Oleh: Alap Alap Semeru
Tugumalang.id – Ada banyak pendukung Jokowi yang masih denial, tentang penyebab Tiwikromo (transformasi) otoritarian Jokowi di penghujung kekuasaannya. Upaya untuk menjustifikasi perubahan ini bentuknya bermacam-macam.
Dari yang paling domestik (ibu suri yang tersinggung suaminya terus dipetugas-partaikan), atau alasan yang sangat luhur, yaitu dia terpaksa demi merangkul semua kekuatan politik dan mengendalikan Prabowo, sampai yang paling ‘mabok kecubung’, bahwa menca(wa)preskan Gibran itu ibarat Nabi Ibrahim yang harus meng’korban’kan putranya, demi mencapai cita-cita Indonesia Emas.
Mungkin bisa dimaklumi kalau argumen-argumen semacam itu datangnya dari pendukung Jokowi yang menjadi buzzer, timses dan jubir atau elit relawan 02. Mereka kebanyakan adalah orang-orang yang mendapat manfaat langsung, entah finansial atau jabatan. Tetapi kalau kita hanya netizen pendukung Jokowi biasa dan masih belum bisa melepaskan diri dari ilusi-ilusi seperti di atas, adalah hal yang sangat disayangkan.
Baca Juga: Permintaan Tinggi, Presiden Jokowi Akan Ekspor Produk-Produk PT Pindad
Tulisan ini adalah upaya sederhana dari mantan die hard Jokowi, dalam upaya untuk make sense dan memahami genealogy fenomena ini. Saya akan membahas tentang gaya kepemimpinannya, apa yang melandasi dan bagaimana transformasi itu terjadi.
Di akhir, saya akan mencoba menunjukkan bagaimana ujung drama politik Jokowi ini. Nah, mudah-mudahan dengan membaca tulisan ini, sebagaimana pengalaman saya ketika menuliskannya, sedikit banyak membantu teman-teman yang masih terjangkit sihir Jokowi. Atau setidaknya meringankan gejalanya lah.
Peringatan Opung Panda
Jadi, apa alasan perubahan sikap politik Jokowi itu? Sebagian besar analisa tentang hal ini di dasarkan pada dampak dari ‘nikmatnya’ kekuasaan. Ini mengingatkan pada adagium klasik dari Lord Acton, yaitu Power tend to corrupt, and absolute power corrupt absolutely. Pameo Jawa mengingatkan hal senada, “melik/kuoso nggendong lali” (kekuasaan itu melenakan)
Politisi senior PDIP, Panda Nababan, di beberapa kesempatan, cerita kalau sebelum Jokowi dilantik jadi presiden, dia mewanti-wanti ke Jokowi soal 3 hal: dendam kemiskinan, dendam kekuasaan dan terkejut badan. Dan menurutnya, Jokowi gagal lolos dari ketiga ‘ujian’ itu.
Baca Juga: Di Malang, Presiden Jokowi Minta Perbanyak Pasar Rakyat Cegah Dampak El Nino
Saya cenderung setuju dengan pendapat Opung Panda ini. Tapi beda persepsi soal kapannya. Opung mengingatkan itu perlu diwaspadai, ketika seseorang baru mulai berkuasa. Di awal saya anggap Jokowi berhasil menghindari ancaman-ancaman tersebut. Gagalnya justru di akhir, saat menjelang seharusnya dia melepaskan kekuasaannya.
Entahlah, kok bisa Opung Panda lupa bahwa godaan di akhir masa jabatan sering kali bahkan lebih besar dari pada di awal seseorang berkuasa. Post power syndrome. Dugaan saya sih itu gara-gara latar profesi Opung, yaitu jurnalis yang enggak ada pensiunnya. Makanya, sampai sekarang, sama halnya dengan Mas Goen (Goenawan Muhammad), mereka masih disebut wartawan senior.
Berbeda dengan karier politik, khususnya ke-Presiden-an. Sebagai bangsa, kita sepakat masa jabatan presiden hanya 5 tahun dan hanya bisa diperpanjang 2 kali. Untuk Bangsa Indonesia sampai di aturan main itu prosesnya tidak mudah, perlu perjuangan yang berdarah2. Para kader PDI di 1996, aktivis di periode sesudahnya dan mahasiswa di 1998 bahkan harus kehilangan nyawa. Juga banyak nyawa yang harus melayang ekses kerusuhan Mei.
Karena itu, bagi Megawati (Ketum PDIP), soal batasan masa jabatan ini seolah menjadi dinding api, firewall, yang seharusnya tidak lagi boleh diutak-atik. Karena itu dia sangat tegas menolak wacana 3 periode masa jabatan Presiden. Sebab dengan mengubah lagi konstitusi soal masa jabatan ini, sama halnya menghapus apa yang dicapai selama reformasi dan mengkhianati para korban yang dulu memperjuangkannya.
Kembalinya Neo-Orba
Orde Baru mengajarkan kita sebagai bangsa bahwa tidak bisa kepresidenan dibiarkan berlangsung tanpa batas. Tiadanya mekanisme damai untuk proses transisi demokratis kekuasaan presiden menyeret bangsa Ini dalam dua kali tragedi yang menelan korban anak bangsanya sendiri. Tragedi September 1965 dan ikutannya dan Tragedi Trisakti dan kerusuhan Mei 1998.
Gerakan reformasi, yang dipicu oleh Kudatuli, menggelinding laksana bola salju dan berujung pada gerakan reformasi. Gerakan yang menuntut penggantian rezim dan menggulirkan semangat anti KKN inilah yang, ironisnya, sekarang seperti dilupakan Jokowi. 19 tahun rekam jejak karier politik yang moncer buah reformasi dalam sekejap lenyap tanpa sisa.
Padahal, jendela overtone reformasi inilah yang telah membuka jalan bagi orang seperti dirinya, dari yang awalnya pengusaha mebel biasa dari Solo, hanya dalam waktu 10 tahun, menduduki kursi tertinggi karier politik di Indonesia. Tidak hanya lupa, Jokowi telah menarik lagi APH (Aparat Penegak Hukum) ke ranah politik, seolah mengembalikan peran dwi-fungsi ABRI yang telah susah payah dihapus oleh para aktivis reformasi.
Praktik KKN kembali menjadi kosakata politik Indonesia di saat kita tinggal beberapa langkah lagi menuntaskan proses transisi demokrasi. Jokowi nyaris tanpa perlawanan berhasil melemahkan KPK sebagai garda depan upaya pemberantasan Korupsi, memamerkan Kolusi dengan menjadikan adik iparnya sebagai ketua MK dan tanpa tedeng aling-aling mempraktikkan nepotisme dengan mencapreskan putra sulungnya dan menjadikan putra bungsunya ketua umum partai.
Bahkan Soeharto di puncak kekuasaannya tidak pernah melakukan KKN dengan sedemikian telanjang. Maka tidak heran jika Megawati, sosok yang memfasilitasi karier politik Jokowi dari tangga terbawah, terlihat begitu kecewa dan mengingatkan akan kembalinya praktik-praktik neo-Orba. Banyak yang menganggap karena Megawati merasa dikhianati Jokowi.
Tapi saya memahaminya berbeda. Kekecewaan Megawati bagi saya bukan karena Jokowi menghianati dirinya, tapi karena Jokowi telah mengkhianati semangat reformasi itu sendiri. Hilang sudah role model generasi mendatang tentang bagaimana reformasi telah membuka kesempatan yang setara bagi semua anak bangsa untuk menjadi presiden Indonesia, meskipun bukan anak siapa-siapa.
Yang ada sekarang adalah contoh ala zaman Orde Baru, di mana saat itu contohnya adalah Prabowo yang menjadi Pangkostrad gara-gara jadi anak mantu Soeharto. Dan, pasangannya adalah politisi karbitan yang jadi cawapres gara-gara memiliki paman seorang ketua MK dan memiliki ayah seorang Presiden Jokowi. Tempo melabeli pasangan ini dengan mathuk. Produk gagal reformasi berpasangan dengan anak haram konstitusi.
Double irony lagi ketika anak-anaknya ternyata tampaknya tidak ditanamkan sejarah Orba dan nilai-nilai luhur reformasi ini. Buktinya, si sulung cengar-cengir aja jadi model ‘nepo baby’ dengan jadi cawapres give away. Adiknya lebih parah. Si ketum instan ala next day delivery itu dengan culunnya bilang, “ORBA? plis dweh, helowww…Gw gen Z gitu lho. Quesyen lo itu so 90s, tau gak. What a stupid boomers question…?”. Sorry, setidaknya ya begitu impresi di kuping saya.
Editor: Herlianto. A