Oleh: Sugeng Winarno *
“Kebencian adalah bahaya bagi semua orang sehingga untuk memeranginya harus menjadi pekerjaan bagi semua orang” (Antonio Gutteres, Sekjen PBB, Sabtu, 18 Juni 2022).
Tanggal 18 Juni ditetapkan oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) sebagai Hari Internasional Melawan Ujaran Kebencian (International Day for Countering Hate Speech). Dasar ketetapan PBB ini dengan mengadopsi resolusi nomor 75/309 tahun 2021 tentang mempromosikan dialog dan toleransi antar agama dan antar budaya dalam melawan hate speech. Hari Internasional Lawan Ujaran Kebencian untuk pertama kalinya dirayakan tahun ini.
Ujaran kebencian memang masih terus terjadi. Melalui beragam platform media baru (new media), sejumlah narasi kebencian terus diproduksi dan diviralkan banyak orang. Melalui beragam akun media sosial (medsos) tak jarang konten yang bernada ujaran kebencian muncul dan menyebar.
Beragam unggahan yang mengarah pada makna kebencian, hasutan, diskriminasi, rasisme, intoleransi, ketidaksetaraan, dan kekerasan masih saja dihembuskan sekelompok orang.
Ujaran kebencian menjadi masalah serius tak hanya di negeri ini. Hampir seluruh dunia menghadapi persoalan terkait ujaran kebencian. Karena itu PBB merasa perlu turun tangan menangani persoalan ujaran kebencian yang telah menjadi pandemi itu.
Ujaran kebencian telah mengoyak rasa persatuan, kesatuan, memecah belah, dan mengancam perdamaian dunia. Ujaran kebencian adalah musuh bersama dan perlu dilawan bersama-sama pula.
Mengutip penjelasan PBB, definisi ujaran kebencian adalah segala jenis komunikasi dalam ucapan, tulisan atau perilaku yang menyerang atau menggunakan bahasa yang merendahkan atau diskriminatif dengan mengacu pada seseorang atau kelompok berdasarkan siapa mereka (berdasarkan agama, etnis, kebangsaan, ras, warna kulit, keturunan, jenis kelamin, atau faktor identitas lainnya).
Subur di Medsos
Salah satu media yang banyak digunakan sebagai penyebaran ujaran kebencian adalah medsos. Medsos telah menjadi wadah tumbuh suburnya ujaran kebencian. Lewat akun-akun medsos sekelompok orang melancarkan aksinya dengan mengunggah beragam narasi ujaran kebencian. Lewat medsos pula berbagai narasi ujaran kebencian itu menggelinding semakin membesar.
Salah satu yang menyebabkan tumbuh suburnya hate speech di medsos karena di media yang penggunannya sangat masif ini memungkinkan sang pengunggah narasi kebencian itu bisa tak menampilkan siapa sejatinya dirinya.
Sifat anonimitas inilah yang menjadikan orang bisa lebih leluasa menjadi “provokator” dengan mengunggah narasi-narasi yang bisa memicu konflik.
Berdasarkan survei terbaru yang dilakukan Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) pada 2022, pengguna internet di Indonesia mencapai 220 juta orang. Sebelum pandemi, jumlah pengguna internet di Indonesia adalah 175 juta orang. Penetrasi internet terhadap penduduk Indonesia juga tinggi, saat ini mencapai 77 persen berdasarkan survei terbaru APJII tersebut.
Merujuk data dari We Are Social (2021), sebesar 96 persen pemilik smartphone di Indonesia menjadi pengguna medsos. Ini artinya, banyak pemilik medsos di mana pun, kapan pun, dan dalam situasi apa pun yang bisa menyampaikan pesan-pesannya melalui platform medsos miliknya dan akun medsos orang lain yang diikutinya.
Data We Are Social menyebutkan bahwa sebanyak 99,8 persen pemilik akun medsos di Indonesia sebagai pengguna aktif.
Orang Indonesia menggunakan medsos setiap hari bisa menghabiskan 3 jam 14 menit. Jumlah waktu ini terbilang sangat berlebihan dan di atas rata-rata dunia yang hanya 2 jam 25 menit. Data lain menyebutkan, di Indonesia, 60 persen pengguna internet menggunakan medsos untuk membantu bidang pekerjaannya. Medsos memang telah menjadi bagian dalam kehidupan modern yang tak terpisahkan.
Penetrasi medsos yang tinggi ternyata belum dibarengi dengan kemampuan cerdas bermedsos. Kemampuan melek media (media literacy) kebanyakan masyarakat masih belum memadai. Situasi inilah yang memperburuk suasana dengan banyak dan viralnya konten ujaran kebencian.
Tak banyak pengguna medsos yang kritis saat mengevaluasi informasi yang masuk di gadget-nya. Tak jarang diantara penerima pesan ujaran kebencian dengan cepat meneruskannya ke pertemanannya di medsos tanpa mengkritisi dan memeriksa kebenarannya.
Komitmen Bersama
Seperti yang dikemukakan oleh Antonio Gutteres, Sekjen PBB, bahwa untuk memerangi ujaran kebencian menjadi tugas bersama. Tak bisa melawan ujaran kebencian hanya dilakukan oleh satu negara atau sekelompok masyarakat tertentu saja. Melawan hate speech harus menjadi gerakan bersama yang masif.
Dalam kaitan ujaran kebencian sebenarnya Indonesia sudah punya payung hukum. Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU-ITE) telah mengatur interaksi di dunia maya termasuk perilaku berkomunikasi lewat internet dan medsos.
Di Indonesia sejumlah orang telah terjerat UU ini karena kecerobohannya saat bermedsos. Tak sedikit pengguna medsos tanah air yang harus menjalani hidup dari balik terali besi gegera kasus ujaran kebencian.
Kalau semua pengguna internet dan medsos sadar bahwa ujaran kebencian yang menyebar lewat beragam platform medsos itu berbahaya maka sikap hati-hati adalah kunci agar terhindar dari jerat pasal-pasal UU-ITE. Untuk itu perlu komitmen bersama antara semua elemen masyarakat agar tak turut menjadikan ujaran kebencian semakin tumbuh subur.
Tanpa komitmen bersama maka upaya pemberantasan ujaran kebencian seperti yang disampaikan oleh Sekjen PBB, Antonio Gutteres pada peringatan International Day for Countering Hate Speech akan sulit diwujudkan. Peningkatan kemampuan bermedia digital yang sehat menjadi sangat penting dilakukan oleh semua pihak.
Literasi media digital harus terus menjadi gerakan yang masif agar masyarakat pengguna media digital tak gampang menerima begitu saja konten-konten negatif termasuk narasi ujaran kebencian.
Masyarakat harus berdaya dalam bermedsos, mampu memilih dan memilah konten yang bermanfat dan yang berdampak buruk. Kalau kemampuan kritis bermedia ini bisa tercipta maka beragam ujaran kebencian itu lambat laun akan sirna.
Melawan ujaran kebencian yang bergulir lewat medsos bisa dilakukan individu dengan kemampuan mengkritisi terhadap konten-konten yang masuk di medsosnya. Kemampuan untuk selalu cek fakta (fack check) dengan menelusuri kebenaran setiap informasi yang diterima.
Sebelum membagikan konten tersebut perlu dievaluasi tentang kebenaran dan dampak buruknya. Sikap kritis ini akan menghindarkan pengguna medsos agar tak gampang berbagi (sharing) dan memviralkan aneka konten yang belum jelas kebenarannya.
Upaya lain yang dapat dilakukan guna melawan maraknya ujaran kebencian adalah dengan melakukan kontra narasi. Aneka konten ujaran kebencian harus dilawan dengan konten-konten positip yang menyebarkan pesan toleransi, kesetaraan, kebenaran, kasih sayang, saling menghormati, dan menjaga persatuan. (*)
*). Penulis adalah Dosen Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Muhammadiyah Malang (UMM)
editor: jatmiko
—
Terima kasih sudah membaca artikel kami. Ikuti media sosial kami yakni Instagram @tugumalangid , Facebook Tugu Malang ID ,
Youtube Tugu Malang ID , dan Twitter @tugumalang_id