Yang penting tren dulu, risiko belakangan. kenyataan yang kerap disuguhkan saat ini. tren yang ada, sok akrab mendekat di kehidupan kita. is trend a friend?
Judul ini bukan seperti jurnal. trend is your friend. yang membahas soal trading. mari kita bahas tren, trending, viral. yang sudah ngajak kita berteman itu. seolah wajib diperhatikan.
Ya, saat ini banyak terlihat orang mencari, dan ikut yang lagi tren. dan tren mengulurkan tangannya, mengajak jadi teman. dulu juga sudah begitu. mulai dari tren celana jeans, hijab, blackberry. dan semacamnya.
Tren mahasiswa tahun dua ribuan misalnya, ngopi sambil diskusi. tren tahun dua ribu sebelas ke atas, ngopi sambil main game. menghasilkan cuan.
Tapi tren yang seperti itu tidak banyak masalahnya. kalau cocok dan mampu, silakan saja. yang mengkhawatirkan itu tren negatif. salah satunya narsis. apa-apa diunggah.
Yang viral sekarang misalnya, video polwan yang hilang. di Malang, ada wisatawan kena covid-19. ditolak ke Bali, malah keluyuran di Malang. bukannya sembunyi, malah upload di medsos. ini tren apa tak sengaja?
Cekrek-cekrek upload-upload, memang sudah jadi tren. mau makan enak, upload dulu. harapannya biar rekan pada tau. kalau sedang di restoran. mau ke jeding, uplod lagi. yang mau ditunjukin apa?
Bukannya simpati, yang begini malah dapat antipati. kecuali yang ditunjukkan itu sebuah prestasi. masuk kategori tahadduts bin nikmah. tanda syukur bisa mendapatkan sesuatu istimewa.
Mari kita bahas wisatawan yang viral kemarin. yang ditolak masuk Bali, keluyuran di Malang. masuk ke toko Lai Lai. lalu upload di facebook, supaya dapat perhatian.
Model-model begini kan sudah sering terjadi memang. termasuk oleh pejabat kita. bikin statemen, ujung-ujungnya minta maaf. nah, yang begini yang saya sebut sudah jadi tren.
Orang memang bisa abai dengan tutur kata, bahasa, dan statemen. baik yang diucapkan, atau ditulis. apalagi jadi konsumsi publik. lebih-lebih tidak ada tujuan jelas, apa motif statemen, apa motif unggahan.
Kenapa bisa begitu? saya kira gejalanya itu tadi. narsis. jadi semua aktifitasnya seolah wajib diketahui orang. memangnya mau kampanye? tapi yang begini sudah jadi tren. artinya sudah jamak.
Mengkuti tren, tentu maksudnya, agar bisa diterima di kalangan tertentu. kalau tidak ikut tren itu, sudi kiranya agak menjauh.
Maka pandai-pandailah memilah. tren apa yang perlu diikuti. tren apa yang cukup diketahui. sesuai kebutuhan saja. karena di era dahsyatnya teknologi ini, tenggat waktu tren, sangat tipis. habis tren ini, besok sudah tren itu.
Semua Berawal dari Narsis
Teknologi memfasilitasi kita berinteraksi tanpa batas. dengan cepat. dengan siapa saja. termasuk orang yang tidak dikenal, silakan boleh komentar.
Dan ketika orang sudah like, komen, artinya boleh ikut campur. mungkin memang ini yang diharapkan si pengunggah. agar mendapat respon. positif atau negatif, belakangan. yang penting banyak respon.
Barangkali itu yang dinamakan narsis. baik yang bawaan maupun ikut-ikutan. karena narsis sendiri memang sudah lama ada, dalam peradaban manusia. sebelum Paul Nackle, seorang psikiater Jerman, menemukan konsep self love. lalu Sigmund Freud dengan On Narcissisme.
Sekarang narsis sudah jadi tren. tidak sedikit yang mengamalkan. mungkin sudah boleh disebut kaum narsistis. yang kadar narsisnya, mengabaikan nilai-nilai di sekitar. kalau kata Lowen, loss of human values.
Bahasa kita di medsos lolos filter. atau memang tidak pernah disaring. mungkin karena dianggap umum. menangis atau tertawa, disajikan di medsos. silakan disantap. all you can eat here.
Kalau sudah begitu, siapa saja bisa melahap. termasuk netizen yang siap memviralkan. polisi siber yang siap melacak. dan UU ITE yang siap menjerat. (*)
Fajrus Sidiq
GM Tugumalang.id