Tugumalang.id – Di hari ketiga Jigang Ramadan Lesbumi NU Kota Malang, menghadirkan Ahmad Ghozi yang merupakan peneliti tentang Sunan Bonang sebagai narasumber. Dia menunjukkan data-data dari hasil penelitiannya. Mulai dari bentuk dan rahasia bangunan makam, silsilah keluarga, dan amalan wirid kesukaan Sunan Bonang.
Narasumber menegaskan sebutan Sunan Bonang bukan dari alat musik Bonang, melainkan dari perpaduan nama anggota kelompok Sunan Bonang yang melakukan pelayaran lalu berlabuh di pantai sekitar Rembang.
Ada lima orang yang berada di perahu tersebut, Bayan Sun (nama lain dari Syekh Makdum Ibrahim), Osa Maliki, Nawu, Awan, Nawas Maliki, dan Guntur Maliki.
Baca Juga: Tumpah Ruah, Hari Pertama Peserta Jigang Ramadan Lesbumi Kota Malang
Ketika sampai di satu daerah dekat Rembang tersebut, setelah pelayaran selama 19 hari. Lalu daerah tersebut dinamakan daerah Bonang. Lalu Syekh Makdum Ibrahim disebutlah dengan sebutan Sunan Bonang.
Sunan Bonang telah memodifikasi sebuah upacara Bhairawa Tantra yang melakukan upacara Tantrayana menjadi selametan, dengan tanpa mengurangi makna berdoa kepada yang kuasa, Allah Yang Maha Esa. Dan sampai sekarang tradisi selametan tetap bertahan.
Di sesi berikutnya, setelah menyelami sisi sosok Sunan Bonang, narasumber menjelaskan konsep triloka menjadi konsep pembangunan komplek makam: ruang sakral, ruang jobo tengah, ruang jobo.
Ketiga pembagian tersebut untuk menjaga fungsi-fungsi nilai budaya bisa terjaga. Area jobo difungsikan sebagai medan komunikasi horisontal masyarakat, termasuk perdagangan.
Baca Juga: Lakpesdam Sambang Pesantren sebagai Strategi Pengembangan SDM Santri
Area jobo tengah difungsikan sebagai ruang perjumpaan yang lebih bersifat pelepasan unsur duniawi. Sedangkan area sakral, merupakan area dalam yang menjadi ruang komunikasi vertikal, antara hamba dan pencipta, dengan mengambil barokah wasilah kepada Sunan Bonang.
Menurut narasumber, sekarang ada tren pergeseran posisi makam dari ruang sakral menjadi profan dalam bentuk wisata religi. Kepentingan hadirnya dua entitas (sakral dan profan) ini sangat tipis, karena dua-duanya sama pentingnya, saling membutuhkan.
Komodifikasi ruang sakral memang diperlukan, namun harus membuat tumbuh, bukan malah membunuh kesakralan. Agar semakin menguatkan nilai-nilai budaya yang telah diwariskan.
Terakhir, narasumber memberikan saran agar semakin banyak orang yang meneliti ruang lingkup dunia ziarah dan makam, karena peluangnya masih sangat terbuka.
Masih banyak sekali hal yang belum terungkap, dan jika banyak yang meneliti akan semakin memperkaya wawasan dan perkembangan ilmu pengetahuan.
Baca Juga Berita Tugumalang.id di Google News
Penulis: Fajrus Sidiq
Editor: Herlianto. A