MALANG – Tanggal 21 April senantiasa diperingati sebagai hari emansipasi wanita di Indonesia, karena tanggal tersebut merujuk pada tanggal kelahiran sosok pahlawan emansipasi wanita Indonesia, Raden Ajeng Kartini, yang lahir pada 21 April 1879.
Dalam buku biografi Panggil Aku Kartini Saja karya Pramoedya Ananta Toer, Kartini kecil harus putus sekolah dari Sekolah Rendah Belanda karena terbentur adat istiadat Jawa saat itu, Adat Pingitan pada 1892.
Sebelumnya, Kartini kecil dalam suratnya kepada sanga sahabat, Estella Zeehandelaar, mengatakan memang sangat jarang seorang perempuan bisa sekolah di zaman itu. Tidak lain karena pengaruh dan kasih sayang sang ayah yang juga Bupati Jepara, RM Adipati Ario Sasroningrat.
“Penghianat besar terhadap adat kebiasaan negeriku, kami bocah-bocah perempuan keluar rumah untuk belajar dan karenanya harus meninggalkan rumah setiap hari untuk mengunjungi sekolah. Lihatlah adat negeri kami melarang keras gadis-gadis keluar rumah, pergi ke tempat lainpun kami tak boleh,” tulisnya kepada sang sahabat yang sudah kembali ke Eropa untuk melanjutkan studi.
Selanjutnya, Pram (sapaan akrab Pramoedya Ananta Toer) menulis jika sejak masuk pingitan membuat sejarah Kartini terlihat jelas. Pasalnya dari kehidupan bocah yang bebas merdeka menjadi hukuman dengan peraturan-peraturan yang tak kenal ampun, sekaligus membuat Kartini berubah menjadi gadis dewasa dengan singkat.
“Kau tanyakan kepadaku, bagaimana keadaanku diantara empat dinding tebal itu. Tentu kau berpikir tentang sel atau semacamnya. Tidak Stella, penjaraku adalah sebuah rumah besar, dengan pekarangan luas, tapi sebuah pagar tembok tinggi yang mengelilinginya, dan pagar itulah yang mengurung aku,” tegasnya kepada sahabatnya kembali.
Kartini mengatakan dirinya harus tunduk pada adat kebiasaan negerinya yang mewajibkan gadis-gadis muda tinggal di rumah. Hidup dalam pengucilan yang keras dari dunia luar sedemikian lama.
“Sampai tiba masanya seorang pria yang diciptakan Tuhan untuknya datang menuntutnya serta menyeretnya ke rumahnya,” tegas Kartini.
“Dia tahu benar bahwa pintu sekolah yang memberi jalan pada banyak hal yang dicintainya telah tertutup baginya,” tulis Kartini.
Bahkan, Kartini pernah berlutut di kaki ayahnya agar disekolahkan ke Semarang di sekolah Hogere Burgerschool (Setingkat SMP) seperti abang-abangnya.
Namun, dengan kasih sayang sang ayah dengan membelai rambut hitam Kartini dan dengan nada lembut mengatakan ‘tidak boleh.’
Kehidupan murung dan membosankan harus dihadapi oleh Kartini muda karena setiap hari berada di rumah yang sama, lingkungan yang sama, orang-orang yang sama dan rutinitas yang sama.
“Kehidupan murung itu berjalan terus, makin murung, makin membosankan,” jelas Kartini.
Empat tahun menjalani hidup sebagai tahanan di rumah sendiri, akhirnya pada 1986 Kartini mendapatkan kebebasannya.
“Hari itu masih pagi, dan pagi itulah untuk pertama kali setelah meninggalkan sekolah aku melihat kembali dunia luar,” ucapnya.
Kebebasan tersebut juga merupakan kebebasan sementara, pasalnya Kartini dan adik-adiknya hanya menghadiri pentahbisan gereja baru. Dan itu merupakan kali pertama Kartini mengikuti kebaktian Nasrani.
Kartini selama itu masih menjalani penahanan di rumahnya, namun lambat laun ia lebih sering bepergian hingga ke Yogjakarta. Dan pada pengobatan Ratu Wilhelmina pada tahun 1900, Kartini dan saudari-saudarinya memperoleh kebebasan secara resmi.
Reporter Rizal Adhi Pratama
Editor Rino Hayyu Setyo