Tugumalang.id – Eks Wamenkumham (2011-2014), Prof Denny Indrayana, menyebut ada lima cacat pada putusan Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat yang mununda Pemilu 2024. Denny menilai Pemilu semestinya tidak dapat atau tidak boleh ditunda.
“Saya berpandangan pemilu tidak dapat, dan pastinya, tidak boleh ditunda. Ada Panca Cacat Putusan PN Jakarta Pusat yang menyebabkan putusan tersebut wajib tidak dilaksanakan,” kata dia dalam rilisnya pada Jumat (3/3/2023).
Pria yang juga Guru Besar Hukum Tata Negara itu menjelaskan satu persatu kecacatan yang dia maksud. Pertama, menurut dia, setiap putusan memang harus dihormati jika putusannya tidak mengandung cacat hukum mendasar yang menyebabkannya tidak dapat dilaksanakan.
“Putusan PN Jakarta Pusat jelas mengandung cacat hukum yang mendasar sehingga tidak dapat dilaksanakan,” tegasnya.
Kecacatan kedua adalah Majelis Hakim memutuskan perkara yang bukan yurisdiksinya, alias wilayah hukumnya untuk memutus perkara Pemilu. “Sehingga ini menjatuhkan amar yang lagi-lagi bukan kewenangannya,” kata dia.
Menueur Denny, setiap pengadillan mempunyai wilayah kerja masing-masing. Itu yang disebut dengan yurisdiksi, alias kompetensi peradilan. Karena itu, tidak bisa perkara pidana, disidangkan dalam majelis hukum perdata. Juga, tidak bisa perkara tata usaha negara disidangkan oleh peradilan umum.
“Dalam perkara ini, soal tidak lolosnya Partai Prima sebagai peserta pemilu, adalah masuk ke ranah “Sengketa Proses” Pemilu, yang berbeda dengan “Sengketa Hasil” Pemilu, yang merupakan yurisdiksi Mahkamah Konstitusi,” papar alumni UGM tersebut.
Dia lalu menjelaskan soal “Sengketa Proses” Pemilu. Kata dia, yang berwenang menjadi pengadil dalam hal ini adalah Bawaslu RI, dan hanya dapat diajukan upaya hukum ke Pengadilan Tata Usaha Negara. Ini sesuai Pasal 466 – 471 dalam UU Pemilu.
“Sengketa proses inilah yang pernah kami advokasi ketika menjadi kuasa hukum Partai Ummat, melalui proses mediasi di Bawaslu, dan akhirnya menghasilkan keputusan Partai Ummat lolos sebagai peserta Pemilu 2024,” ungkapnya.
Dia menilai Pengadilan Negeri tidak mempunyai kompetensi untuk memeriksa, mengadili, apalagi memutus segala sesuatu terkait “Sengketa Proses” Pemilu. Dalam kasus ini adalah proses verifikasi Partai Prima untuk menjadi peserta pemilu 2024.
“Apalagi, Partai Prima sebenarnya juga telah melakukan langkah dan gugatan hukum soal kepesertaan pemilunya kepada Bawaslu dan PTUN, yang sudah divonis, dan sudah berkekuatan hukum tetap,” katanya.
Dengan ini berarti, imbuhnya, kepesertaan Partai Pemilu yaitu Partai Prima sudah final dan mengikat, tidak ada upaya hukum lain. Apalagi melalui gugatan perdata di Pengadilan Negeri yang tidak berwenang memutus sengketa proses Pemilu.
Cacat ketiga, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat terjebak untuk mengeluarkan amar putusan yang juga keliru, alias cacat hukum.
“Amar ke-5 yang pada intinya menghentikan tahapan pemilu dan mengulangnya lagi sedari awal, jelas menabrak banyak norma hukum. Pertama sekali, putusan demikian menabrak norma konstitusi, yang memerintahkan pemilu harus dilaksanakan setiap lima tahun, tidak dapat ditunda,” paparnya.
Lebih lanjut putusan PN Jakarta Pusat ini menabrak norma dalam UU Pemilu yang telah mengatur bahwa pemilu hanya bisa ditunda karena adanya “kerusuhan, gangguan keamanan, bencana alam, atau gangguan lainnya yang mengakibatkan” tahapan Penyelenggaraan Pemilu tidak dapat dilaksanakan. Ini sebagaimana disebut pada Pasal 431 – 433 UU Pemilu.
“Karena menabrak berbagai norma hukum tersebut, maka Putusan PN Jakarta Pusat, lagi-lagi tidak dapat, bahkan tidah boleh dilaksanakan,” tegasnya lagi.
Kecacatan keempat adalah membawa persoalan “Sengketa Proses” Pemilu ke pengadilan negeri. Ini jelas langkah hukum yang keliru, kata Denny. Namun pengadilan negeri yang mengabulkannya, lebih keliru dan lebih mengherankan lagi.
“Kalaupun Pengadilan Negeri akan diberikan ruang untuk memutus isu perdatanya, padahal seharusnya pun tidak (quod non), maka putusannya harusnya tidak boleh berlaku umum (erga omnes) sebagaimana suatu putusan tata negara dalam hal pemilu,” katanya.
Kecacatan Kelima, kata dia, karena PN Jakarta Pusat masuk ke wilayah kerja yang bukan yurisdiksinya, maka amar ke-6nya soal putusan itupun tidak dapat dilaksanakan (non-executable).
Suatu putusan, lanjut Denny, yang dilaksanakan secara serta-merta (uitvoerbaar bivoorraad) meskipun ada perlawanan atau banding sebenarnya adalah konsep perdata (Pasal 180 HIR). Dan ini lebih terkait soal kewajiban pembayaran yang harus dilaksanakan segera agar tidak makin merugikan korban.
“Karenanya tidak tepat sama sekali diterapkan dalam perkara tata negara, apalagi dengan konsekwensi menunda pemilu. Maka, amar putusan serta-merta itu pun wajib diabaikan,” katanya.
Untuk itu, menurut Denny, KPU bukan hanya wajib mengajukan perlawanan hukum dan menyatakan banding atas putusan PN Jakarta Pusat tersebut, tetapi KPU harus terus menjalankan tahapan Pemilu tanpa terganggu.
“Jangan sampai penundaan pemilu menjadi kenyataan. Saya mendengar trisula skenario penundaan pemilu, yaitu (1) Dekrit Presiden, (2) Sidang Istimewa MPR, dan (3) Putusan MK yang memutus perubahan sistem pemilu proporsional sekaligus menunda pemilu,” kata dia.
“Apapun skenarionya, penundaan pemilu yang demikian adalah pelanggaran dan bencana konstitusi yang harus kita lawan dengan lantang, karena akan makin mengkhianati dan merusak demokrasi di tanah air,” pungkasnya.
Editor: Herlianto. A