Tasikmalaya, TuguMalang – Penulis ide-ide poskolonial, Subaltern, Gayatri C Spivak, menyebut bagi suatu komunitas warga yang berusaha mempertahankan identitas dan cara hidupnya di tengah gencarnya globalisasi budaya. Sebutan itu rasanya cocok bagi Kampung Naga, yang selama ini mencoba mempertahankan budaya, tradisi dan cara hidup ala nenek moyang mereka.
Kampung Naga, adalah salah satu kampung adatp yang berada di kecamatan Selawu, Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat. Dalam mempertahankan tradisi dan cara hidupnya, warga Kampung ini berpegang teguh pada falsafah yang telah adal secara turun temurun.
Salah satunya adalah hidup setara dan bersama. Artinya, menjalani hidup dengan tidak saling mengungguli satu sama lain, segala sesuatunya dilakukan secara gotong royong.
“Kalau ada yang unggul salah satu maka nanti menimbulkan kecemburuan dan keirian. Ini bisa menimbulkan konflik,” kata Maun, punduh atau sesepuh yang dipercaya menjaga kemasyarakatan di Kampung Naga saat ditemui di teras rumahnya oleh tim “Jelajah Jawa- Bali, Mereka yang Memberi Arti” yang support oleh Tugu Media Group dan PT Paragon Technology and Innovation .
Karena alasan kesamaan hidup itulah masyarakat Kampung Naga hidup sederhana. Rumahnya cukup menggunakan lantai kayu, atapnya ijuk, dan temboknya dari bambu. Sementara pondasinya dari batu yang ditata sedemikian rupa.
“Di sini tidak ada yang punya rumah dari tembok gedung, semuanya sama rumah panggung dari kayu,” kata Maun yang kini telah berusia 82 tahun itu.
Semua rumah di kampung ini dibuat dari kayu, dan setiap keluarga hanya memiliki satu rumah saja, tak ada bangunan yang lain. Dalam satu rumah sudah termasuk dapur, ruang tamu, tempat tidur, dan tempat untuk lumbung padi.
Sementara kolong di bawah rumah diisi dengan kayu bakar yang ditumpuk secara berderet. Kayu itu untuk memasak di dapur.
Ajaran kebersamaan ini terpatri dalam falsafah mereka yaitu: teu saba, teu soba, teu banda, teu boga. Teu weduk, teu bedas, teu gagah, teu pinter.
Maknanya, jika ingin hidup bahagia maka hiduplah secara sederhana, hindari mengejar harta berlebihan. Tidak boleh merasa lebih tinggi daripada yang lain.
Selain itu ada beberapa ajaran atau tata cara hidup yang dipegang teguh warga Kampung Naga, misalnya ada 3 jenis larangan, di antaranya ngadu, ngamadat dan ngawadon.
Ngadu itu tidak boleh memfitnah orang, ngamadat berarti tidak boleh mabuk-mabukan atau narkoba dan hal-hal lain yang dilarang oleh negara.
“Sementara ngawadon itu tidak boleh main perempuan, tidak boleh selingkuh,” kata Maun, yang keriput pipinya menunjukan dia telah mengalami banyak hal soal hidup ini.
Untuk itu, imbuh Maun, sampai saat ini tidak pernah ada kasus perselingkuhan di kampung tersebut, karena semuanya patuh pada falsafahnya. Bagaimana jika ada pelanggaran terhadap larangan tersebut?
Menurut Maun, jika ada pelanggaran maka akan diberi nasihat, jika masih melakukan akan diberi nasihat lagi hingga tiga kali. Dan jika tetap tidak berubah maka akan diusir dari Kampung Naga, tidak ada hukuman fisik.
“Namun sampai saat ini belum ada yang sampai diusir, kami saling menjaga satu sama lain,” katanya.
Selain itu, juga ada tiga falsafah yang biasa dipegang oleh warga Kampung Naga. Pertama, penyaur na enggal temonan (segera penuhi panggilan agama dan negara. Kedua, parenta na enggal lakonan (perintah agama dan negara segera penuhi). Ketiga, pamundut na enggal pasihan (apa yang diminta agama dan negara segara berikan)
“Itu falsafah kami, jika tidak bertentangan dengan agama dan tradisi, maka segera kami lakukan,” kata dia.
Falsafah inilah yang membuat warga Kampung Naga menolak baiat kepada DI/TII yang kemudian membakar kampung mereka pada tahun 1956. Menurut Maun apa yang dilakukan DI/TII sudah bertentangan dengan negara dan falsafahnya.
“Saat itu kami sudah punya negara, punya pemimpin Soekarno, untuk apa kami mengakui negara lagi,” kata Maun berbicara lirih.
Warga Kampung Naga juga melindungi alam. Mereka merawat dua hutan larangan yang mengapit dua kampungnya. Tak pernah mereka melakukan penebangan di situ. Penolakan mereka terhadap listrik juga karena bagi mereka listrik lebih mudah memicu kebakaran ketimbang lampu teplok.
Melalui falsafahnya inilah, warga Kampung Naga menjaga diri dari budaya luar yang masuk. Namun bukan berarti mereka menolak dengan sesuatu yang baru, hanya menolak jika sesuatu yang baru itu bertentangan dengan falsafahnya.
Catatan ini adalah bagian dari program Jelajah Jawa-Bali, tentang Inspirasi dari Kelompok Kecil yang Memberi Arti oleh Tugu Media Group x PT Paragon Technology and Innovation. Program ini didukung oleh Gerakan Wartawan Peduli Pendidikan (GWPP), Pondok Inspirasi, Genara Art, Rumah Wijaya, dan pemimpin.id.
Reporter: Herlianto. A
editor: jatmiko