Tugumalang.id – Kalau melintas di kawasan Kayutangan Heritage, Kota Malang, Jawa Timur, tepatnya depan Gereja Paroki Hati Kudus Anda akan melihat patung separuh badan. Tahukah Anda patung siapa itu? Ya, itu adalah patung penyair kondang nasional, Chairil Anwar.
Tapi mengapa patungnya ada di sana untuk apa? Baiklah, artikel ini akan membahas mengapa patung Chairil Anwar ada di Kota Malang.
Chairil Anwar adalah penyair penggagas sastrawan angkatan 45. Dengan karya-karya khas pengobar semangat perjuangan pada saat itu, dia dikenal sebagai ‘Si Binatang Jalang’. Julukan ini berkat puisinya yang berjudul “Aku”.
Chairil lahir di Medan, 26 Juli 1922. Di era 45, dia menjadi simbol kebangkitan dan perjuangan anak-anak muda mempertahankan tanah air melalui sastra.
Patung Chairil itu sendiri resmi berdiri pada 1955 sekaligus menjadi simbol kemasyhuran sang penyair atas puisi-puisinya yang menggugah seluruh negeri. Di bawah patung ukiran sosok kepala Chairil Anwar itu terpatri sajak syair “Aku”-nya yang menggelora.
Posisinya dibuat sejajar dengan mata orang yang memandang, konon peletakan puisi di bawahnya sengaja dibuat untuk membangkitkan kembali semangat pejuang muda di Malang.
Sastra dalam Perjuangan Kemerdekaan
Berdirinya patung Chairil Anwar di Jalan Letjen Basuki Rahmad, Kayutangan, Kota Malang ini tentu tak lepas dari kenangan yang ia berikan pada Kota Malang.
Ditelusuri melalui rekam jejak karya-karyanya, rupanya Chairil pernah singgah di Kota Bunga ini pada 25-28 Februari 1947. Dan selama di Malang di menggubah beberapa puisi, di antaranya Sorga ditulis pada 25 Februari 1947 dan Sajak Buat Basuki Resobowo pada 28 Februari 1947.
Karya itu, dia hadiahkan untuk seorang pelukis kondang Malang, Basuki Resobowo. Diduga Chairil juga menghadiri sidang pleno Komite Indonesia Nasional Pusat (KNIP) yang diselenggarakan pada hari yang sama di Malang.
Ditengah kemelut kondisi perpolitikan dalam negeri yang belum stabil waktu itu, Chairil Anwar menjadi representasi pemuda yang berani melawan demi kemerdekaan.
Di periode tersebut, meski telah resmi memproklamirkan kemerdekaannya pada 1945, Bangsa Indonesia masih harus menghadapi rentetan agresi militer Belanda. Tak terkecuali di Kota Malang.
Pengrusakan daerah vital juga dilakukan para pejuang waktu itu sebagai taktik untuk menghalau agresi Belanda. Beberapa wilayah strategis, seperti Kayutangan, Jalan Bromo, Alun-alun, serta Balai Kota Malang merupakan beberapa titik vital yang menjadi target penerapan taktik bumi hangus di Kota Malang.
Pendirian patung Chairil Anwar beberapa tahun setelahnya menjadi poin strategis yang dilakukan demi membakar kembali semangat dan kepercayaan diri muda-mudi Malang.
Wajah sang penyair bersama dengan puisi kondangnya yang ditampilkan kepada khalayak menjadi simbol bangkitnya gerakan pemuda. Pesan-pesan perjuangan yang disampaikan melalui sastra, tentu harapannya akan lebih mudah diserap di hati publik.
Sosok di Balik Patung Chairil Anwar
Sebelum didirikannya patung Chairil Anwar di kawasan Kayutangan, kawasan tersebut merupakan sebuah taman putaran di depan gereja yang ramai dilalui pengguna jalan.
Pemilihan tempat ini juga bukan tanpa alasan, Kayutangan dinilai telah menjadi pusat berkesenian dan bertumbuhnya budaya urban pemuda Malang. Peletakan patung dan tulisan yang sengaja dibuat sejajar dengan pandangan mata publik, dimaksudkan untuk memperluas keterjangkauan pembacaannya.
Adalah Achmad Hudan Dardiri, seorang pegiat seni dan intelektual yang memprakarsai berdirinya patung sang penyair tersebut.
Sebelum pada akhirnya diresmikan oleh Wali Kota Malang keenam, M. Sardjono Wirjohardjono, pada 28 April 1955. Seorang seniman bernama Widagdo menjadi eksekutor yang mewujudkan ide pembuatan patung Chairil Anwar.
Achmad Hudan yang berprofesi sebagai pengajar pada saat itu merupakan penggemar besar sang Sastrawan Chairil Anwar. Dia menilai bahwa perjuangan pemuda tidak hanya melalui angkat senjata, namun kontribusi karya dan budaya yang mampu menggetarkan hati publik juga patut mendapat apresiasi dan perhatian khalayak.
Hingga kini, monumen patung Chairil Anwar masih menjadi episentrum para pegiat sastra dan seni untuk menghidupkan kembali karya-karya sang maestro di Kota Malang.
Selaras dengan pesan pendiriannya, pada momen hari lahir atau hari kematian Chairil, para pegiat sastra dan kebudayaan Malang kerap menghadirkan kegiatan penulisan atau apresiasi sastra di sana.
Penulis: M-3
Editor: Herlianto. A