MALANG, Tugumalang.id – Kalau berjalan-jalan ke kawasan Bromo, jangan lupa pulangnya mampir ke Candi Jago. Bangunan bersejarah peninggalan Kerajaan Singosari ini cukup unik dibandingkan candi-candi lainnya. Selain memiliki corak dua agama, Candi Jago juga memiliki enam relief yang menceritakan tentang enam kisah.
Candi Jago berada di lereng Gunung Bromo, tepatnya di Dusun Jago, Desa Tumpang, Kecamatan Tumpang, Kabupaten Malang. Candi ini dibangun pada tahun 1268 Masehi pada masa Kerajaan Singhasari.
Nama Candi Jago sendiri diambil dari kata Jajaghu yang artinya keagungan. Candi ini didirikan untuk menghormati Raja Wisnuwardhana. Di kawasan candi ini juga terdapat arca perwujudan Raja Wisnuwardhana. Sayang, kepala arca tersebut hilang, sehingga hanya ada bagian tubuhnya saja.
Bagian bawah candi memiliki corak Buddha, sementara bagian atasnya memiliki corak Hindu Siwa. Pun demikian dengan relief yang ada di candi ini. Tiga relief di bagian bawah menceritakan tentang agama Buddha, sementara tiga relief di bagian atas bercerita tentang agama Hindu Siwa.
Relief pertama yang ada di Candi Jago merupakan Tantri Kamandaka, yaitu fabel-fabel yang sarat pesan dan pelajaran hidup. Relief ini dipahat di bagian candi paling bawah.
Kemudian relief kedua yang ada di atas Tantri Kamandaka adalah kisah Ari Dharma atau yang kini dikenal dengan Angling Dharma. Relief selanjutnya adalah Kunjarakarna yang bercerita tentang surga dan neraka.
Relief keempat bercerita tentang Parthayajnya, yaitu kisah Pandawa Lima saat bermain dadu. Relief kelima berkisah tentang Arjunawiwaha, yaitu pertempuran antara raksasa dan para dewa yang melibatkan Arjuna. Relief terakhir adalah Kresnayana, kisah cinta Kresna dan Dewi Rukmini.
“Yang bercorak agama Buddha adalah Tantri Kamandaka, Ari Dharma, dan Kunjarakarna. Tiga lainnya bercorak Hindu Siwa,” ujar Mimin Yuni Marita, Juru Pelihara Candi Jago.
Pada masanya, Candi Jago digunakan sebagai pendarmaan abu raja yang sudah meninggal. Raja yang didharmakan di candi ini adalah Raja Wisnuwardhana.
“Raja yang meninggal, abunya dibawa ke sini. Selain itu, (candi ini) juga untuk ritual umat, baik Hindu dan Buddha. Jadi seperti perayaan Nyepi atau Waisak (dilakukan di sini),” tutur Mimin.
Kompleks Candi Jago tak hanya berisi struktur candi saja. Di bagian depan candi, terdapat sebuah struktur yang menyerupai bunga teratai. Mimin menyebut bahwa itu adalah tatakan arca Dewi Padma yang kini berada di Museum Nasional Jakarta. “Di situ (tatakan) ada bunga teratai, simbolnya agama Buddha,” kata Mimin.
Di halaman candi terdapat arca perwujudan Raja Wisnuwardhana yang diapit dua kepala raksasa penjaga candi atau Muka Kala. Beberapa meter di depan arca tersebut, juga terdapat satu arca Muka Kala. Diduga, dua Muka Kala dulunya di tempat di sisi kanan kiri pintu masuk candi, sementara satu Muka Kala ditempatkan di atas.
Kemudian di bagian belakang candi terdapat tumpukan batu-batu berukuran besar. Menurut Mimin, batu-batu tersebut belum diketahui posisi awalnya, sehingga ditumpuk begitu saja.
“Itu tumpukan batu-batu candi yang lepas yang tidak diketahui posisi awalnya. Jadi itu batu-batu yang sekedar dikumpulkan,” kata Mimin.
Candi Jago berada di tengah pemukiman warga dan terlihat jelas dari pinggir jalan raya. Pengunjung bisa dengan mudah menemukan candi ini.
Untuk masuk ke Candi Jago tidak dipungut biaya. Namun, pengunjung bisa iuran seikhlasnya dengan memasukkan uang ke kotak yang ada di dekat pintu masuk.
Reporter: Aisyah Nawangsari Putri
editor: jatmiko