Abdurrahman Said*
SEJAK dikeluarkan aturan tentang penggunaan loadspeaker di Masjid dan Musholla oleh Kementerian Agama Surat Edaran Menteri Agama No SE 05 Tahun 2022 tentang Pedoman Penggunaan Pengeras Suara di Masjid dan Musala, bergulir bola panas di berbagai Media. Pro dan kotra, perbedaan pandangan tentang peraturan itu sebagai suatu kebijakan pemerintah, juga konten dan konteksnya di masyarakat luas. Terlebih dengan tambahan-tambahan media-framing terutama di media sosial yang sering menyesatkan.
Surat Edaran tersebut secara umum mengatur penggunaan pengeras suara luar dan dalam, sehingga setiap masjid dan mushalla dianjurkan untuk membedakan penyaluran suara antara suara luar dan dalam.
Penggunaan suara luar pada prinsipnya adalah untuk menyuarakan panggilan masuknya waktu shalat, waktu imsak dan waktu adzan pertama pada shalat jumat atau tarhim subuh. Penggunaanya juga dianjurkan agar dilakukan oleh mereka yang bersuara merdu dan fasih. Jadi bukan dilarang mengguanakan pengeras suara luar, namun diatur agar lebih tertib.
Sementara pembacaan doa dan dzikir dimana pengeras suara diperuntukkan untuk menuntun jamaah yang ada di dalam masjid atau mashalla, maka sebaiknya dicukupkan menggunakan pengeras suara dalam.
Sebenarnya regulasi tentang penggunaan loadspeaker di Masjid dan Musholla sudah lama sekali dikeluarkan oleh Pemerintah, yaitu sejak tahun 1978 dengan terbitnya instruksi direktur jenderal bimbingan masyarakat islam no. kep/D/101/1978.
Aturan ini memuat kualitas tata suara yang harus agar tidak bising, pengguna pengeras suara harus fasih, merdu dan tidak cempreng, tidak terlalu meninggikan suara doa dan dzikir, pendengar adalah mereka yang siap mendengarkan, namun suara adzan tetap harus ditinggikan dengan suara merdu. Poin-poin dalam aturan ini dalam rangka menghindari antipati dari kalangan muslim sendiri. Apalagi dari non-muslim, dan menghadirkan citra yang baik, dan tetap sesuai dengan ajaran.
Bijak dalam berdalil
Dalam menggunakan dalil-dalil agama, prinsip utama dan pertama yang diajarkan agama adalah bahwa dalil itu untuk kita sendiri terlebih dahulu sebelum ditembakkan kepada orang lain. Firman Allah Swt; “Apakah engkau meyuruh orang lain berbuat baik, sementara kamu lupakan dirimu sendiri, padahal kamu yang mengerti Kitab Allah. Apakah kamu tidak berfikir?” (QS.2:44). Prinsip seperti ini banyak sekali kita temui dasar pedomannya dalam Al-Qur’an dan Hadits.
Ini selaras dengan sikap kita tentang konsep saling menghormati, tidak hanya penghormatan kepada eksistensi fisik individu-individu – semisal sebagai tetangga -, namun juga pada hak-hak meta-fisik mereka seperti keberagaman pandangan sampai ideologi. Sebab hak asasi manusia itu bukan sesuatu yang bebas tanpa batas, namun dibatasi oleh hak asasi orang lain.
Sebagai contoh, yang sering kita lalui pada setiap bulan suci Ramadhan, banyak dari kita yang justru lebih dahulu meminta untuk dihormati bahkan dengan memaksa. Swiping terhadap warung-warung dan restoran yang buka di siang bulan puasa diminta untuk tutup, dengan alasan mereka harus menghormati kita yang sedang berpuasa.
Kita sering lupa bahwa ada yang memiliki hak untuk mendapatkan fasilitas warung dan restoran di siang hari bulan puasa, misalnya mereka yang sedang perjalanan jauh, wanita yang sedang haid, anak-anak kecil, dan mereka yang sedang sakit. Sebab mereka dengan kondisi tersebut diperkenankan untuk tidak berpuasa. Allah menyuruh kita untuk menghormati hak-hak mereka terlebih dahulu.
Demikian pula dengan penggunaan pengeras suara masjid dan mushalla. Mereka yang berada di sekitar masjid dan mushalla juga memiliki hak-hak yang wajib dihormati dan dipenuhi. Di antara mereka ada orang-orang yang sedang sakit, wanita-wanita haid yang justru tidak boleh ke masjid, anak-anak kecil yang belum akil baligh, mereka yang tidak perlu setiap kegiatan doa dan dzikir ikut serta kecuali untuk slahat yang lima waktu, dan bahkan mungkin juga di sekitar masjid dan mushalla itu ada yang non muslim.
Datangnya hidayah Tuhan tidak ada yang tahu, namun kita diperintahkan untuk selalu mendakwahkan agama ini secara persuasif, indah dan menarik. Bukan sebaliknya dengan pemaksaan kehendak dan justru mengundang antipati. Peggunaan pengeras suara luar tetap diperbolehkan namun dengan cara-cara yang sesuai aturan dan menggunakan suara yang merdu dari manusia asli secara langsung.
Gusdur (Abdurrahman Wahid) pada tahun 1982 silam pernah menyindir bahwa akal sehat seungguhnya tidak menerima pengguanaan suara lantang di tengah malam buta, terlebih jika hanya menggunakan kaset, sementara pengurus masjidnya terlelap dalam tidur.
* Direktur Pascasarjana Al-Qolam Malang, Direktur Pesantren Center Nusantara, dan Wakil Katib PCNU Kabupaten Malang