Oleh: Alan Nugraha*
Tugumalang.id – Dari keluarga siapa kita akan lahir adalah sebuah takdir. Kita tidak bisa memilih lahir dari keluarga kaya atau miskin, dari keluarga terdidik atau tidak terdidik. Semua itu telah ditentukan oleh yang kuasa. Namun demikian, mau seperti apa kita di masa depan adalah sebuah pilihan. Kita bisa memperjuangkannya dengan usaha keras dan doa yang tulus.
Pada oretan sederhana ini, izin saya berbagi cerita tentang pengalaman saya pribadi sebagai anak seorang buruh dan TKW (Tenaga Kerja Wanita), yang berjuang untuk meraih mimpi-mimpi di masa depan.
Perkenalkan nama saya Arlan Nugraha, biasa dipanggil Arlan. Anak kedua dari tiga bersaudara. Ayah saya bekerja sebagai buruh dan ibu sebagai TKW (Tenaga Kerja Wanita) di Malaysia. Saat ini, saya sedang kuliah di IPB (Institut Pertanian Bogor) jurusan manajemen. Tidak mudah memang berada sampai di titik ini. Ada pahit-manis yang harus dirasakan, lika-liku perjalanan yang mesti ditempuh, dan segala hal yang rumit sudah saya lewati.
Sejak di bangku SMP (Sekolah Menengah Pertama) ibu pergi ke negeri jiran Malaysia untuk bekerja sebagai TKW, sementaa ayah bekerja sebagai buruh serabutan. Ibu memutuskan mencari penghidupan ke Malaysia karena keadaan ekonomi yang sangat mendesak saat itu. Ditambah kakak yang sedang menempuh perkuliahan di salah satu universitas swasta di Cimahi.
Berat memang harus ditinggal oleh seorang ibu untuk bekerja di tempat yang jauh, seperti kehilangan kasih saying. Namun, kondisi itu membuat saya sadar dengan perjuangan kedua orang tua, maka saya pun harus ikut berjuang. Pendidikan adalah salah satu jalan untuk ikut berjuang sebagaimana kedua orang tua.
Sejak SMP saya berusaha untuk selalu menjadi juara kelas, saya berpikir saat itu bahwa ketika menjadi juara kelas biaya sekolah akan terbantu dan itu akan mengurangi beban kedua orang tua. Alhamdulillah, sejak SMP hingga SMA saya selalu menjadi juara kelas dan menjuarai beberapa lomba.
Dari prestasi itu, saya mendapatkan uang saku dan juga gratis biaya sekolah. Di akhir kelas 12 ibu masih di Malaysia dan saat itu kakak berhasil lulus menjadi seorang sarjana.
Berbagai cemooh pernah keluarga kami dapatkan dari tetangga bahkan keluarga sendiri. Tapi kedua orang tua saya tidak pernah menghiraukan itu. Saya meyaksikan bagaimana kedua orang tua berjuang demi menyekolahkan anaknya hingga lulus menjadi sarjana.
Di bangku SMA saya mulai memikirkan perkuliahan. Masa SMA dilalui dengan penuh semangat dengan serius karena ada keinginan lolos perguruan tinggi negeri melalui jalur SNMPTN (Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri). Penghujung kelas 12 akhirnya tiba, saat itu saya menyiapkan segala berkas untuk mendaftar SNMPTN. Ada rasa senang karena saat itu guru-guru sangat mendukung untuk melanjutkan kuliah.
Namun, ketika pengumuman SNMPTN tiba yang saya dapatkan adalah “Tidak Lulus.” Saya sangat terpukul dan sedih dengan hasil itu, dan menganggap perjuangan saya selama 3 tahun di bangku SMA sia-sia. Tapi, lagi-lagi kedua orang tualah yang menjadi kekuatan untuk bangkit. Saya mulai bangkit kembali menyiapkan diri untuk mengikuti jalur seleksi SBMPTN (Seleksi Bersama Masuk Perguruan Tinggi Negeri).
Selain itu saya juga mencoba jalur SNMPN (Seleksi Nasional Masuk Politeknik Negeri), SBMPN (Seleksi Bersama Masuk Politeknik Negeri), SPAN-PTKIN (Seleksi Prestasi Akademik Nasional Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Negeri), SIMAK UI (Seleksi Masuk Universitas Indonesia), Mandiri Universitas Diponegoro, hingga mencoba jalur beasiswa di Telkom University.
Sayang, semua usaha itu pun satu per satu berujung kegagalan. Rasanya sungguh sangat pahit. Namun, saya tetap berjuang melalui SBMPTN. Satu-satunya jalan yang menjadi harapan untuk bisa kuliah di perguruan tinggi negeri.
Selama kurang lebih 6 bulan saya fokus belajar persiapan SBMPTN itu. Saya mengikuti UTBK (Ujian Tulis Berbasis Komputer) hingga waktu pengumuman tiba. Banyak teman, guru, dan saudara yang bertanya kabar kelulusan SBMPTN. Pertanyaan itu membuat saya merasa tertekan dan takut tidak bisa memenuhi ekspektasi orang lain.
Jujur, saat itu ada rasa takut untuk membuka pengumuman, bahkan harus menenangkan diri hingga malam hari untuk membuka pengumuman pada jam 3 siang itu. Setelah berdoa dan salat isya, saya memberanikan diri membuka pengumuman SBMPTN ditemani kakak saya.
Alhamdulillah, layar HP saya bertuliskan “SELAMAT” dengan penuh rasa bahagia dan haru, saya tidak berhenti bersyukur atas kesempatan yang Allah berikan. Itu menjadi jawaban atas doa dan perjuangan selama ini termasuk doa dari kedua orang tua.
Sempat lelah dan ingin menyerah memang, ketika kita berada pada posisi yang sangat tidak nyaman. Tetapi kembali lagi berjuang itu sebuah pilihan. Saya bisa saja berhenti saat mengalami kegagalan tapi kesempatan emas akan hilang di masa depan.
Saya bersyukur memilih untuk terus berjuang karena karena ada keyakinan bahwa kita berikhtiar dan berdoa kepada Allah swt. Maka, Allah akan senantiasa membantu kita dalam menjalani segala rintangan yang ada.
Sampai akhirnya saya bisa diterima di IPB (Institut Pertanian Bogor) jalur SBMPTN 2020 di jurusan manajemen.
Di sini saya merangkai mimpi kedua orang tua, agar anak-anaknya memiliki pendidikan yang tinggi dan menjadi sarjana.
Selain itu, saya juga sangat bersyukur karena mendapat KIPK (Kartu Indonesia Pintar Kuliah) yang sangat membantu dalam hal biaya perkuliahan. Ini tentu menjadi jalan bagi saya dalam meringankan beban kedua orang tua.
Akhirnya, dengan pengalaman ini semoga kita semua bisa belajar bahwa segala hal itu tentang sebuah proses dan perjuangan.
Satu prinsip yang saya pegang ialah jangan pernah meninggalkan ibadah dan tetaplah memuliakan kedua orang tua. Ini seperti yang dikatakan sebuah hadis bahwa “ridho Allah ada pada ridho orang tua, dan murka Allah ada pada murka orang tua.”
Selamat berjuang kawan, sampai jumpa di puncak kesuksesan kelak.
*member Pondok Inspirasi
Editor: Herlinto. A