Malang, Tugumalang.id – Hari kedua Jigang Ramadan berlangsung seru. Narasumber kali ini adalah peneliti manuskrip kuno juga dosen Sastra Jawa FIB UGM Yogyakarta, Ratna Nur Fatimah Irakusuma, diskusi berjalan sejak pukul 21.00. WIB hingga pukul 01.00 dini hari.
Materi di hari kedua mengulas bagaimana kerangka ajaran tasawuf dari seorang Sunan Bonang. Pemateri mengajak audien untuk memberi jarak sejenak tentang mengapa Sunan Bonang mendapatkan nama julukan tersebut, kabar tentang penyematan nama yang merujuk kepada alat musik bonang sepertinya perlu ditinjau ulang.
Bilamana kita melihat para sunan yang lain, Raden Rahmat dengan sebutan Sunan Ampel, Raden Umar Said menjadi sunan Muria, Raden Ja’far Shodiq dengan Sunan Kudus, penamaan mereka dilekatkan pada medan area dakwah.
Baca Juga: Tumpah Ruah, Hari Pertama Peserta Jigang Ramadan Lesbumi Kota Malang
Maqdum Ibrahim kecil menempuh pendidikan agama dari ayahnya, Raden Rahmat. Kemudian ia melanjutkan studi ke Pasai, belajar kepada seorang alim di sana yang konon adalah Syekh Bari, tokoh yang ditulisnya dalam Kitab Pengeran Bonang.
Pasca-studi, beliau kembali ke tanah Jawa, namun tidak langsung menetap di rumah, beliau menjalani masa pengabdian di desa Bonang, desa kecil di wilayah Rembang. Sunane desa Bonang, yang memang beliau adalah ulama wilayah Bonang, atau bahkan orang yang membangun peradaban Islam di Bonang.
Di Bonang beliau memiliki santri bernama Wujil, hingga suatu saat Sunan Bonang membuat suluk dari namanyanamanya, Suluk Wujil. Wujil santri yang alim, ia juga tuntas pada kemampuan berbahasanya (baik Arab maupun Jawanya). Dalam suluknya sunan Bonang bercerita soal hidup Wujil dan dialog tentang tasawuf.
Sunan Bonang merupakan salah satu raksasa pengetahuan di Nusantara. Kitab Pengeran Bonang yang bercerita tentang Syekh Bari, misalnya. Salah satu karya tasawuf yang dikemas dengan cerita-cerita dan dialog.
Baca Juga: Mengenal Lebih Dekat Tradisi dan Syiar Ramadan di Masjid Ki Ageng Gribig Kota Malang
Sekelumit ibrah dalam kitab Pengeran Bonang yang dapat direnungkan ialah tokoh Syekh Bari. Syekh Bari berpesan mengenai asal usul laku. Dikatakan bahwa dengan mempelajari usul laku, diharapkan seseorang akan memperbaiki keimanannya pada Tuhan.
Kesaksian Tidak ada Tuhan selain Allah adalah kalimat yang diucap oleh muslim, namun kognisi lafal tidak hanya berhenti di situ. Kita tidak dapat mengucapkan tiada Tuhan selain Allah bilamana sebelum terucap tidak meyakini dalam hati bahwa Allah adalah satu-satunya Tuhan.
Keyakinan ini membangun pandangan bahwa Tuhan yang ada dan makhluk diadakan. Hanya Tuhan yang ada, selain Tuhan tidak ada, dan bila seseorang manusia tidak pada keyakinan ini, maka dia tersesat.
Syekh Bari juga menyebut pandangan bahwa keberadaan makhluk sebagai tanda keberadaan Allah adalah sesat. Sejatinya semua makhluk hanyalah menunjukkan sifat Allah.
Keberadaan gunung sama sekali tidak menunjukkan keberadaan Allah, melainkan sifat-Nya. Gunung besar, maka pasti penciptanya lebih besar. Pun hidupnya makhluk, maka pasti Khalik Yang Maha Hidup. Ini memperkuat “Tuhan itu Ada, ciptaan itu diadakan.”
Menurut naskah tersebut ada juga orang yang setengah sesat. Yakni orang kafir, yang meyakini keberadaan Tuhan, namun tidak meyakini bahwa Allah itu Tuhan. Sampai pada penjabaran ini, maka memunculkan interpretasi yang lebih jauh.
Lantas, dengan tasawuf ala sunan Bonang, boleh jadi seseorang yang berucap tauhid namun tidak meyakini dengan sepenuh hati pada Allah, jauh lebih tersesat dari pada orang kafir yang menolak bahwa Allah adalah Tuhan.
Dalam kitab tersebut juga dipaparkan bagaimana kasih Allah pada hamba-Nya. Kasih Allah bukan karena amal seseorang, melainkan karena kasih itu bersumber dari Yang Maha Pengasih, tidak butuh alasan untuk-Nya dalam mengasihi makhluk-Nya.(*)
BACA JUGA: Berita tugumalang.id di Google News
editor: jatmiko