Oleh: Aisyah Nawangsari Putri, wartawan tugumalang.id
Tugumalang.id – Notifikasi ponsel “centang-centung” berbunyi, Sabtu malam 1 Oktober 2022. Saya intip, banyak kiriman di grup redaksi tugumalang.id. Saya pikir itu laporan wartawan terkait liputan pertandingan Arema FC versus Persebaya.
Saya buka grup, isinya gambar-gambar tragedi di Stadion Kanjuruhan. Gas air mata, penonton di lapangan, dan narasi-narasi chaos. Saya kira waktu itu, mungkin biasa terjadi pada pertandingan olah raga.
Tapi subuh hari saya cek ponsel, notifikasi lebih 100. Ini gawat. Tidak hanya di grup redaksi, tapi juga grup wartawan Malang, semua tentang Kanjuruhan. Satu persatu saya buka.
“Ya Allah, apa ini,” saya tak menyangka ratusan suporter menjadi korban di Stadion Kanjuruhan. Gemetar seluruh badan saya. 127 korban jiwa. Itu yang disampaikan Kapolda Jatim Nico.
Sejak November tahun lalu, saya belum pernah liputan peristiwa mengerikan seperti ini. Di grup penugasan, redaktur sudah memberi arahan saya harus ke mana.
Wartawan Semalaman Tak Tidur
Pagi-pagi sekali saya dari Gondanglegi, langsung berangkat ke Polres Malang. Di jalan, saya gemetaran di atas motor. Gugup. Lewat Kanjuruhan, saya seperti melihat peristiwa yang besar. Seperti habis tsunami, seperti habis gempa bumi. Saya melihat puing-puing di luar stadion. Porak-poranda.
Saya tetap ke Polres Malang. Di sana sudah banyak wartawan. Saya lihat mereka kelelahan. Saya tanya, teman-teman tidak tidur semalaman. Setelah membantu evakuasi, mereka lanjut melaporkan peristiwa.
Di Polres itu, redaktur minta saya pindah ke rumah sakit. Saya merasa takut begitu hebat. Saya akan liputan korban jiwa, banyak jenazah.
Sesampainya di RSUD Kanjuruhan, saya lihat kasur-kasur pasien berjejer di ruang gawat darurat, bahkan berderet hingga ke luar. Tapi tidak ada pasien. Saya tanya satpam, dia bilang sudah banyak korban yang dijemput pulang keluarganya.
Tapi saya masih merasakan suasana ngeri, lalu pelan-pelan masuk ke ruang dekat kamar mayat. Sepi memang, hanya ada beberapa orang. Tapi suasananya tetap mencekam. Staf di sana bilang, 21 korban meninggal di RSUD ini.
Menata Emosi
Di depan kamar mayat itu, saya lihat pria paruh baya, raut mukanya cemas, seperti menunggu kabar entah apa. Lalu tim medis meminta pria itu masuk ke kamar mayat. Ya Allah. Dia diminta mengecek apakah salah satu dari jenazah itu adalah keluarganya.
Tenaga medis membuka kain yang menutupi kepala jenazah. Saya lihat itu perempuan, masih muda. “Betul ini keluarganya, pak?,” saya dengar tenaga medis itu memastikan. Pria itu hanya mengangguk dan menangis sejadi-jadinya. Lemas tubuhnya. Dia peluk jenazah itu sambil menangis.
Saya merasakan pria itu sedang terguncang hebat. Kehilangan satu-satunya yang paling berarti dalam hidupnya. Dia menangis dan berteriak. Tenagas medis mendekap pria itu dan memapahnya ke mobil ambulans. Saya tidak bisa apa-apa. Mau bertanya juga buat apa. Orang itu sangat sedih.
Kemudian beberapa orang berdatangan. Mereka menanyakan korban di Stadion Kanjuruhan. Saya semakin takut. Saya gemetar. Akhirnya saya pilih menjauh. Para keluarga korban itu pasti jiwanya berkecamuk.
Ini tragedi besar. Saya cek grup redaksi lagi, banyak notifikasi. Para pejabat negara informasinya sudah di Malang. Berita di dunia fokus pada Tragedi Kanjuruhan ini. Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa datang ke RSUD Kanjuruhan. Saya lihat dia juga menteskan air mata. Empati dan emosiku pun ikut larut, tapi saya mencoba menata emosi itu. Saat itu saya pusing. Saya tulis laporan di rumah sakit dengan hati-hati.
Di Kepanjen, kecamatan di mana Tragedi Kanjuruhan pecah, situasinya sangat panik. Di rumah sakit, stadion, jalan, bahkan di rumah saya, Kecamatan Gondanglegi yang berbatasan dengan Kepanjen. Saya diwanti-wanti orang tua agar hati-hati dalam liputan ini. Saya diminta selalu berdoa.
Apalagi Stadion Kanjuruhan, di luar sudah porak-poranda. Dulu saya beberapakali nonton Arema di stadion kebanggaan warga Malang itu. Ingatan saya kembali ke tahun 2004, saat Stadion Kanjuruhan diresmikan. Waktu SMP saya pernah tampil sebagai petugas paduan suara HUT RI di stadion itu, 2004-2006.
Minggu pagi itu, 2 Oktober 2022. Banyak orang berdatangan ke Stadion Kanjuruhan. Saya meratapi stadion besar itu. Pengunjung berjubel tapi suasana hening. Orang yang datang berdoa di patung singa. Berdoa di pintu-pintu stadion yang penuh bunga, doa, dan juga makian buat aparat keamanan.
Menyisir Keluarga Korban
Saya meliput hampir semua pejabat penting negara datang, termasuk Presiden Jokowi. Saya mencatat statemen-statemen mereka. Beberapa saya rasakan, pejabat yang ikut sedih dan berduka. Tapi saya juga rasa ada dari mereka yang datang untuk memastikan hal lain. Belasungkawa untuk korban mungkin nomor sekian. Itu perasaan saya saja.
Kalau orang benar-benar sedih atas peristiwa ini, akan menangis. MENANGIS. Apalagi warga Malang, yang tanpa sekat dengan tragedi ini. HANCUR HATINYA, HANCUR JIWANYA.
Rabu siang, 5 Oktober 2022, saya pergi ke Dusun Bendo, Desa Karangpandan, Kecamatan Pakisaji. Rumah duka korban jiwa bernama Septian Ragil Syahputra. Anak ketiga pasangan Yanto-Winartiningsih.
Winartiningsih, tak henti-hetinya menangis. Kehilangan putranya yang berumur 22 tahun. Sebagai perempuan saya tak sampai hati membayangkan kehilangan seorang anak.
Kata ibunya itu, Agil sudah matang dan dewasa. Agil suka bersedekah di tanggal 3 awal bulan. Sedekahnya dari hasil jerih payah bekerja di kebun jeruk. Gaji yang Agil terima, sebagian disisihkan untuk sedekah.
Winartiningsih tak sanggup bicara panjang lebar, bibirnya selalu bergetar. Kedua matanya jadi sumber air, mengalir ke pipi dan menetes.
Saya lihat, di depan ibu itu ada amplop yang ditempeli foto Agil. Untuk apa bu? Ternyata kedua orang tua almarhum ini menyedekahkan kembali santunan pemerintah untuk korban jiwa Tragedi Kanjuruhan.
Dada saya seperti tertusuk duri tajam. Uang sudah tak ada artinya lagi. Orang tua Agil tak mau berpikir panjang, santunan itu diberikan ke beberapa orang. Ada yang buat akikah, kurban, macam-macam.
“Anak kami sangat mencintai Arema sejak kecil, sekeluarga memang suka Arema. Sejak kecil memang sering nonton, bahkan kalau main di luar kota,” kata Yanto.
Winartiningsih dan Yanto sangat kehilangan. Begitu juga keluarga korban yang lainnya. Anak kecil yang masih lucu-lucunya tak tertolong. Anak-anak sekolah, semua berakhir.
Satu kematian adalah tragedi, satu juta kematian adalah statistik. Demikian Presiden Uni Soviet, Joseph Stalin, pernah mengatakan.
Aremania dan warga Malang saat ini masih diselimuti duka. Ratusan korban luka juga masih berbaring di rumah sakit.
Semoga para korban jiwa mendapat tempat terbaik di sisi Allah swt. Semoga para korban luka mendapatkan kesembuhan, sembuh seperti semula. Doa kami untuk kalian Aremania, semoga mendapatkan keadilan yang seadil-adilnya.
Editor: Herlianto. A