MALANG – Kota Malang yang sudah siap dengan konsep wisata halal dan mulai melakukan sosialisasi. Wali Kota Malang Drs. H. Sutiaji menyatakan, wisata halal sebagai jaminan dan perlindungan terhadap wisatawan yang datang ke Kota Malang.
“Jangan dianggap Malang Halal itu sama dengan menerapkan syariat agama tertentu. Itu menyalahi konstitusi. Malang Halal ini berarti ada jaminan bahwa wisatawan yang datang ke Malang ini terlindungi,” ujar Sutiaji.

Sutiaji menjelaskan pentingnya menciptakan kota wisata yang ramah wisatawan. Baik wisatawan muslim maupun nonmuslim. Dengan konsep halal tourism, maka para wisatawan terjamin oleh sertifikasi halal dari aspek keagamaan.
“Indonesia adalah surga dunia yang menjual pariwisata. Banyak wisatawan mancanegara yang masuk. Untuk itu, negara harus bisa memberikan jaminan dan perlindungan bagi wisatawan yang ada di Indonesia, termasuk wisatawan muslim,” terangnya saat Sosialisasi Sistem Manajemen Halal Internal bagi Industri Kuliner, Hotel dan Restoran, Senin (21/2/2022).
Sutiaji juga menyebutkan signifikansi pembentukan wisata halal ini, karena Kota Malang kuat di sektor budaya dan kulinernya. Berbeda dengan Kabupaten Malang yang mengandalkan wisata alam dan Kota Batu dengan wisata buatannya. “Di Kota Malang ini wisata budaya dan kuliner,” imbuhnya.
Maka dari itu menurutnya, wisatawan yang datang ke Malang bisa mengeksplorasi kuliner dengan label halal. Wisatawan nonmuslim kata Sutiaji, juga boleh menikmati restoran dan kafe yang bersertifikasi halal.
“Wacana ini kan sudah ada sejak 2017 lalu. Bahkan sosialisasi hari ini telah direncanakan sejak tahun lalu. Waktu itu Bu Ida (Kadisporapar) yang punya rencana seperti apa. Programnya nasional, bahkan internasional. Jadi, halal tourisme ini dimana-mana,” ucapnya.

Kadisporapar Kota Malang Ida Ayu Made Wahyuni menambahkan, halal tourism merupakan respons atas tuntutan masyarakat global yang membutuhkan produk wisata yang muslim friendly. Seperti akomodasi, makanan minuman, hiburan, dan penyelenggaraan paket wisata.
“Usaha pariwisata halal bersifat voluntary. Namun demikian tidak boleh mengklaim dirinya sebagai pariwisata halal, kecuali telah mendapat pengakuan halal dari lembaga yang berwenang,” tegasnya.
Untuk itu, pelaku usaha kuliner yang ingin restoran atau kafenya memiliki label halal perlu tahu proses dan persyaratan apa saja yang harus disiapkan. “Sosialisasi SMHI ini bertujuan memberikan informasi dan meningkatkan pemahaman masyarakat, khususnya bagi industri kuliner tentang bagaimana pentingnya menghasilkan produk halal dan mengetahui kriteria sistem jaminan halal,” jelas Ida.
Sementara itu, Pembina Halal Center Cinta Indonesia Prof. Dr. Ir. Muhammad Bisri, MS menjelaskan, bahwa wisata halal ini bukan berarti tidak boleh ada penjualan produk non halal.
“Kebanyakan produk makanan kita belum ada tulisan halalnya. Kalau itu non halal, tulis saja non halal. Kalau halal ya beri label halal. Supaya jelas saja. Kalau mau jualan yang non halal, ya boleh, silakan,” tutur mantan Rektor Universitas Brawijaya ini.

Dia menegaskan bahwa program ini untuk memberikan jaminan dari negara bagi wisatawan yang mencari produk halal. Meskipun dia mengakui, bahwa sertifikasi halal di Indonesia ini masih lemah. Oleh karena itu, dia berharap dengan adanya program ini ada percepatan pemberian label halal. Dalam sosialisasi tersebut, para pelaku usaha kuliner juga dibekali penjelasan agar mereka bisa segera mengurus sertifikasi halal.
“Ini penjelasan penting supaya mereka paham alurnya, mekanismenya, persyaratannya. Nanti mereka didampingi oleh Lembaga Bantuan Hukum (LBH) yang ada di Malang. Supaya mereka lebih mudah,” papar Bisri.
Sementara itu, Kasubag Tata Usaha Kementerian Agama Kota Malang Sutrisno menyatakan, pihaknya siap melakukan pendampingan dan pengawasan agar program ini berjalan dengan semestinya. Peran Kemenag menurutnya, melakukan pendampingan sertifikasi halal. Selain juga melakukan pengawasan aturan. “Sekarang pengurusan sertifikasi halal sudah lebih mudah,” pungkasnya.
Reporter: Aisyah Nawangsari
editor: Jatmiko