Oleh: Yurmartin*
Amanah yang diberikan itu sebenarnya, bagiku, -jika dikembalikan kepada nilainya- bukanlah sebuah kepercayaan. Tapi lebih kepada memahami kepastian tentang tuntutan keutamaan seseorang akan haq yang menjadi tujuannya dengan tanpa memandang alasan.
Di sini, membutuhkan referensi dari sedikitnya sumber hakiki yang dapat memberikan arti tentang dasar dan tujuan yang akan dijalani. Mudahnya segala sesuatu yang ingin didapati tidak bisa hanya sekedar menjadi, dimintai atau dipilih.
Terutama berkaitan dengan langkah-langkah ubudiyah yang nantinya akan menjadi kesiapan diri atau benteng dari pengabdian utama terhadap Ilahi.
Berbagai persoalan ketidakjujuran dalam menjalankan proses mendekatkan diri kepada Tuhan, sebenarnya merupakan masalah keikhlasan hati yang kerap terjadi pada diri seseorang.
Bahkan sering timbulnya kepalsuan itu bukan karena tidak mengetahui rukun dan syarat menuju hakikat, tetapi lebih kepada melihat kasat mata syariat. Sehingga kebanyakan perjalanan keimanan seseorang mengarah kepada merasa berilmu tinggi, ingin dihormati dan terlihat keluarnya wawasan tidak pada pembelajaran diri atau tidak berdiri pada kaki sendiri. Hasilnya, banyak yang meninggalkan haq demi melakukan yang bukan kewajiban.
Dalam kesadaran melangkahkan kaki menuju jalan Ilahi yang hakiki, diperlukan sekali akurasi dan sistematikanya, agar apa yang dicari serta persebarannya terhadap seluruh manusia dan makhluknya dapat membentuk perjalanan paripurna dan perjuangan ke-Tuhanan yang sempurna.
Sebelumnya, jauh ketika awal hadirnya tanda tanya ingin dimulainya sebuah perjalanan diri, terbaca dalam sebuah sabda sebagaimana Rasulullah SAW pernah berkata: ”Akan datang pada manusia (umat Muhammad) suatu zaman, banyak orang yang merasakan dirinya shalat, padahal mereka sebenarnya tidak shalat.”(HR Ahmad).
Rasulullah juga bersabda: ”Berapa banyak orang yang shalat, keuntungan yang diperoleh hanyalah kepayahan dan keletihan.” (HR Ibnu Majah). Sabda ini menginginkan kejelasan kenapa hanya mendapat rasa lelah dan letih saja. Dalam pengembaraan hati dan pikiran selanjutnya, terbersit kemanakah dan dalam bentuk apakah maksud semua sabda Nabi ini. Terus dan teruslah pertanyaan itu muncul dan dari hari kehari, akhirnya makin banyak pertanyaan itu keluar dengan berbagai macam pertanyaan baru lainnya. Selalu membuat haus kerongkongan jantung dengan desiran nafas yang membumbung.
Intinya, senang dan rasa sakit itu nyata ketika semua pertanyaan menjadi gambaran utuh yang membutuhkan jawaban. Bahkan lebih banyak sakitnya malah, apabila belum terselesaikan..?!
Itulah kedekatan pertanyaan yang menggulung, namun harus diakui tidak pernah membuat gila. Hanya pusing kepala dan denyutnya, cukup luar biasa. Walaupun demikian tetap saja hanya asik dalam inginnya rasa tahu yang luar biasa.
Semuanya terjadi begitu saja lalu selanjutnya dengan ikhlas hati, mencoba dan berlatih memaafkan semua yang terjadi pada diri, maka semua kebersamaan pandangan hati dan pikiran ini yang pernah menyesatkan, diharapkan tak mungkin terulang lagi. Mungkin harus diberatkan dengan lebih baik meninggalkan daripada mengukir cerita dengan halusnya kerusakan dan pengkhianatan terhadap Tuhan.
Kunjungan dan kajian pertama terjadi dikalangan teman, saudara dan keluarga. Mempertanyakan banyak hal tentang agama yang telah ada dengan segala metaforisnya. Terdapatlah pembacaan tasawuf sebagai model kekuatan khusus yang tertuntun dan ternyata itu adalah edukasi dari teknik amaliah pembasuhan penyakit hati yang telah meliputi. Menerangi akal pikiran dari segala keburukan yang telah terwarnai.
Menguatkan diri pada nilai utama zikir, pikir dan amal sholeh, menghargai dan berbaik sangka kepada mereka yang berbeda jalan dan bergandengan terhadap semua makhluk ciptaan Tuhan. Tidak merasa lebih tinggi terhadap ilmu dan keimanan serta mengabdi kepada Tuhan untuk kehidupan dan keselamatan. Membuang jauh-jauh perkara mazmumah termasuk dalam mengingat dosa yang keluar dari jalur agama atau yang mengatasnamakannya. Apalagi mengingat orang-orang yang pernah membuat luka karena hinaan dan celaan yang diberikan. Selanjutnya memahami kedekatan dan keterikatan kemanusiaan bukanlah karena penyesalan dan kebencian tapi karena Tuhan pertemukan untuk pembinaan diri dan keadaan, termasuk pernah berjalan dalam kebersamaan.
Semuanya terlakukan, karena Tuhan hanya memaparkan kehidupan dan untuk memberitahu bahwa keberhasilan itu bukan berasal dari kepalsuan dan pengkhianatan atas nama apapun, tapi atas dasar ketinggian kesadaran itu sendiri.
Saat itu juga teringat sebuah referensi yang dulu pernah dibaca dalam sebuah cerita Khalilullah Nabi Ibrahim kepada istrinya ketika ditinggalkan olehnya di gurun pasir tanpa air. Saat itu, Siti Hajar mengejarnya dan berkata, “Wahai Ibrahim, suamiku Ayah dari Ismail, apakah ini perintah Tuhanmu..?! Ya ini perintah Tuhanku.!!
Jika demikian dan benar adanya, pergilah, biarlah Allah menjaga kami. Karena sebuah pengabdian kepada Tuhan adalah ketaatan, biarlah keselamatan kami akan dijaga oleh keadaan yang Allah inginkan.”
Dengan beratnya perjuangan Siti Hajar sembari menahan haus dan lapar yang tak terbayangkan oleh banyak orang yang senantiasa berujar, Siti Hajar berjalan seperti lari, pulang dan pergi dari Safa dan Marwa sebanyak tujuh kali.
Ditempat peristirahatan terakhir, si lucu Ismail yang mungil menggerak-gerakkan kakinya ditumpukan padang pasir yang tandus.
Dengan kuasa-Nya, keluarlah air darinya, inilah yang disebut air zamzam. Bertahanlah mereka selama belasan tahun dan jadilah Ismail anak yang sangat sholeh, taat kepada Allah dan siap menerima perintah Allah walaupun melalui perintah Allah pula ia akan disembelih oleh ayahnya.” Sungguh, sebuah piranti hati yang menakjubkan untuk sebuah perjalanan keimanan.
Tentu, di situ terdapat nilai utama dari sebuah perjalanan panjang ketuhanan yang sesungguhnya. Dan setidaknya, menguras energi untuk mematuhi sebuah esensi cahaya Ilahi, untuk saat itu yang tumbuh dan berkembang di masa depan dan dijadikan Ibadah hakiki kenaikan haji.
Rupanya pengajaran iman yang immaterial itu, membentuk Restorasi dari konstruksi alami yang wajib diabdikan dan dikembangkan secara duniawi dalam bentuk ketaatan untuk nilai kemanusiaan. Kenapa karena di situ terdapat ketaatan yang sama meski keadaan selalu berbeda. Darinya akan membentuk metafisikanya ruhani yang akan tersambung pada ketaatan dan pengabdian setelah meninggalkan kuatnya nilai materi yang terikat secara imajiner.
Seperti inilah ternyata Ibrahim terhadap Siti Hajar dan Ismail di padang gurun pasir, lalu mengeluarkan air zamzam sebagai simbol keberkahan hidup dan rahmat untuk membersihkan diri dalam ketaatan.
Dari sini pula terpaparlah pelajaran, ternyata dalam apapun zamannya, persoalan keimanan dan kesucian diri, selalu saja membutuhkan pengorbanan diri dan selalu saja akan dihadapkan pada persoalan materi yang meliputi. Belum lagi adanya ujian yang searah dari berlabuhnya rasa didada, yang mungkin saja nantinya, jika tidak berpegang teguh, akan membuat binasa.
Saat yang bersamaan itulah hadir dan dihadapkan penegak dan perusaknya. Dan itu hanya terdapat serta dilakukan oleh orang yang sangat dekat dan di dalam rumah sendiri.
Berbisik lirih ungkapan hatiku saat itu yang dengan tegas berkata, “Tuhan, dari sekian banyak manusia mulia serta contoh-contoh yang menggema dalam menjalankan amanah-Mu, Engkau telah mensinergikan indahnya pengorbanan atas nama pengabdian. Dan kebanyakan hamba-Mu hanya membaca tanpa pernah melakukannya. Bahkan di akhir dari semua utusan-utusan-Mu, telah Kau nyatakan segala sesuatu baik dan buruknya, sebagaimana Engkau memberikan kami seorang manusia mulia dan agung yang kami ikuti, dialah Ahmad ibn Abdullah.
Karena kebesaran dari kemuliaan dirinya terhadap amanah Engkau untuk sesama, tersiarlah kebenaran sejati ini sampai keseluruh penjuru dunia. Kekasihmu ini dikenal dengan sebutan Muhammad, manusia yang tiada duanya.
Namun Engkau juga tidak lupa menurunkan Abdurrahman Ibn Muljam yang beriman, taat dan kuat beribadah kepada Engkau sebagai ujian keberimanan umat yang mengimani Engkau.
Melalui ketetapan-Mu, Ia menghancurkan ke-Esaan atas nama Iman dan kebenaran dalam Islam dengan membentuk karakter hakim yang lebih berhak dari-Mu.
Gema dan perkembangannya, selalu ada sampai sekarang dan terus menerus memusuhi sesama umat Islam.
Tuhan, Engkau jadikan agama dan jalan-Mu sebagai sumber utama kemuliaan manusia, dan Engkau jadikan pula kemuliaan itu sebagai sumber utama kehancurannya.
Ternyata, rusaknya agama dan jalan kepada Allah dilakukan oleh orang yang diakui iman, ilmu dan kemuliaannya lalu diteruskan oleh pengikutnya yang merasa kebenaran itu milik ikutannya saja.
Butuh banyak keluasan dan kelapangan dari hati dan pikiran untuk memahami setiap kejadian spiritual keagamaan yang vertikal terhadap-Mu. Termasuk referensi-referensi yang sebanding agar tidak terjebak pada rasionalisasi persepsi dan imajinasi hayati yang mendukung salah satu kekuatan “yang katanya takzim pada Ilahi.”
Karenanya, pencarian dan perjalanan orang beriman, terutama diriku tak bisa mundur untuk mendapatkan kebenaran yang tidak ada duanya diantara satu. Apapun itu bukanlah penghalang bagiku, kecuali Allah yang mematahkan langkah kakiku lalu menidurkanku dengan mata yang berlari jauh.
Aku tak pernah takut dengan keadaan sekitarku yang luar biasa atau keadaan diluarku yang masih biasa saja. Tak pernah peduli dengan status manusiawi yang hanya dipandang oleh insani. Apalagi yang menurut sebagian orang tak mungkin berlaku karena senjangnya masa lalu.
Harus diakui kenapa dengan begitu kuat kehendak ini ingin menggapai nilai hakiki..?! Nyatanya, bagiku, inilah amanah hati yang tak mungkin aku ingkari.
Semua untuk kebaikan hati dalam bersatunya perasaan nilai ini, akan terus berjalan selalu mengiringi arus waktu.
Semua yang telah dimulai dengan bismillah, hanya akan maju kemuka, tak pernah membelakanginya apalagi berdiri di tengah-tengah sebagai pengagum banyaknya cerita dari mereka-mereka yang katanya sudah memahami makna sejatinya.
Demikianlah adanya kuatnya dorongan hati dari sebuah cinta yang tertanam di dalam dada untuk sesuatu yang nilai besarnya ada di sana, didiri-Mu yang tiada dua.
Ibarat seseorang yang jatuh cinta dan memang ingin bersama selamanya dalam satu wadah ketulusan hati, memang menuntut harus mengerti dan saling berbagi bukan menutupi dan saling berdiam diri. Saling memberi ruang dan jalan bukan saling menahan dan mengacuhkan, dan jika terjadi kesalahan dalam perjalanan, carilah apa dan dimana salahnya, bukan tuduhan dan siapa orangnya yang salah..?!
Bahkan di hadapan sang kekasih, dirinya mampu menyatakan hanyalah sebongkah rindu yang merayu. Engkaulah pendamping dan penuntun kesadaran jiwa yang tadinya lama sekali hilang. Ungkapannya akan tersulut asmara tiada terhingga dan terujar dalam pasrah, “diriku tak mampu menyebutmu apa..?! Karena setiap waktu bersamamu kebahagiaan hati terasa begitu dalam.”
Di bagian lembaran lain, terdapat pula kata mereka yang telah memulai sebuah jalan yang lurus, harus menemui seseorang yang mengerti mengenai jalan itu. Dialah sejatinya yang akan menghantarkanmu.
Dalam pengertian ini, dia itu disebut Guru sejati, yang selalu mengajarkan pembenahan hati dan menghapuskan besarnya kekotoran jiwa.
Menuntun menghiasi batin dengan ketundukan dan keindahan cahaya ridha. Bukan menjadi orang yang ingin diikuti dan dihormati karena merasa memiliki status dan kemampuan lebih.
Sedikitnya dari beberapa pandangan, menghasilkan sebuah pengertian sebelum memulai perjalanan panjang. Karena itu diriku harus tahu, saling mencintai dan menjaga perasaan hati, namun tak bisa di tengahi oleh jarak yang tak pasti adalah defenisi yang seharusnya sudah tidak ada lagi. Menjalaninya harus selalu dan terlihat tegar, senyuman yang terpancar haruslah selalu menjadi pagar besi yang menjadi belati tajam pertahanan diri. Namun sejujurnya dibalik semua itu, sebagai hamba yang lemah, pengakuan kekurangan dan kelalaian haruslah diterima. Karena akan selalu ada air mata yang jatuh dan akan ada jiwa yang dirundung sedih karena jauhnya perjalanan yang terbentang mengarungi sepi. Karenanya pula, menelisik ke dalam sebagai sebuah persiapan pengembaraan, lebih baik diriku selalu berdamai dan membersamai hati, mengurai haru dan memadu cinta. Daripada diriku terpisah, membuang rindu dan diam menahan rasa.
Harus pula menyadari akan sebuah arti yang ingin dimengerti, jika dicintai adalah keadaan yang paling berharga untuk bahagia.
Jika nanti status menjadi penghalang untuk mencintai dan dicintai, maka selayaknya seseorang harus pamit undur diri agar tidak melukai diri dan terlalu menyakitkan hati.
Di antara itu semua nantinya, pastilah terdapat kenyataan sebaliknya yang bisa saja terjadi dan menimbulkan pertanyaan yang baru lagi. Seperti pernah terjadi di zamannya para nabi. Kenapa selalu ada rasa benci dan keburukan hati dari pelaku kebenaran sejati?! jawabannya jelas bercerita, karena pada kecintaan yang diagungkan terhadap Tuhan, hanyalah tahta dari status yang terbungkus.
Lisan dan ceritanya yang bergetar hanyalah perhatian dari unggahan permintaan yang dibesarkan. Sehingga melupakan tujuan yang seharusnya dijalankan. Sebuah jawaban sulit memang, apalagi saat kesendirian itu datang diantara banyak sisinya, maka akan terasa asing kaki berpijak dari jumawanya gambar dunia. Hanya Allah tempat bersandar dan meminta meskipun diri belum memulai menggapainya. Harapan besar hanya akan tersiar dengan kata, “Kau datang membawa terang, bak cahaya indah dipandang.
Fanaku akan dirimu, menyatakan rasa malu, dari luasnya hamparan berdebu.
Bahagiaku tak mampu diredam, senyumku tak mampu terkunci dan kerinduanku hanya mampu menyatu dalam tangis dan rasa sakit yang jatuh dalam sucimu kehadiranmu. Kugenggam erat ketulusanmu dari tulusnya harapan yang hampir pupus setelah menjaga besarnya perasaan yang tersisihkan.
Dengan rahmat-Nya, keyakinan wajib disematkan, pastinya Tuhan akan datangkan seseorang yang bukan hanya lebih baik, tapi juga berkorban secara utuh demi kebahagiaan hakiki yang ditempuh.
Aku sadar, karena status kehambaanku yang belum tuntas, perjalanan ini masih terasa belum lepas dalam beratnya langkah memilih waktu.
Terlanjur mencintai bukan ingin dicintai, karena diri ini hanya mendambakan tujuan sejati. Selayaknya bagi yang akan menghambakan diri harus selalu tegak berdiri untuk memahami.
Seorang sahabat pernah berkata, walaupun dirinya hanya sebatas berkata-kata. “Ketika kamu selalu beralasan dalam mengungkapkan perasaan dari tujuan yang kamu inginkan, berarti kamu bukanlah orang yang memiliki tujuan. Jangan pernah melupakan arah dan tujuan hadirmu di sini (bumi) meskipun lemahnya kaki dan letihnya hati selalu menggerogoti, dirimu tetap harus menjalani.?!
Benar adanya ucapan sahabatku, memang, Tak mampu jiwaku lepas dari ikatan-Mu, meski detik-detik waktu menghujam deras tak menentu. Semua alasan, terkubur akan dalamnya makna itu, dan aku terbaring lepas dalam pesona disetiap penjuru. Diriku ini, sebongkah jiwa yang bertuan. Cermin hati dan langkah kaki menjadi dorongan kehidupan. Karena-Mu, sebuah pengorbanan pantas diberikan.
Dari dalamnya pengertian itu, menurutku, jika ingin melihat kebenaran iman seseorang, lihatlah dari cara dia mengabdikan diri kepada Tuhannya, dari cara dia menerima dan memperlakukan perbedaan terhadap sesamanya. Karena apa yang dinyatakan Tuhan adalah ketetapan-Nya, bukan selera manusia yang menyampaikannya.
Yang tulus akan datang tanpa melihat usia, waktu dan keadaan. Ia akan pergi jika tak pernah dihargai..?!
Terimakasih Tuhan atas yang tak tergantikan..?!
Se-luas dan se-lapang itu kau beri nikmat diriku sekarang. Aku menerima siapa saja yang mau kembali dan aku merelakan siapa saja yang ingin pergi.
Bagiku, dunia ini hamparan luas yang boleh dikehendaki dan dijalani oleh siapa saja.
Bagi yang dirinya terbuka, kudo’akan bersahaja dan bagi yang berbeda, silahkan meneruskan langkah.
Begitu mudah, begitu sederhana.
Seikhlas mentari menyinari bumi, seterang itulah rasa cinta yang kumiliki. Jika takdir menutup pintu, do’a dan rela pasti akan menyerta.
Tentunya luka akan terasa, mendera dalam hati yang nyata.
Tapi tak mungkin meminta dan memaksa jiwa, jika derasnya arus telah berpaling dan berubah arah sesuai kehendaknya.
Ikhlasnya penghambaan laksana pekatnya awan menurunkan hujan.
Yang ketika berhadapan, langit akan runtuh dan bumi akan hancur, maka bergegaslah menyelimuti hantaran jiwa dalam hausnya makna kalimah..?!
Tak mungkin menahan waktu dari gemuruh yang berpadu. Tundukku pada diri-Mu, seperti seisi alam yang patuh mengingat-Mu.
Inilah awal bermula, dari pelangkahan utama jati diri menuju sumber pemilik sejati.
Perlahan namun pasti dari balik kamar hati terdengar suara yang bersahaja.
“Ketahuilah wahai mutiara jiwa;
Dahsyatnya Badai dan duri senja yang kamu derita, hanyalah sementara dan tidak bertahan lama. Sedangkan nikmat dan rahmat yang kamu terima akan selalu ada dan bertahan selamanya.
Diriku terjaga dari derunya suara jiwa. Tergugah dan terpesona, mengangguk sendiri dan memahami kehendaknya kebenaran diri.
Perlahan kaki mengangkat badan, lalu mata menatap mentari senja dengan melihat jatuhnya cahaya.
Dari situ pikiran menyalakan prekuensi jiwa yang tersambung dengan sinyal pikiran di kepala, lalu menyusun paragraf kata sederhana, “Perbaharuilah niat dan cara pandang hanya kepada Allah. Perbanyaklah jalinan hubungan terhadap lurusnya jalan.
Lakukanlah nilai pergerakan narasi menjadi akurasi aksi. Jadikanlah media pertarungan diri menggapai takdir, agar dapat memeluk erat masa depan yang diharapkan.
*Penulis merupakan Penggiat Sosial Kemasyarakatan
—
Terima kasih sudah membaca artikel kami. Ikuti media sosial kami yakni Instagram @tugumalangid , Facebook Tugu Malang ID ,
Youtube Tugu Malang ID , dan Twitter @tugumalang_id