmiko