MALANG – Gus Dur mencabut Inpres No 14 Tahun 1967, sehingga Tionghoa diakui di Indonesia dan pertunjukan barongsai boleh diadakan.
Tionghoa mempunyai utang budi yang luar biasa pada almarhum Gus Dur. Bagi warga Tionghoa, Kepres No 6 tahun 2000 yang dibuat Gus Dur, dinilai dapat menyelamatkan berbagai etnis dan agama di Indonesia, termasuk Tionghoa.
“Bagi orang Konghucu, menganggap Gus Dur adalah orang suci. Karena beliau meletakkan kemanusiaan di atas segala-galanya. Gus Dur sangat luar biasa di mata orang Tionghoa,” jelas Wakil Ketua Perhimpunan INTI Malang Raya, Sudarno, dalam Haul Virtual ke-11 Gus Dur, pada Selasa (29/12/2020).
Selain itu, Sudarno juga mengatakan, Gus Dur dapat merangkul semua etnis dan agama, termasuk Tionghoa.
Sudarno mengaku, meneladani 9 nilai yang ada di jaringan Gusdurian. Nilai-nilai itu juga diamalkan dalam keseharian, kebangsaan, dan keluarganya.
“Nilai itu ada ketauhidan, kearifan lokal, kemanusiaan, keadilan, kesetaraan, pembebasan, kesederhanaan, persaudaraan, dan kesatriaan. Jadi itu beberapa nilai yang kami teladani dari Gus Dur,” tutur pria yang mengenakan baju jawa dan peci hitam tersebut.
Selain itu, Sudarno mempunyai koleksi 120 keris sebagai upaya meneladani Gus Dur dalam menjaga kearifan lokal yang ada di Indonesia, keris tersebut juga dirawat dengan baik dan dibawa dalam Haul Virtual ke-11 Gus Dur tersebut untuk ditunjukkan pada hadirin.
Selain Sudarno, turut menjadi pembicara dalam kegiatan ini adalah Ketua IKA Unisma, Muhammad Nuruddin. Santri Gus Dur ini, mengenang kembali momen saat pelengseran Suharto.
Menurutnya, ada kekuatan politik yang bermain di lingkaran mahasiswa yang menggerakkan pelengseran Suharto. “Sejak 1993, kalau bertemu Gus Dur, kami dianggap PMII yang lain, yang berideologi terbuka,” ujarnya.
“Karena PMII yang lain berani menjadi oposisi dari kekuatan represitas orde baru. Dari situ, Gus Dur mengajarkan kami kursus singkat mengenai hal tersebut,” jelas Gus Nur, panggilan akrabnya.
Dia melanjutkan, Gus Dur sempat menyebut gerakan unpolitical’s politic. Merupakan tokoh oposisi yang konsisten, Gus Dur selalu menggunakan gerakan non-politik tapi dapat berdampak politik pada Indonesia. Sehingga, kadang tidak mudah terbaca oleh penguasa pada saat itu.
“Artinya, pemikiran kami pada waktu itu yang masih muda dan tidak selevel Gus Dur. Gus Dur sudah memikirkan sampai sejauh itu. Namun, saya tetap kritis terhadap semua orang, termasuk Gus Dur juga pada waktu itu,” jelas Gus Nur.
“Kami pernah diperkenalkan buku-bukunya Gus Dur, salah satunya Hasan Hanafi diberikan pada kami untuk disebar dan diluaskan. Kesimpulan kami saat berinteraksi dengan Gus Dur, pelajaran terpenting dia selalu menggunakan praktik politik tidak pernah meninggalkan kaidah ushul fiqih,” sebutnya.
“Gus Dur selalu menggunakan kaidah dan prinsip ushul fiqih. Saya tidak perlu jelaskan bagaimana kaidah ushul fiqih, banyak, seringkali tidak disampaikan Gus Dur tapi langsung dipraktikkan. Praktiknya selalu melindungi minoritas. Mencegah kerusakan sebelum berbuat kebaikan,” pungkas Gus Nur.
Haul virtual yang berkapasitas 1000 orang melalui Zoom Cloud Meeting ini, diselenggarakan oleh Tugu Media Group (Tugu Malang ID dan Tugu Jatim ID) bekerja sama dengan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Islam Malang (FEB Unisma), serta Ikatan Alumni (IKA) Unisma.
Acara yang bertujuan untuk memperingati 11 tahun wafatnya Gus Dur tersebut, menjalin kerjasama dengan Angkasa Pura II, MUNCUL, Jamkrindo, Bank Jatim, PLN, Garuda Indonesia, Pegadaian, GMRI, dan Gerakan Gusdurian Muda (Garuda).
Reporter: Rangga Aji
Editor: Lizya Kristanti