Malang, Tugumalang.id – Peristiwa kelam Tragedi Kanjuruhan telah memasuki masa setahun. Setahun berlalu, keadilan bagi 135 nyawa dan 600 lebih luka-luka itu seolah hanya menjadi angin lalu.
Seperti diketahui, penegakan hukum atas perkara Tragedi Kanjuruhan berakhir dengan kesimpulan bahwa gas air mata tidak akan menimbulkan korban jiwa seandainya tidak tertiup angin.
Tak hanya itu, banyak kejanggalan dalam proses penanganan hukumnya sejak awal terungkap meski tidak tercantum di atas kertas. Mulai pembenaran tindakan represif, intimidasi saksi korban hingga kejanggalan-kejanggalan lain di persidangan.
Putusan meringankan akibat faktor ‘angin’ semakin menebalkan krisis kepercayaan publik, khususnya masyarakat Malang terhadap aparat penegak hukum. Selain terhadap aparat, sejumlah suporter juga mulai mengalami krisis kebanggaan terhadap klub kebanggaannya.
Libra (40), salah satu suporter Aremania mengaku mulai memuseumkan atributnya sejak tragedi itu pecah. Setahun pasca tragedi berlalu, keputusan gantung syal itu semakin membulat. Bagi dia, tidak ada sepak bola seharga nyawa.
Menurut Libra, klub memiliki peranan besar dalam menegakkan keadilan para korban yang selama ini bertaruh jiwa, raga dan nyawa demi klub. Namun, ketika nyawa itu terenggut, klub yang dibela sepenuh hatinya itu tak berdiri di barisan bersama suporter untuk keadilan.
“Sudah setahun, saya lihat tidak ada langkah konkrit dari klub. Hanya sebatas bela sungkawa, santunan, doa bersama dan tagar #usuttuntas. Tapi buktinya, hasilnya angin? Apakah itu tuntas? Malah sekarang sudah main,” ujarnya sembari geleng-geleng kepala.
Libra sendiri tak menyangka jika penegakan hukum atas ratusan suporter karena respon berlebihan aparat kepolisian itu berujung tragis. Sebab itu, ia berkomitmen untuk tidak lagi menonton Arema FC sampai keadilan benar-benar diusut tuntas.
“Terus terang, saya sudah jadi Aremania sejak kecil. Kebanggan itu sudah lama terukir di dada kami. Tapi sejak tragedi itu, dan apa yang saya lihat setahun ini, saya dengan tegas tidak akan menonton Arema lagi. Kebanggaan itu, sudah mati,” ujarnya.
Keputusan untuk gantung syal juga dituturkan Eko (41) yang kini tidak mau lagi disebut Aremania. Eko merasa heran, di tengah kusutnya perkara hukum, di dalam tubuh Aremania sendiri malah bingung soal nama Arema.
“Padahal sudah jelas itu yang mati Aremania, gara-gara gas air mata. 135 orang nyawa temannya mati, bukannya sibuk saling bantu cari keadilan, malah bingung soal logo. Wah, soal ini jujur saya sudah gelap,” ungkapnya.
Situasi runyam ini diperparah dengan sikap klub yang seolah tidak punya empati. Perjuangan klub, selama setahun ini menurutnya hanya formalitas. Alih-alih fokus membela masyarakat pendukungnya, klub malah memilih jalur hukum untuk perkara yang bukan menyoal keadilan Tragedi Kanjuruhan.
“Jujur hasrat saya menonton Arema sudah hilang. Dulu, saya cintai, saya perjuangkan sepenuh hati, sampai nyawa taruhannya. Tapi di situasi seperti ini mereka bisa tega main bola, ada juga yang dukung nyanyi-nyanyi. Disitulah, kebencian saya semakin menguat,” ujarnya geram.
Kendati demikian, dirinya bersama teman-teman lain masih konsisten berdiri memperjuangkan keadilan. Meski dalam hal ini putusan sidangnya sudah final. Bagi dia, ingatannya selama setahun ini tidak bisa dihapus kecuali dengan keadilan.
“Saya respect dan ada di belakang teman-teman yang masih berjuang untuk keadilan sampai hari ini, Untuk teman-teman yang masih ngotot membela klub, saya doakan cepat sadar. Saya tidak benci Arema, tapi saya benci klub yang nir-empati,” tegas dia.
Keheranan yang sama dalam situasi tragedi ini juga disampaikan oleh Pak Midun, pegowes asal Kota Batu yang menyampaikan aspirasi keadilan Tragedi Kanjuruhan dengan mengayuh sepeda ke Senayan tempo hari lalu.
Selama perjalanannya itu pula dia memantik spirit para suporter di berbagai daerah untuk mengawal keadilan Tragedi Kanjuruhan dan perdamaian antar suporter seluruh Indonesia.
Baca Juga: Peringati Setahun Tragedi Kanjuruhan, Curva Sud Arema Gelar Doa Bersama hingga Khitanan Massal
Terlepas dari, bagi dia, selama setahun penegakan keadilan Tragedi Kanjuruhan tidak menghasilkan solusi sama sekali. Buktinya, hingga hari ini keluarga korban yang melaporkan penanganan hukum dengan model B justru ditolak.
“Harusnya setahun itu kan ada resolusi. Saya jadi bingung 1 Oktober ini diperingati sebagai hari apa? Hari Pancasila apa Hari Tragedi Kanjuruhan?,, Terus terang sebagai pecinta bola, saya prihatin sekali,” ujar Midun.
Setahun Keluarga Korban Berjuang, Kandas?
Gelombang menuntut keadilan masih terus mengalir dari keluarga korban yang menolak nyawa anak-anaknya sebanding dengan uang donasi. Berbagai langkah hukum mereka tempuh demi mencari keadilan.
Seperti dilakukan Devi Athok, bapak dari Natasha dan Naila yang meninggal di Stadion Kanjuruhan malam itu. Devi Athok menjadi salah satu sosok Aremania yang paling getol memperjuangkan keadilan 135 korban sejak awal peristiwa kelam tersebut.
Berbagai macam tekanan dan intimidasi menjadi ‘Sego Jangan’ Devi Athok. Mulai ancaman dibunuh, ditabrak, ditodong pistol hingga percobaan suap senilai Rp 20 miliar. Tujuannya hanya satu, agar dia berhenti mencari keadilan.
Terbaru, Devi Athok bersama keluarga korban lain tengah mencari jalan mencari keadilan. Mereka menyerahkan dokumen laporan polisi model B ke Bareskrim Mabes Polri pada Rabu (27/9/2023). Ini dilakukan setelah laporan mereka di Polres Malang jalan di tempat.
Di tengah keadilan yang belum didapat, pemerintah sudah sibuk merealisasikan renovasi Stadion Kanjuruhan. Saat ini, sebagian bangunan stadion sudah mulai dipugar.
“Fakta-fakta yang kita lihat selama setahun ini sangat-sangat melukai hati semua keluarga korban yang sampai hari ini belum mendapat keadilan,” tegas Devi Athok.
Hal senada dikatakan keluarga korban yang lain, Bambang Bambang Lismono, ayah dari Putri Lestari (21) yang berasal dari Kelurahan Turen, Kecamatan Turen, Kabupaten Malang. Menurut dia, renovasi stadion di tengah kusutnya keadilan adalah kejahatan.
“Sampai hari ini, kami keluarga korban masih belum mendapat keadilan. Kami menolak renovasi stadion. Renovasi itu menghilangkan jejak, menghilangkan semua bukti kebiadaban. Di sini, 135 itu nyawa orang, bukan binatang,” tegas Bambang.
Seperti diketahui, putusan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Surabaya pada 16 Maret 2023 terkait vonis bebas dan ringan terhadap 5 terdakwa telah dianulir oleh Mahkamah Agung (MA).
Hanya saja, vonis yang diterapkan menurut keluarga korban tidak adil karena penanganannya menggunakan laporan polisi model A, dimana laporan itu yang melaporkan juga adalah polisi, bukan warga.
Sementara itu, janji keadilan untuk korban Tragedi Kanjuruhan yang diucapkan oleh Ketua Umum PSSI Erick Thohir dan Presiden Joko Widodo juga dinilai menguap begitu saja.
Terakhir, dalam prosesi penerimaan gelar Doktor Honoris Causa bidang Manajemen Strategis Universitas Brawijaya di Kota Malang, Jawa Timur, Jumat (3/3/2023), dia kembali berjanji akan turun tangan.
“Satu-satu harus diselesaikan. Pelan-pelan kita cari lagi penegakan hukum seperti apa,” kata Erick saat itu.
Baca Juga: Keluarga Korban Minta Kasus Tragedi Kanjuruhan Ditangani Bareskrim Mabes Polri
Perlu diingat kembali, malam 1 Oktober 2022 menjadi malam terkelam dalam sejarah sepak bola Indonesia. Bermula dari aksi suporter mencurahkan hati atas kekalahan klub, direspon aparat dengan tindakan represif dan gas air mata.
Letupan gas air mata yang ditembakkan juga ke arah tribun memicu kepanikan penonton untuk mencari jalan keluar.
Di tengah kondisi pintu stadion yang terbatas, penonton panik, terjadi penumpukan dan jatuhlah korban jiwa. Tak hanya satu dua, tapi 135 nyawa dan 600 lebih luka-luka.
Tragedi Kanjuruhan ditetapkan menjadi tragedi sepak bola paling buruk kedua di dunia di bawah insiden serupa di Stadion Nacional, Lima, Peru pada 24 Mei 1964 yang merenggut 328 korban jiwa.
BACA JUGA: Berita tugumalang.id di Google News
reporter: ulul azmy
editor:jatmiko