Oleh: Rofiqah Rosidi – Staf Fakultas Psikologi UIN Malang
Suka-cita saya menerima permintaan rektor sebuah universitas, agar bisa berbincang-bincang tentang kesiapan sekolah dan madrasah kembali menjalankan pembelajaran tatap muka, atau pembelajaran luring (off-line class). Topik ini tidak hanya menarik, tetapi juga penting bagi dunia pendidikan dan bahkan bagi masa depan bangsa ini.
Kali ini, saya tidak mau terjebak dalam kebiasaan memanfaatkan Power Point, yang pasti tidak berbunyi sempurna saat materi seminar dibaca di rumah oleh rekan-rekan sambil minum teh berteman camilan rendah karbo (ya?) sore hari. Jadi, saya menulis makalah hasil sementara applied micro-research persiapan dan kesiapan kembali belajar luring, walaupun belum sempat menyuntingnya dengan baik, termasuk dalam organisasi dan sistematikanya.
Applied Micro-Research
Memenuhi rasa ingin tahu pribadi (personal curiosity) dan panggilan profesional (professional calling), baru saja saya mengumpulkan data untuk sebuah micro-research. Memang belum beroleh kesimpulan lengkap dan meyakinkan. Namun, beberapa kesan kuat sudah muncul, dan dapat dipastikan menjadi beberapa kesimpulan utama. Micro-research ini mengajukan pertanyaan sangat cair berkenaan dengan empat kesiapan siswa dan sekolah untuk kembali pada pola pembelajaran luar jaringan (off-line teaching). Masing-masing, sebagaimana pernah disampaikan oleh Rosidi (2021) adalah: (1) kesiapan fisik, (2) kesiapan akademik, (3) kesiapan psikologis, dan (4) kesiapan teknis untuk pembelajaran luring.
Sejauh menyangkut kesiapan akademik dan kesiapan teknis, setiap pendidik niscaya sudah memahami dan merasakannya. Bagaimana misalnya, saat guru hendak melangkah ke topik lanjutan, ternyata peserta didik belum tuntas menguasai kecakapan prasyaratnya. Demikian juga, saat para guru sedang serius mengajar secara daring, ternyata para siswa tidak tampak menanggapi. Ada begitu banyak alasan dan dalih bisa digunakan siswa, mulai dari gawainya harus bergantian dengan anggota keluarga lain, tidak punya kuota data, hingga tidak ada signal internet. Belum lagi kalau tiba-tiba listrik padam. Saya mengamati dan percaya, dua contoh ini sudah menggambarkan betapa belum ada kesiapan teknis bagi dunia pendidikan Indonesia untuk mengadopsi secara benar — bukan terpaksa karena pandemi corona — pembelajaran daring.
Berkenaan dengan kesiapan fisik dan psikologis, bisa dikatakan semua kompetensi akademik dan kesiapan teknis akan sia-sia bila tidak didukung oleh kondisi fisik dan psikologis yang baik. Sebagaimana ditulis oleh Rosidi (2021: 238), “Sungguh tidak akan berfungsi dengan baik segala sikap positif dan pengetahuan yang hebat bila tidak didukung oleh kebugaran jasmani dan kesejahteraan psikologis (physical fitness and psychological wellbeing)”.
Mencermati penurunan kesiapan peserta didik untuk kembali ke sekolah sebagaimana uraian ringkas di atas, maka tidak ada kewajiban lebih penting bagi para pratisi bimbingan dan konseling sekolah untuk menjalankan peran terbaiknya. Masalahnya, sungguh belum pernah dunia pendidikan secara umum dan dunia bimbingan dan konseling secara khusus, mengalami peristiwa pandemi seperti ini. Ketika kesanggupan menahan diri dan berusaha memeratakan vaksinasi menunjukkan hasil menjanjikan, pemerintah memutuskan agar sekolah untuk secara bertahap melaksanakan kembali pembelajaran luring. Singkat kalimat, kita sedang berada dalam masa transisi dari pembelajaran daring — karena terpaksa — menuju pembelajaran luring kembali. Karena itu, saya memberi label kekhususan bimbingan dan konseling masa ini sebagai bimbingan dan konseling transisional (transitional guidance and counseling).
Mohon maaf bila istilah ini tidak ditemukan, termasuk bila kita menelusurinya dengan kata kunci yang sama dalam Bahasa Inggris dengan mesin pencari internet (seperti Google, Bing dan Internet Explorer). Semoga istilah ini tidak digunakan lagi karena kita semua berhasil membantu para siswa, guru dan sekolah melewati masa transisi dari pembelajaran daring bersebab pandemi menuju pembelajaran luring pasca pandemi.
Sosiogram Penyendiri
Secara rambang saya mewawancarai dan mencoba menuangkannya dalam bentuk sosiogram. Hasilnya agak mengejutkan. Para peserta didik yang secara administratif sudah terdaftar dan secara edukatif sudah mengikuti pembelajaran lebih dari satu di suatu sekolah, ternyata sangat sedikit mengenal teman sekelasnya, dan nyaris hanya sesekali berhubungan dengan gurunya. Kiasan sosiogram penyendiri ini menggambarkan betapa sudah sangat menurun frekuensi dan ketrampilan para siswa tingkat kedua satuan pendidikan, dalam berkomunikasi dan berinteraksi interpersonal dan sosial.
Kurang berinteraksi dan kurang trampil berinteraksi dalam moda tatap muka ini bisa menjelaskan mengapa mereka juga belum memiliki semacam sahabat atau kelompok informal di sekolahnya. Apa akibatnya? Kelas tidak memiliki pemimpin dan struktur sosial sebagaimana kita biasa menemukan pada jaman pembelajaran luring. Karena itu, sangat sulit bagi guru untuk melaksanakan pengelolaan kelas, baik dalam rangka pemberian tugas akademik maupun non-akademik.
Perihal rendahnya ketrampilan berkomunikasi tatap muka anak-anak sekarang ini, sebenarnya sudah mengemuka sebelum pandemi corona. Penurunan ketrampilan ini berbanding terbalik dengan peningkatan ketrampilan menggunakan gawai baik untuk hiburan, belajar maupu berhubungan sosial. Karena itu, saya sependapat dengan dua ahli konseling dari Asosiasi Konseling Amerika, Kaplan dan Yep (2021), agar para konselor mengajarkan ketrampilan berkomunikasi tatap muka kepada kaum milenial.
Saya sendiri, setelah memperhatikan tidak ada matapelajaran khusus yang mengajarkan kemelekan interpersonal dan sosial (interpersonal and social literacy), maka sekalian saja diambil-alih oleh para guru bimbingan dan konseling. Ini berarti bahwa para konselor harus bisa dan terbiasa membantu para siswa: (1) mengembangkan perilaku berkumpul antar sesama yang produktif dan tidak diskriminatif, (2) mengembangkan rasa bertanggungjawab dan berperan sesuai dengan jenjang kedudukan sosial, (3) mengembangkan kesadaran kesetaraan dalam perbedaan ragawi, (4) mengembangkan kecakapan spesialisasi fungsional dalam pekerjaan, dan (5) mengembangkan jiwa altruistik atau nurani pengorbanan demi sesama (Rosidi, 2021: 231).
Terbiasa Mager
Belum lama ini, sebuah penelitian dilakukan untuk mengungkap perilaku sedentari peserta didik sekolah di Jawa Timur (Akhsan, 2020). Hasil pengumpulan dan analisis data yang berasal dari peserta didik pada 21 (dua puluh satu) sekolah di Jawa Timur, menyimpulkan bahwa keaktifan fisik peserta didik tersebut secara signifikan berada di bawah kriteria seharusnya. Dengan kata lain, ada kecenderungan kuat para peserta didik telah bergaya-hidup mager (sedentary lifestyle). Keadaan ini, diperparah oleh keharusan belajar secara daring.
Sedentary behaviour defined as any waking activity characterised by low energy expenditure (≤1.5 metabolic equivalent) and a sitting or reclining posture (Sedentari Behaviour Research Nerwork 2012). It includes sitting at work or school, car travel, and screen-time (television viewing, video game playing, computer use for leisuure).
Perilaku sedentari adalah semua kegiatan terjaga (melek) yang ditandai oleh penggunaan energi yang sangat rendah (≤1.5 metabolic equivalents) atau duduk selonjor. Ini mencakup duduk di sekolah, bepergian naik mobil, dan waktu layar yang meliputi nonton televisi, bermain video game, dan penggunaan komputer baik untuk tugas maupun kesenangan. Lebih parah lagi, sekarang juga sedang berkembang bisnis dan kebiasaan belanja secara daring, dan bahkan memasan makanan lewat Go-food.
Dalam ungkapan kekinian, gaya hidup sedentari bisa disepadankan dengan perilaku mager (malas gerak). Perilaku mager ini, sebagaimana hasil penelitian menunjukkan, menjadi penyebab utama kerusakan organ penglihatan, penurunan tingkat kebugaran, kerusakan organ pencernaan, obesitas, hipertensi dan diabetes, hingga penyakit kardiovaskuler (Liangruenrom et al., 2018). Bila gaya hidup ini tidak bisa ditangani, maka kita akan panen generasi kegemukan dan penyakitan. Tentu saja ini tidak hanya membahayakan generasi emas Indonesia, tetapi juga akan menyita anggaran kesehatan yang sangat besar.
Tambah Lebay
Sebuah video menarik direkomendasikan oleh Kaplan dan Yep (2021) dari Asosiasi Konseling Amerika. Video ini sebenarnya berisi perilaku kaum milenial di tempat kerja, serta bagaimana seharusnya menangani mereka. Walaupun begitu, dari video itu pula kita bisa beroleh gambaran betapa lebay anak-anak kota sekarang.
Selain malas gerak, berbagai fasilitas yang ada telah menjadikan para peserta didik mengembangkan kebiasaan yang buruk bagi masa depannya, yaitu kebiasaan mengeluh, mudah menyerah, dan bahkan sikap apatis. Kebutuhan mendapat pengakuan dan pujian sangat besar di kalangan kaum milenial.
Dalam konteks masa akhir pandemi, keenakan belajar secara daring yang dalam praktiknya seringkali sekadar setor akun, untuk kemudian berkegiatan lain, bersantai-santai, tanpa meja kursi, tanpa buku, tanpa mencatat, dan bahkan tanpa memilih tempat dan busana yang dikenakan, menjadi kenyataan sehari-hari selama pandemi.
Walhasil, sebagaimana dikemukakan oleh Agung Cahyono (2021), ada sejumlah siswa yang terkejut dengan akumulasi tagihan tugas sekolah. Lantas bagaikan disambar petir di terik matahari, orangtua siswa beroleh keputusan anaknya yang menyatakan tidak mau sekolah lagi. Blarrr!
Kembali mengutip Kaplan dan Yep (2021), tetapi dalam bentuk tangkapan layar presentasi beliau, tentang ciri-ciri anak milenial — lebih-lebih milenial yang bukan menjadi korban, tetapi yang terdampak pandemi. Dikatakan terdampak, karena mereka harus mengalami pembelajaran daring selama hampir dua tahun.
Sebagaimana tampak pada tangkapan layar tersebut, kaum milenial cenderung bersifat materialistik, mementingkan diri sendiri, dan tidak memiliki rasa hormat. Selanjutnya, mereka memang punya wawasan kesejagatan dan melek teknologi. Namun, harus dicatat bahwa mereka juga berusaha tumbuh terlalu cepat. Ini tampak dari sejumlah Tik-tok buatan mereka sendiri, yang masih bersekolah SMP sudah saling memanggil teman dekatnya Papi atau Beib. Celakanya, para orangtua — termasuk saya mungkin — tidak mereka perhitungkan sebagai model peran bagi masa depannya. Mereka tidak memiliki sosok teladan yang nyata yang bisa menjadi model bagi masa depan mereka.
Diskontinuitas Kultur Sekolah
Masih ada satu lagi temuan tak hanya menarik, tetapi juga penting dari micro-research ini. Hampir dua tahun dipaksa menjalankan proses pelayanan dan pembelajaran secara daring, menjadikan sekolah kehilangan kultur sekolahnya. Sejumlah nilai, norma dan kebiasaan yang dijunjung tinggi dan berlangsung di sekolah, tiba-tiba hilang karena sekolah dimasuki peserta didik yang tidak pernah mengalami proses induksi kultural. Induksi kultural membantu setiap warga baru organisasi menciptakan kesan hangat dengan kenalan-kenalan dan rekan-rekan baru. Secara lebih konseptual, induksi kultural adalah proses yang dilalui oleh warga baru suatu sistem sosio-kultural agar yang bersangkutan mengenal tempat, nilai-nilai, dan di atas itu semua, memahami secara lebih dalam seluruh warga sistem sosio-kultural tersebut.
Behavioural insights help you to create a warm impression with new friends, colleagues and clients. In the longer term, cultural induction sets you up for a deeper understanding of the place, its values and above all the people (https://lingua.co.uk/cultural-induction/)
Dalam konteks sekolah, induksi kultural biasa berlangsung secara mulus baik melalui kegiatan formal semacam MPLS, maupun kegiatan informal seperti ekstra-kurikuler, shalat berjamaah, bermain bersama saat istirahat, makan minum bersama di kantin sekolah, class-meeting dan lain-lain. Melalui sejumlah kegiatan bersama dalam tatap muka tersebut, para siswa baru akan tersatukan ke dalam sistem sosio-kultural sekolah.
Ketiadaan proses induksi siswa selama hampir dua tahun, menjadikan nilai-nilai kultural dan sosial sekolah hilang. Para siswa baru gagal menjalin hubungan persahabatan yang hangat dengan teman-temannya, menghargai para guru dan staf sekolah yang lain, berperilaku secara pantas di sekolah, mengenal tempat-tempat layanan di sekolah, dan lain-lain. Menurut penuturan seorang guru, para siswa baru yang masuk selama pandemi, seperti orang asing yang bahkan jarang bertegur sapa tidak hanya dengan temannya, tetapi juga dengan para guru.
Diskontinuitas kultural sekolah mengakibatkan sejumlah program, baik kurikuler maupun ko-kurikuler tidak dapat dilaksanakan dengan baik. Secara teoretik, tidak adanya kerekatan sosial-budaya antar siswa menjadikan proses belajar bukan bersifat individual, tetapi malah cenderung terisolasi. Akibatnya, dampak positif belajar bersama, baik berkenaan dengan pelajaran maupun ketrampilan sosial.
Keterputusan (discontinuity) kultur ini menjadikan sekolah kehilangan fungsi dalam membantu peserta didik menjadi pribadi berbudaya. Pribadi berbudaya berarti pribadi yang sudah mengalami penghalusan, penyempurnaan, pemberadaban, dan bahkan pencanggihan (Rosidi, 2021: 232). Pribadi berbudaya berarti pribadi yang memiliki pemikiran yang benar (reasonable thinking), pekerti luhur (noble morality), kehalusan rasa (refined affection), dan kesantunan perilaku (good manners). Ini menyerupai pengertian kearifan kultural, yaitu kemampuan memilih dan setia kepada tujuan baik, dan mencapainya dengan cara-cara dan piranti yang baik pula (pursuing of the good ends by the good means).
Konseling Transisional
Ada beberapa pendekatan yang berpotensi efektif untuk mengembalikan sosialitas, antusiasme dan persistensi siswa, serta kultur sekolah. Dari segi pendekatan konseling, maka hanya pendekatan konseling pasca-modern yang berpotensi untuk digunakan. Ini meliputi pendekatan konseling realitas, konseling berfokus solusi, dan konseling naratif.
Ada baiknya, dan seharusnya, para praktisi bimbingan dan konseling sekolah, memutakhirkan pengetahuan dan kecakapannya dalam memilih dan menggunakan pendekatan konseling pasca-modern. Pendekatan dan teori konseling konvensional, cenderung tidak sejalan dengan keterbatasan waktu, tenaga, dan karakteristik peserta didik milenial. Apa pun pendekatan yang dipilih, perlu didukung oleh teknologi virtual dan digital. Setiap konselor harus mudah diakses oleh semua peserta didik, dan memiliki pemahaman empatik terhadap peserta didik.
Pesan terpenting sajian ini kepada para konselor, para guru dan lebih-lebih kepala sekolah adalah agar dengan segera melaksanakan program komplementer (pengganti) MPLS dan lain-lain. Dua kegiatan sangat potensial adalah layanan bimbingan dan konseling klasikal dalam bentuk percakapan, perkenalan, permainan, dan komunikasi verbal dan non-vernal antar peserta didik. Semuanya harus dilaksanakan dalam format tatap-muka, dengan tetap memperhatikan protokol kesehatan.
Model pembelajaran sosial (Joyce, Weil and Calhoun, 2011) seperti mitra belajar (partners in learning), penyelidikan kelompok (group investigation), bermain peran (role playing) dan kajian jurisprudensial (jurisprudential inquiry), bisa dicobakan, bila perlu menjadi semacam penelitian tindakan kolaboratif para guru. Walaupun buku model pembelajaran ini sudah lama beredar dan bahkan diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia, ternyata masih belum banyak dicoba untuk diterapkan.
Terakhir, mohon dengan sangat para guru bimbingan dan konseling untuk mencolek rekan-rekan guru PJOK. Pesankan kepada mereka untuk meningkatkan pembelajaran cabang olahraga beregu, yang bisa dimainkan secara massal, yang mendorong semua siswa berinteraksi, bekerjasama, bersaing secara sportif, persisten atau gigih dan ulet dalam bertanding dan berlomba, dan tentu saja menikmati kegembiraan persahabatan, persaudaraan dan kehidupan bersama.
Tidak ada yang lebih menggembirakan bagi seorang guru bimbingan dan konseling sekolah, dan pastinya juga semua tenaga pendidik dan kependidikan sekolah atau madrasah, kecuali melihat kembalinya kemesraan sosial, antusiasme pelajar, dan persistensi siswa, serta kultur adiluhung sekolah, yang berarti juga kembalinya kesiapan fisik, kesiapan akademik, kesiapan psikologis, dan kesiapan teknis para siswa mengikuti pembelajaran luring. Semoga pula ada kesempatan bagi saya untuk menuntaskan applied micro-research ini. Sekian.