Oleh: Sugeng Winarno*
Saya dan teman-teman lama satu SMA dulu dipertemukan oleh WhatsApp Group (WAG). Satu di antara teman kami itu sekarang sedang berhaji ke tanah suci. Kami semua turut senang karena ada teman kami yang tahun ini bisa menjalankan salah satu rukum Islam itu. Sementara banyak di antara kami yang masih harus menunggu giliran berangkat dengan masa penantian hingga lebih dua puluh tahun.
Kami semua member WAG alumni SMA itu setiap hari dapat kiriman aneka foto dan video saat teman kami menjalankan rangkaian ibadah haji. Tak hanya itu, saat belum berangkat ke tanah suci, saat manasik haji misalnya, dia secara rutin meng-upload aktivitasnya di WA group. Mulai pra, saat pelaksanaan, hingga pasca kepulangan semua diunggah di WAG. Hingga hampir tak ada konten lain di WAG kecuali tentang ibadah haji teman saya itu.
Saya juga iseng tengok media sosial (medsos) teman saya itu, seperti di Facebook dan Instagram-nya. Ternyata isinya hampir sama dengan yang dikirim ke WAG kelas, bahkan jumlah kontennya jauh lebih banyak. Foto dengan background tempat-tempat spesial di tanah suci, Ka’bah, masjid, mahtab, hotel, bus, jalan raya, gurun pasir, dan semua yang ada di tanah suci di foto dan diunggah di medsosnya.
Aneka video berisi laporan pandangan mata saat proses ibadah haji juga dilaporkan teman saya itu bak reporter televisi nasional. Bahkan saat sholatpun kamera smartphone-nya sengaja ditempatkan secara candid hingga gerakan takbir, rukuk, hingga sujud yang dilakukannya mampu tertangkap lensa kamera. Aneka video tadi oleh teman saya diunggah di aneka platform medsos miliknya dan WAG kelas SMA kami.
Tak semua anggota WAG kelas suka dengan cara teman saya ini. Ada beberapa teman yang japri saya mengomentari ulah teman kami itu, karena mau komentar di chat group mungkin merasa tak enak. Di WAG tak banyak teman yang berkomentar ketika teman saya itu mengunggah foto-foto dan aneka video ibadah hajinya. Paling-paling teman lain sekedar memberi imoticon jempol atau gambar lain yang bernada iseng memuji.
Pengabdi Medsos
Di era kecanggihan teknologi informasi dan komunikasi saat ini tak sedikit orang yang tak bisa lepas dari teknologi. Sejak munculnya internet, yang telah melahirkan teknologi turunannya seperti medsos telah membuat banyak orang kecanduan medsos. Tak sedikit orang yang hidupnya disetir oleh medsos hingga mereka jadi pengabdi medsos. Apapun yang dilakukannya diunggah jadi konten medsos.
Orang Indonesia kalau main medsos memang sudah keterlaluan (over consumption). Merujuk data We Are Social 2021, hampir seratus persen (96%) pemilik smartphone di Indonesia menjadi pengguna medsos. Ini artinya, banyak pemilik medsos di mana pun, kapan pun, dan dalam situasi apa pun yang bisa menyampaikan pesan-pesannya melalui platform medsos miliknya dan akun medsos orang lain yang diikutinya.
Data We Are Social menyebutkan bahwa sebanyak 99,8% pemilik akun medsos di Indonesia sebagai pengguna aktif. Pengguna medsos Indonesia setiap hari bisa menghabiskan 3 jam 14 menit untuk berinteraksi di jagat medsos. Durasi itu di atas rata-rata dunia yang hanya 2 jam 25 menit.
Penggunaan medsos telah merasuk ke berbagai sektor kehidupan manusia, termasuk didalamnya untuk urusan ibadah. Tak jarang demi konten medsos akhirnya orang jadi pamer ibadahnya. Banyak yang tergelincir pada sikap riya’ atau pamer ibadah. Termasuk contoh teman kami yang sedang berhaji. Mungkin dia menganggapnya sebagai syiar, namun bedanya sungguh tipis antara syiar dengan pamer.
Pamer atau syiar semua tergantung niatnya. Kalau ibadah dilakukan sejak awal diniatkan untuk show off pada orang lain agar dianggap sebagai orang yang hebat dan taat beribadah maka itu pamer. Jangan sampai pahala ibadah haji hilang gara-gara ada unsur pamer atau riya’. Sejatinya ibadah haji itu untuk Allah SWT dan tak perlu berlebihan dipamerkan kepada orang lain.
Jangan “Haji Setan”
Prof. Dr. Kh. Ali Mustafa Yaqub (alm), salah seorang imam besar masjid Istiqlal, pernah membuat sebuah tulisan yang cukup menghebohkan di tahun 2006 silam. Judul tulisannya adalah “Haji Pengabdi Setan”. Awalnya tulisan Pak kiai ini di muat di Majalah Gatra yang akhirnya diterbitkan dalam sebuah buku yang hingga sekarang masih banyak dijual di online market.
Dalam tulisan itu, kiai Yaqub resah melihat fenomena orang berhaji yang sampai berkali-kali, sementara orang lain masih harus mengantri lama. Situasinya memprihatinkan karena di antara ratusan ribu jamaah haji itu ada yang sudah berangkat ibadah haji berkali-kali. Bisa jadi kepergian mereka yang berkali-kali itu bukan lagi sunah, melainkan makruh, bahkan haram.
Ada yang berhaji bukan karena kerinduan pada tanah suci. Namun banyak yang berhaji karena ingin mendapat pujian dan penghormatan di masyarakat. Dalam situasi ini bisikan setan sudah merasuk sehingga menurut kiai Yaqub inilah orang berhaji tetapi menuruti bisikan setan. Inilah yang berbahaya karena dengan berhaji yang utamanya jadi sarana ibadah justru yang terjadi melanggar perintah Allah.
Serupa dengan hal itu, berhaji dengan pamer di medsos sebenarnya juga bisa dimaknai sebagai bisikan setan. Karena dengan banyak mengunggah prosesi haji di medsos bisa jadi ada kesan riya’ atau pamer. Bisa mungkin dengan unggahan itu orang berharap agar dipuji, disanjung, atau dihormati orang lain. Kalau tujuan ini yang muncul tentu dapat menodai ibadah hajinya.
Di era medsos saat ini memang semua perlu berhati-hati. Saat aneka gadget ada dalam genggaman, semua orang bisa dengan gampang memfoto atau mengambil video apapun. Disinilah pengguna medsos perlu selalu berhati-hati agar tak tergelincir pada perilaku mengunggah konten yang tak tepat.
Saya tetap berharap teman kami yang berhaji dan aktif mengunggah konten ibadahnya di aneka platform medsosnya itu bukan karena pamer atau riya’. Semoga dia tak tergelincir menjadi “haji pengabdi medsos” apalagi “haji pengabdi setan.” Semoga kita semua dapat mengambil pelajaran dari kisah ini. (*)
*). Penulis adalah Dosen Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Muhammadiyah Malang (UMM).
editor: jatmiko
—
Terima kasih sudah membaca artikel kami. Ikuti media sosial kami yakni Instagram @tugumalangid , Facebook Tugu Malang ID ,
Youtube Tugu Malang ID , dan Twitter @tugumalang_id