M Sholeh*
Dinas Kesehatan Kabupaten Malang mencatat, 744 suporter manjadi korban tragedi Kanjuruhan pada 1 Oktober 2022. Tercatat, 132 di antaranya meninggal, sisanya luka luka. Tak bisa dibayangkan betapa mencekamnya situasi sepanjang malam pasca-pertandingan Arema vs Persebaya itu.
Saya tak melihat secara langsung tragedi itu. Saya mendapati informasi dari sejumlah jurnalis yang meliput meletakkan kamera dan gawainya untuk turun mengevakuasi para korban. Bahkan menemani sejumlah korban yang menghadapi sakaratul maut. Tentu bisa disimpulkan situasi malam itu tak baik baik saja.
Di pagi buta pada 2 Oktober 2022, Kapolda Jatim, saat itu Irjen Nico Afinta muncul di hampir semua media pemberitaan. Dia merilis data 127 suporter meninggal dalam tragedi Kanjuruhan. Saya tertegun, membayangkan ribuan suporter menangis kala itu.
Sesuai arahan pimpinan, saya segera menuju RSSA Malang, tempat jenazah tak teridentifikasi dirujuk. Di perjalanan pagi itu, saya merasa jalanan terasa hening dan senyap. Sinar matahari tampak sayup. Lalu suara sirine ambulan bersahutan, terdengar berlalu lalang. Meski jauh, rasanya seperti hanya di dekat telinga.
Plt Direktur RSSA Malang, dr Kohar Hari Santoso saat itu mengatakan ada 17 jenazah belum teridentifikasi. Di depan ruang tunggu, raut muka ratusan keluarga tampak gelisah menanti kabar identifikasi. Satu per satu keluarga kemudian menangis terisak isak mendapati keluarganya telah tiada.
Suasana duka semakin terasa ketika beberapa relawan menunjukkan lembaran lembaran kertas berisi foto wajah jenazah korban tragedi Kanjuruhan untuk memudahkan identifikasi. Keluarga jenazah menangis histeris. Derai air mata mereka bercucuran, mulai remaja, ibu ibu hingga orang tua.
Tak seperti biasanya, saya tak mampu mengangkat kamera ponsel, tangan saya tiba tiba lemas. Saya tak mampu mengambil foto mereka. Dada tiba tiba juga sesak, sejenak terbesit, bagaimana jika saya di antara mereka, saya menepi sejenak.
Saya kemudian mendatangi salah satu rumah duka di Kota Malang. Alfiansyah, masih berusia 11 tahun. Dia harus menyandang status yatim piatu usai kedua orang tuanya gugur dalam tragedi Kanjuruhan.
Di rumah duka lain di Kota Malang, Sulastri (50) mengenang genggaman tangan terakhirnya dengan mendiang suami tercinta di Stadion Kanjuruhan. Sulastri selamat, namun dia harus merelakan belahan jiwanya berpulang.
Tak hanya itu, Emilia (33), seorang ibu harus merelakan anak yang masih berusia 3,5 tahun dan suaminya gugur dalam tragedi berdarah itu. Sebetulnya, dia tak begitu fanatik dengan Arema, namun dia bersama suaminya berangkat demi menyenangkan hasrat anaknya yang menggandrungi Arema.
Berlanjut di rumah duka Singosari, Eka Wulandari, istri Sam Nawi, pentolan Aremania terus berlinang air mata. Suami tercintanya turut menjadi korban dalam tragedi itu. Dia meratapi kekecewaan, Sam Nawi melarangnya dan ketiga anaknya untuk ikut nribun bersama di malam kelam itu.
Masih satu kampung dengan Sam Nawi, Aremania Cilik bernama Angga (17) merasa kecewa tak mampu menolong kawannya. Fajar, kawan Angga yang masih berusia 15 tahun meninggal. Angga mengaku tak berdaya saat terjatuh dan terinjak injak pasca-gas air mata ditembakkan.
Angga memberikan kesaksian bahwa saat itu dia berada tepat di antara tumpukan suporter di pintu maut gate 13. Dia tertindih, tapi di bawahnya masih ada orang yang dia tindih. “Di atas badan saya itu juga ada orang yang sudah gak bergerak,” kata Angga.
Sementara di rumah korban selamat di Kota Malang, Raffi (14) menjadi saksi hidup peristiwa yang menghentak semesta itu. Matanya masih merah, dia divonis ada pendarahan di dalam mata akibat gas air mata. “Gas air mata itu jatuh di dekat saya, gak sampai 2 meter jaraknya,” kata Raffi.
Kemudian Kevia (20), saksi hidup lain tragedi Kanjuruhan. Matanya juga merah, kakinya terluka, tergores besi pagar. Bahkan kaki belakangnya masih terdapat bekas sepatu yang menginjak injaknya.
Iqbal (17), korban selamat lainnya, tak henti henti memanjatkan syukur usai terbebas dari pintu maut gate 13. Dia dievakuasi Aremania lain melalui ventilasi gate 13 yang dijebol. Kini matanya masih merah tak kunjung pulih.
Dari kesaksian mereka, tak satupun yang menyebut ada gestur ancaman ketika beberapa suporter turun ke lapangan di awal tragedi. Mereka turun untuk meberikan dukungan pada pemain Arema yang terdiam di tengah lapangan usai tumbang dari Persebaya dihadapan ribuan penggemarnya.
Namun keterangan polisi, mereka menembakkan gas air mata karena terancam. Parahnya, gas air mata itu ternyata kedaluarsa, namun itu diklaim tak berbahaya.
Yang jelas, saya menemui, ada anak yang menjadi yatim piatu, ada ibu yang tak henti henti berderai air matanya usai ditinggal anaknya, bahkan menjadi janda. Korban mata merah juga tak kunjung pulih. Suporter seluruh Indonesia bersatu, mengesampingkan rivalitas, memanjatkan doa.
Apakah itu belum bisa mengetuk pintu hati para juru bicara Polri untuk berhati hati dalam bertutur dan menentukan sikap. Duka mereka belum sirna. Seorang petinggi Polri di Jawa Timur yang mengizinkan penyelenggaraan sepakbola malam itu juga hanya dimutasi.
Namun saya meyakini, para suporter yang gugur dalam tragedi Kanjuruhan bukanlah korban. Melainkan pahlawan yang akan selalu dikenang harum di sepanjang masa. Mereka telah membuka tabir bertapa rapuhnya penyelengaraan dan pengamanan sepakbola di Indonesia.
Mereka bisa menjadi titik balik dan pemantik menuju peradaban sepakbola Indonesia yang lebih baik di masa mendatang. Demi jiwa yang berpulang di Kanjuruhan, saya optimis itu bisa terwujud. Penghormatan setinggi tingginya untuk mereka, Aremania, pahlawan sepakbola Indonesia. Semoga mendapat tempat mulia di sisi-Nya.
* Wartawan Tugumalang.id