MALANG, Tugumalang – Menjadi dalang di era sekarang adalah sebuah tantangan. Profesi ini kini tak banyak diminati masyarakat, khususnya kalangan muda. Namun, ini tak menyurutkan semangat Andi Bayu Sasongko (27) menjadi dalang dan melestarikan budaya.
Andi yang terlahir di keluarga budayawan ini baru saja menerima penghargaan sebagai satu dari 10 Dalang Terbaik Festival Wayang Kulit (Dalang Muda) Provinsi Jawa Timur 2022. Penghargaan ini diserahkan langsung Gubernur Jawa Timur, Khofifah Indar Parawansa.
Tentunya ini tak lepas dari kerja keras Andi saat menjadi dalang, meski harus membagi waktu dengan profesinya sebagai guru di SMPN 2 Sumberpucung.
Alasan Menjadi Dalang
Andi terlahir di keluarga yang mencintai kebudayaan Jawa. Ayahnya adalah seorang dalang dan ibunya adalah seorang sinden. Secara otomatis, ia dan adiknya tumbuh dengan mencintai budaya tradisional ini.
Saat ditanya mengenai alasannya menjadi dalang di era modern ini, Andi mengatakan bahwa ia ingin melestarikan dan mengembangkan budaya di bidang pedalangan yang saat ini sudah jarang.
“Selain itu, saya juga ingin meneruskan cita-cita keluarga,” ujarnya saat dihubungi wartawan Tugu Malang ID beluma lama ini.
Pria asal Desa Sumberpucung, Kecamatan Sumberpucung, Kabupaten Malang ini menekuni dunia dalang dengan serius. Ia belajar di Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta jurusan Pedalangan pada tahun 2013 hingga lulus di awal tahun 2019.
Tantangan Menjadi Dalang Masa Kini
Menjadi dalang bukanlah suatu hal yang mudah. Saat ini, tak banyak masyarakat yang menikmati pertunjukan wayang. Ini juga dirasakan Andi.
“Salah satu tantangannya adalah bagaimana mengemas dan menampilkan suatu karya yang menarik bagi kawula muda. Karena jika bertahan dengan sajian klasik, banyak yang kurang paham dari segi bahasa dan alur cerita,” terang Andi.
Selain itu, tantangan yang dihadapi Andi adalah membagi waktu dengan profesinya sebagai guru. Ini dikarenakan saat menjadi dalang, ia harus terjaga semalaman. Sementara, paginya ia harus mengajar di sekolah.
“Untuk pembagian waktu tentu saja sulit. Terutama ketika ada job wayangan yang sampai menjelang pagi, sedangkan paginya harus kembali mengajar di sekolah. Terkadang juga sampai telat masuk. Tapi warga sekolah sudah paham dan menerima dengan baik,” ujar guru muatan lokal (mulok) bahasa daerah dan ekstrakurikuler karawitan ini.
Meski memiliki tantangan, Andi merasakan banyak manfaat dari pekerjaannya sebagai dalang. “Saya jadi memiliki banyak saudara dan dikenal orang banyak. Kami bisa berbagi pengalaman dan ilmu,” tuturnya.
Menyajikan Wayang yang Menarik Anak Muda
Pertunjukan wayang saat ini kerap dianggap kuno. Andi pun mengatakan bahwa meski regenerasi seniman ada, namun belum tentu ada regenerasi penikmat. Untuk menepis anggapan bahwa wayang itu kuno, Andi berupaya menyajikan tontonan yang menarik dan bisa dipahami oleh anak muda.
“Saya menggunakan bahasa yang mudah dipahami, namun tetap menggunakan unggah-ungguh bahasa Jawa yang baik dan benar,” ujarnya.
Salin bahasa, Andi juga menampilkan tokoh jenaka untuk memecah suasana tegang. Taktik lain yang ia gunakan adalah menggunakan alur cerita yang tidak muluk-muluk tapi tetap mengena dengan alur.
”Saat pertunjukan, saya membawa para pengrawit dan pesinden yang masih muda-muda,” kata Andi.
Menurutnya, anak-anak muda harus mengenali budaya mereka terlebih dahulu, dalam hal ini budaya Jawa, sebelum menggandrungi budaya bangsa lain. Ia ingin anak muda Indonesia bangga akan seni budaya wayang. Ini adalah seni yang asli milik Indonesia dan sudah diakui dunia.
“Agar kita menjadi tuan rumah di negeri sendiri dan dengan bangga memperkenalkan bahwa inilah kami, orang Indonesia, orang Jawa, kaya akan budaya yang adi luhung,” pungkas Andi.
Reporter: Aisyah Nawangsari Putri
editor: jatmiko