MALANG | TuguMalang.id – Daerah Pujon hingga Ngantang yang menjadi bagian dari Malang Barat memiliki kelindan sejarah yang panjang dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia. Selain menjadi medan pertempuran, banyak juga pahlawan dan putra-putri bangsa yang gugur demi cita-cita luhur bangsa.
Dulunya, daerah yang semula menjadi bagian dari Kawedanan Batu ini merupakan salah satu daerah incaran kolonial Belanda untuk dikuasai yang sudah menduduki Kota Batu. Mayoritas warga pribumi kemudian lari ke arah barat di sekitar wilayah Pujon, Kasembon hingga Ngantang.
Saat itu, hasil dari Perjanjian Renville yang diakui masih sangat merugikan bangsa Indonesia karena terus menyempit. Bahkan meski sudah ditentukan garis demarkasi oleh Komisi Tiga Negara (KTN), Belanda masih tetap melakukan konfrontasi.
Pejuang Indonesia yang diperkuat Arek-Arek Pujon mulai dari pelajar, rakyat petani hingga ulama berusaha sekuat tenaga mempertahankan titik darah penghabisan. Tepat di zona garis demarkasi atau kini dikenal Garis Status Quo yang ada di Desa Pandesari, Kecamatan Pujon.
Di perbatasan wilayah itulah terjadi pertumpahan darah yang membuat gugur putra-putri bangsa. Di bawah kepemimpinan Brigjen Abdul Manan Wijaya, pasukan putra-putri bangsa terus bertempur hingga titik darah penghabisan.
Brigjen Abdul Manan Wijaya sendiri merupakan sosok santri yang sudah bergabung dengan PETA sejak zaman Jepang, akhirnya didapuk memimpin perlawanan rakyat dalam Agresi Militer Belanda I dan II.
Bersama Letnan Soemadi dan Mayor Sunandar, Abdul Manan menjadi otak di balik serangan-serangan mematikan terhadap tentara Belanda. Tak hanya dikenal sebagai ahli strategi perang, Mayor Manan juga seorang negoisator yang handal.
Hal tersebut dibuktikan dengan keberhasilan delegasi batalyon II yang dipimpin Manan dalam menghindarkan TNI dari sanksi KTN akibat penyerangan pasukan Belanda di desa Pandesari.
Berkat jasa-jasanya semasa perang kemerdekaan, nama Abdul Manan diabadikan menjadi nama jalan raya di Kecamatan Pujon. Selain Brigjen Abdul Manan Wijaya, nama-nama putra bangsa yang telah gugur saat itu seperti Kopral Kastawi, AP III Katjoeng Permadi, Soejadi dan lain-lain.
Di garis status quo tersebut, juga ada nama Kopral Kastawi dari unsur TNI yang juga ikut mengawal pertahanan di garis batas. Dalam sejumlah pertempuran dan konfrontasi Belanda, Kopral Kastawi wafat dan beberapa anggota regu dan penduduk, mengalami luka berat.
Pasukan Belanda terus melakukan provokasi dengan sengaja melanggar garis demarkasi. Tentu saja, pejuang yang sedang berpatroli di sekitar garis status quo ikut terpancing.
Namun pada saat bersamaan, dari arah utara pasukan Belanda dengan persenjataan lengkap menyerang polisi yang melakukan patrol di garis status quo. Akibatnya dua orang polisi yaitu AK.Permadi dan Soejadi gugur, sedangkan Serma Soewarno Yudho mengalami luka tembak di kaki.
Hingga kini, Garis Status Quo Van Mook tersebut diabadikan dengan didirikan sebuah monumen penanda, termasuk patung Brigjen Abdul Manan Wijaya. Medan juang para pahlawan membentang hingga perbatasan Karesidenan Kediri dan Malang
Reporter: Ulul Azmy
editor:jatmiko
—
Terima kasih sudah membaca artikel kami. Ikuti media sosial kami yakni Instagram @tugumalangid , Facebook Tugu Malang ID ,
Youtube Tugu Malang ID , dan Twitter @tugumalang_id