TASIKMALAYA | TuguMalang.id – Pemasukan akan cukup untuk memenuhi kehidupan. Tapi, tidak akan cukup untuk gaya hidup. Adagium ini tampaknya tepat jika menggambarkan warga Desa Adat Kampung Naga, di Tasikmalaya, Jawa Barat.
Saat tim ‘ Jawa Bali, Mereka yang Memberi Arti’ oleh Tugu Media Group dan PT Paragon Technology and Innovation melakukan eksplorasi ke kampung tersebut, Kamis (1/9), salah satu yang menarik dari kampung ini adalah soal kesederhanaan dan ketahanan pangan warga kampung.
Penduduk kampung adat yang tidak memakai listrik dan alat elektronik seperti handphone dan televisi ini, mayoritas pemasukannya dari bertani padi.
Cahyan, 52 tahun, salah seorang penduduk mengatakan, mayoritas warga kampung ini mempunyai lahan padi sebanyak 100-150 bata atau tumbak. Bata atau tumbak adalah penanda untuk 13 meter persegi lahan pertanian yang digarap.
Jika memiliki 100 tumbak, artinya setiap warga desa ini mempunya sekitar 1.300 meter persegi lahan pertanian berupa sawah. Rata-rata, dengan lebar tersebut, dalam enam sekali, mereka panen 4 kwintal gabah atau padi yang belum ditumbuk.
Sebagai langkah swasembada pangan, semua warga di tempat ini, akan menyimpan hasil panen, untuk persiapan hidup enam bulan kedepan.”Jadi kita sering kekurangan uang, tapi tidak akan kekurangan nasi untuk di makan,” kata Cahyan lalu terseyum lebar.
Dia menambahkan, dari 4 kwintal beras yang dia panen tersebut, biasanya dia menyimpan buat keperluan keluarga 2,5 kwintal. Beras atau paadi tersebut, lantas ditaruh di Lumbung Padi atau Leit.
“Sedangkan sisanya yakni 1,5 kwintal saya jual, mungkin dapat Rp 600 ribu,” imbuhnya.
Uang Rp 600 ribu itu sebenarnya bukan pemasukan bersih, karena ada untuk keperluan pupuk dan bibit. Sedangkan untuk pendapatan uang lain, Cahyan dapat dari menjadi tour guide dan membantu jika ada tetangga butuh tenaganya seperti memotong kayu.
Untuk Tour Guide, Cahyan tidak menentukan tarif.”Karena kita ini desa adat, bukan desa wisata, jadi gak boleh menentukan tarif, seikhlasnya saja, dan di sini ada sekitar 10 guide, jadi gantian yang antar tamu,” katanya.
Saban bulan, untuk keperluan hidup dia, istri dan dua orang anaknya, pengeluaran Cahyan sekitar Rp 1 juta.”Sering juga sih gak punya uang, kurang. Tapi disyukuri saja karena bisa hidup dengan adanya lumbung padi,” imbuhnya.
Ma’un, 88 tahun, tokoh adat juga mengatakan hal serupa, bahwa tumpuan utama dia dan warganya ada pada sawah yang ada di sekitar kampung naga.
Selain dari sawah, dia membuat aneka rupa kerajinan tangan.”Lumayan buat tambahan,” katanya.
Untuk diketahui, desa adat ini berada di sebuah lembah. Untuk mendatangi desa ini, dari parkiran mobil, harus jalan kaki sekitar 20-30 menit. Kita menuruni sekitar 444 anak tangga.
Di tempat ini, tidak ada listrik. Tidak adanya listrik bukan karena warga di sini menolak kemajuan. Tapi, takut ada konsleting listrik, yang membuat rumah terbakar.
Ini karena rumah di desa adat ini sangat berdempetan, dan dibuat dari kayu serta anyaman bambu. Rumah di sini tidak memakai bahan semen sama sekali.
Dari sekitar 101 Kepala Keluarga (KK), hanya ada sekitar 5 keluarga yang mempunyai televisi. Itupun, televisi hitam putih, yang dihidupkan dengan Accu. Sedangkan untuk handphone, mayoritas warga tidak punya.”Misal kayak keluarga saya, ada empat orang, handphone satu rumah cukup satu. Dan banyak juga rumah yang sama sekali tidak punya handphone,” kata Cahyan.
Karena inilah, warga kampung naga bisa dibilang hidup dengan alam. Tim jelajah terlihat menyaksikan anak-anak yang sangat asyik bermain dengan teman-temannya di alam terbuka.”Main kita ya seperti ini, saya tidak pakai pernah pakai handphone, dan enjoy,” kata Rapka, 8 tahun.
Catatan ini adalah bagian dari program Jelajah Jawa-Bali, tentang Inspirasi dari Kelompok Kecil yang Memberi Arti oleh Tugu Media Group x PT Paragon Technology and Innovation. Program ini didukung oleh Gerakan Wartawan Peduli Pendidikan (GWPP), Pondok Inspirasi, Genara Art, Rumah Wijaya, dan pemimpin.id.
Reporter: Irham Thoriq