TuguMalang.id – Keberadaan Pohon Mojo kerap kali dikaitkan dengan nama Kerajaan Majapahit. Ternyata, di Kota Malang juga terdapat beberapa titik yang memiliki Pohon Mojo ini. Fakta dari kata mojo ini ternyata memiliki jejak tersendiri.
Pakar Sejarah dan Budaya Universitas Negeri Malang, Dwi Cahyono menjelaskan, terdapat 3 jejak yang dapat digunakan untuk menelusuri fakta Pohon Mojo. Mulai keberadaannya, nama daerah yang menggunakan kata mojo (toponomi) dan sejarahnya.
Menurutnya, habitat Pohon Mojo bisa ditemui di daerah sekitar sungai atau tempat yang memiliki cukup air. Namun saat ini, Pohon Mojo juga banyak ditanam di tempat tempat bersejarah sebagai penanda dan menambah kesan sejarah. Di Kota Malang, Pohon Mojo bisa ditemui di Museum Mpu Purwa, Universitas Brawijaya (UB) Malang dan lainnya.

“Sekarang pohon mojo lebih dianggap sebagai tanaman bersejarah yang dihubungkan dengan Majapahit. Seperti di museum, candi dan tempat tempat bersejarah lainnya. Jadi memang untuk memberikan kesan sejarah,” ungkapnya.
Sementara berdasarkan jejak toponimi, sejauh ini banyak sekali bisa ditemui kata mojo yang digunakan untuk nama daerah. Mulai Kelurahan Mojolangu, Kota Malang dan Lokmojo di Malang, Kecamatan Mojosari, dan Kota Mojokerto.
“Pohon mojo ini bukan berarti hanya ada di Mojokerto, di daerah lain juga ada termasuk Kota Malang. Jadi boleh dibilang habitat pohon mojo di DAS Brantas,” jelasnya.
Sedangkan berdasarkan jejak sejarah, Pohon Mojo juga banyak ditemui di dalam prasasti dan susastra. Dwi mengatakan, keberadaan Pohon Mojo memang lekat akan latar belakang nama Kerajaan Majapahit.
Di dalam sejarah lisan maupun tertulis, dijelaskan bahwa tumbangnya Kerajaan Singasari oleh Jayakatwang dari Kerajaan Kadiri, kemudian membuat Raden Wijaya mencari perlindungan kepada Arya Wiraraja yang merupakan arsitektur politik pada masanya di Songhenep yang sekarang bernama Sumenep, Madura.
Arya Wiraraja kemudian memberikan petuah kepada Raden Wijaya untuk beraudiensi ke Kerajaan Kadiri untuk menyatakan tunduk dan mengakui kekalahannya. Namun hal itu merupakan strategi atau taktik tersembunyi untuk merebut kembali kekuasaannya.
“Jadi Raden Wijaya harus beraudiensi ke Jayakatwang sebagai taktik dengan menyatakan menyerahkan diri. Tapi dengan meminta area lahan untuk membuat suatu pemukiman kecil,” paparnya.
Singkat cerita, Jayakatwang mengabulkan permintaan Raden Wijaya dengan menghadiahkan lahan di hutan trik atau hutan tarik di Sidoarjo. Raden Wijaya kemudian memanfaatkan kesempatan itu untuk membuat pemukiman di hutan itu dengan dibantu pengikutnya.
Di kala itulah ketika pengikut Raden Wijaya kehausan, mereka menemukan Pohon Mojo yang tampak berbuah lebat dan segar. Mereka mengira Pohon Mojo itu layaknya buah jeruk atau semangka.
“Setelah dibuka dan dimakan, ternyata rasanya pahit. Hal itulah yang kemudian memunculkan unsur toponimi buah mojo yang rasanya pahit dan kemudian melatar belakangi nama Kerajaan Majapahit,” jelasnya.
Berjalannya waktu, buah mojo kemudian banyak dimanfaatkan untuk wadah air hingga kayu bakar. Disebutkan, kulit buah mojo yang sudah tua akan mengering, tebal dan kuat seperti batok. Bahkan buah mojo juga bisa dimanfaatkan sebagai bahan pengobatan.
“Jadi isinya dengan dikerok, kemudian tempurungnya yang keras itu mereka manfaatkan. Buah mojo ini besar, bisa sampai sebesar bola voli. Dulu bisa mengunakan untuk gayung, atau wadah air lain,” tandasnya.
Reporter: M Sholeh
Editor:jatmiko
—
Terima kasih sudah membaca artikel kami. Ikuti media sosial kami yakni Instagram @tugumalangid , Facebook Tugu Malang ID ,
Youtube Tugu Malang ID , dan Twitter @tugumalang_id