Oleh: Alap-alap Semeru
Tugumalang.id – Melanjutkan bagian sebelumnya, saya akan menceritakan apa saja yang melandasi Tiwikromo Jokowi ini.
Titik Balik Jokowi
Lantas, apa yang memicu itu semua? Menurut saya, Jokowi mengalami apa yang disebut Dunning Kruger Effect. Sebuah kondisi mental di mana hanya ketika pernah berhasil di upaya tertentu, otomatis timbul kepercayaan diri kita akan mampu berhasil di upaya apapun.
Tidak ada padanan definisi yang sederhana untuk menggambarkan ‘penyakit mental’ ini. Tetapi, uniknya, bahasa Jawa punya istilahnya: Jumawa. Begini kira-kira ceritanya.
Di satu titik di periode kedua jabatannya, Jokowi tiba-tiba sudah berada di top of the food chain kekuasaan politik Indonesia. Tiba-tiba dia mampu, dengan kemampuannya yang luar biasa dalam hal mempelajari sesuatu yang baru, untuk menguasai kekuasaan di level tertinggi dengan segala macam intrikasinya.
Baca Juga: Jokowi Tiwikromo (#1)
Dan, kemampuan itu teruji berkali-kali berhasil dilakukan dalam perjalanan hidupnya. Mulai dari jadi eksportir mebel di usia muda, jadi wali kota, jadi gubernur, sampai jadi Presiden. Semua adalah siklus adapt, learn and conquer. Rangkaian keberhasilan yang tampaknya tanpa jeda semakin mempertebal keyakinan akan kesaktiannya.
Setelah hampir dua periode menjadi Presiden, sepertinya capaian politiknya benar-benar paripurna. Di titik itu, dia memegang semua simpul kekuasaan, tanpa satupun kekuatan yang mampu mengimbangi, apalagi mengancam.
Coba kita lihat, mayoritas Parpol di bawah kendalinya. Beberapa ketua umum Parpol besar bahkan jadi anak buahnya (padahal di periode-1, menteri tidak boleh merangkap ketum). Ideological state apparatus Althuserian total di bawah kendalinya, dari telik sandi, pemegang sprindik maupun pemegang senjata.
Setelah aparat teknokratis, birokratis dan represif dikuasai, sasaran berikutnya adalah penyelenggara dan wasit proses elektoral. Lalu belakangan, kabarnya katup pengaman konstitusi dan penyelenggara Pemilu diduga sudah menjadi bagian dari arsenal kekuasaannya. Bukti kuatnya adalah perubahan ikon ketawa warganet dari yang tadinya awokwokwok sekarang menjadi mkmkmkmk dan kpukpukpu…
Katak dan Cebong
Jokowi saya kira mengalami kerasnya oposisi pertama kali selama menjadi politisi justru setelah menjadi Presiden. Gaya kepemimpinan yang sangat n-jawa-ni, akomodatif dan tidak terang-terangan konfrontatif. Gaya kepemimpinan yang oleh Ahok dianalogikan dengan katak dan air panas.
Seekor katak ketika dimasukkan panci berisi air panas, dia akan langsung meloncat. Tapi kalau seekor katak dimasukkan panci berisi air dingin, lantas pelan-pelan dipanasi, sampai mendidih si katak tidak akan meloncat. Dia baru akan sadar ketika semua sudah terlambat. Menurut Ahok, gaya kepemimpinan Jokowi adalah yang kedua. Alon-alon asal kelakon.
Nah, dengan gaya kepemimpinan itu, dia melewati jenjang politik Wali Kota Solo dan Gubernur Jakarta dengan relatif mulus. Namun pertarungan politik di level nasional dan kepresidenan adalah hal yang sama sekali baru bagi Jokowi.
Semuanya bahkan dimulai sejak masa kampanye Pilpres 2014, dan berlangsung sepanjang periode pertama jabatannya sebagai Presiden, dan baru reda setelah dia dilantik untuk periode kedua.
Dari sekian banyak kekuatan oposisi (buruh, mahasiswa, aktivis kiri, masyarakat sipil dan kelas menengah) yang paling keras dan ditakuti Jokowi adalah kelompok-kelompok kanan intoleran. Ruang dan fasilitasi yang disediakan oleh sejumlah petinggi militer di ujung era Orde Baru melahirkan dan membesarkan kelompok ini sebagai pengimbang sisa-sisa gerakan mahasiswa pasca 1998.
Di masa SBY, kelompok ini tidak saja dibiarkan, tapi bahkan difasilitasi untuk menopang sejumlah agenda politiknya. Dengan kalangan elit yang klaim kredensi keturunan Nabi, mereka sangat mudah membangun basis-basis di kalangan nahdliyin.
Di satu titik, mereka bahkan lebih efektif sebagai kelompok penekan dibanding PBNU. Mereka berhasil bertransfomasi menjadi potensi kekuatan politik yang sangat efektif dan memiliki jaringan yang sangat luas.
Konfirmasi atas besarnya potensi kekuatan politik itu bisa dilihat dari bagaimana efektifnya tim Prabowo masuk ke kantong-kantong suara pesantren dan kalangan nahdliyin. Sehingga suara Prabowo relatif bisa mengimbangi Jokowi di Pilpres 2014.
Kolaborasi dengan Prabowo ini terus berlanjut sampai dia ditarik Jokowi masuk kabinet pasca Pilpres 2019 sebagai Menteri Pertahanan. Tapi selama periode pertama Jokowi, kelompok ini menjadi basis bagi pertarungan sengit antara pendukung Jokowi (Cebong) dan Prabowo (Kampret)
Jokowi pertama kali mengalami kerasnya pertarungan itu ketika di awal kepresidenan ada acara yang unik di istana. Di sebuah acara pengajian, panitia mengundang seorang santri dari Yogyakarta bernama Yaser Arafat.
Dia diundang untuk melantunkan ayat-ayat Alquran, tapi dengan langgam Jawa. Reaksi keras dari kelompok Kampret dan makian-makian vulgar dari ketua FPI, membuat Jokowi tidak lagi neko-neko meng-Islam Nusantara-kan istana.
Puncak dari kuatnya kekuatan oposisi tentu saja adalah dinamika di seputar Pilkada 2017. Blunder yang dilakukan Ahok, mantan wagubnya, berhasil di framing sebagai ujaran yang menista ajaran agama. Ratusan ribu massa membanjiri Kawasan Monas, dan meluber hingga mendekati istana. Gabungan antara massa yang dimobilisasi GNPFUI dan massa dari daerah-daerah kantong-kantong pendukung FPI dan majelis-majelis pengajian atau salawat.
Untuk pertama kalinya Jokowi merasakan ancaman yang nyata akan kondisi ketika oposisi, terutama yang berbasis primordial tidak dikendalikan. Dia bahkan merasa tidak cukup ‘dilindungi’ oleh aparat TNI/Polri yang seharusnya adalah organ kekuasaannya.
Di lapangan, upaya mobilisasi dan pergerakan kelompok-kelompok intoleran di daerah-daerah basis pendukung Prabowo sama sekali tidak ada yang mengawasi apalagi menghambat, tidak dari aparat, kader partai pendukung, ataupun kelompok relawan.
Menjinakkan Oposisi, Membangun Infanteri
Peristiwa 212 membuat Jokowi merefleksikan ulang secara total pendekatannya terhadap kekuasaan. Meskipun tidak secara langsung terancam, tetapi berkurangnya legitimasi dan kesan lemahnya kendali Jokowi atas situasi dan kondisi politik menjadi tidak terhindarkan. Dia harus ‘mengorbankan’ sahabatnya, Ahok, dan harus melepas menteri-mneteri hebat (Susi dan Jonan).
Setelah itu, FPI dan jaringan pendukungnya menjadi target operasi ‘katak’ Jokowi. Dia mengambil pelajaran terpenting dari 212 itu, yaitu bahwa sebagai presiden, dukungan politis saja tidak cukup. Meskipun dia didukung banyak kekuatan politik, tapi tanpa pasukan ‘infanteri’ yang jelas, tidak akan berarti apa-apa dalam rangka mengamankan kekuasaan dan kepresidenan.
Kesadaran itu memicu tiga langkah strategis Jokowi di periode ke-2. Pertama, mendadak NU, pilihan cawapres dari Rais Aam PBNU Ma’ruf Amin, Gus Menteri yang juga komandan banser, dan Luthfi bin Yahya, tokoh habaib paling senior sebagai wantimpres.
Terpilihnya Gus Yahya, kakak Gus Menteri dan jubir alm. Presiden Gus Dur sebagai ketum PBNU dan mendadak ‘banser’nya putra ‘sulung’, dilihat dari spion sekarang, jadi sulit untuk dianggap bukan bagian dari strategi ini.
Kedua, kebutuhan ‘infanteri’ ini pulalah yang menjadi salah satu alasan kenapa dia merawat kelompok relawan selepas Pemilu. Untuk itu, para elit kelompok-kelompok relawan ini kemudian ditunjuk sebagai komisaris, bahkan menteri. Sementara di partainya sendiri, dia malah absen dan tidak ikut ‘bersaing’ membangun jaringan di tingkat kader dan struktur PDIP.
Praktik yang jamak ditemui di partai-partai lain. Jangankan posisi presiden, dari posisi wapres, bahkan menteri saja bisa punya sumberdaya untuk mengambil alih kendali partai. Tapi Jokowi lebih canggih dari itu. Ngapain susah-susah jadi ketum partai kalau bisa jadi bosnya para ketum partai, dan bahkan nyediain anaknya ‘tiket,’ untuk main ketum-ketuman.
Ketiga, itu pula alasan Jokowi kemudian lebih memperkuat kendalinya terhadap TNI dan Polri, sekaligus merevitalisasi fungsi ke’karya’an mereka. Tidak hanya menempatkan jendral-jenderal aktif di dalam birokrasi sipil tetapi juga mengaktifkan jaringan mereka sampai di tingkat desa (Babinsa/babinkam) untukk melaksanakan fungsi-fungsi kekaryaan itu.
Selain peran aktifnya di mitigasi dampak COVID-19 (vaksin, PPKM, masker, dll), TNI/Polri bahkan membantu program-program teknokratis seperti pengendalian inflasi, pemantauan sembako, distribusi alsintan sampai distribusi bansos.
Sesuatu yang bahkan tidak dilakukan oleh SBY, presiden dari militer pertama pasca reformasi, sebagai bentuk komitmennya untuk pemenuhan agenda reformasi dan penuntasan proses transisi menuju demokrasi.
Editor: Herlianto. A