Aditya Fajar*

Jamak kita ketahui saat ini jika Jawa dikenal sebagai salah satu suku bangsa di Indonesia yang terkenal dan akan kemistisannya dan hal-hal diluar logika lainnya. Banyak ritual orang Jawa yang ditampilkan dalam narasi film-film kita yang seolah-olah menampilkan banyak hal-hal diluar logika. Jauh dari kenyataan dan sarat akan kesesatan.
Namun, anggapan semacam itu tak sepenuhnya dapat disalahkan. Kita terlanjur terdidik dengan program instan, tanpa pernah diarahkan bernalar mencari arti kata benar yang sesungguhnya. Oleh karena itu, hadirnya tulisan ini sedikit banyak pada akhirnya nanti diharapkan dapat menjadi secercah alternatif dalam mencari makna ritus yang dilakukan oleh orang-orang Jawa.
AIR, dalam kehidupan setiap peradaban manusia di belahan dunia manapun selalu mengambil peran yang cukup penting dan mendasar. Air, merupakan sumber pokok penyangga kehidupan alam dan seisinya. Tanpanya, mungkin tanah subur hanya akan menjadi debu usang beterbangan, tanpa ada manfaat penghidupan. Oleh karena itu, air sangat dihargai dan dimuliakan dalam hidup dan kehidupan masyarakat Jawa, sehingga muncul ragam sebutan air sesuai fungsi peruntukannya seperti banyu, warih, tirtha dan sebagainya.
Lebih khusus dalam kaitannya perihal “tirtha” , masyarakat Jawa meyakini jika tirtha adalah tingkat air tertinggi dalam hal kesucian. Baik itu yang berasal dari sumbernya yang memang disucikan ataupun dari doa dan mantra yang dilantunkan. Sehingga air berubah tingkat kebersihan dan kesuciannya yang layak digunakan sebagai sarana upacara.
Dalam tradisi Jawa Kuna, setidaknya penghargaan terhadap air dan tirtha sudah kuat mengakar. Sehingga muncul istilah “Tirthayatra” berasal dari kata “Tirtha” yang berarti air dan “Yatra” yang berarti perjalanan suci. Maka yang dimaksud dengan Tirthayatra adalah perjalanan suci mengunjungi tempat-tempat yang dianggap suci dan sakral sebagai jalan untuk mendekatkan diri dengan alam dan Tuhan sebagai pencipta alam.
Sebagai rangkaiannya, bisa beraneka ragam sesuai dengan keyakinan masing-masing orang dalam berhubungan dengan Tuhan. Namun secara garis besar, pada umumnya kegiatan terlebih dahulu diawali dengan maturan atau pemberitahuan kepada siapa saja yang ada di wilayah itu, baik yang kasat mata ataupun yang tidak. Untuk pemberitahuan yang sifatnya kepada hal tidak kasat mata, biasanya dilakukan dengan menghaturkan segahan ataupun caru, sama halnya dengan kita membawakan buah tangan ketika kita berkunjung ke rumah saudara.
Maturan atau suguh dan dikenal pula dengan istilah caos di beberapa wilayah di Jawa, sebenarnya adalah bentuk penghargaan orang Jawa terhadap konsepsi alam dan seisinya. Semua yang ada, baik itu diketahui ataupun tidak, nampak ataupun tak nampak semua dihargai dan diperlakukan selayaknya saudara sendiri, dijamu dan didoakan, diperlakukan sebagaimana layaknya sesama ciptaan Tuhan.
Barulah, kegiatan dilakukan dengan melukat atau siram jamas, membersihkan diri dengan air yang ada di tempat yang dituju. Doa dan pengharapan dilantukan sesuai dengan tujuan masing² tiap orang. Hal ini juga yang dilakukan para petapa, rsi, brahmana pada jaman dahulu sehingga banyak ditemukan situs² pertapaan dan inskripsi-inskripsi pendek yang menceritakan tentang perjalanan mengunjungi tempat-tempat suci, khususnya yang terkait dengan air sebagai tonggak utama kehidupan.
Namun pada umumnya, tujuan yang dilakukan dalam melukat adalah membersihkan diri melalui anugrah Tuhan yang mengalir, entah itu membersihkan diri dari segala kekotoran jasmani ataupun rohani. Bahkan, melukat juga bisa ditujukan untuk meruwat diri, membersihkan dari segala gangguan dan segala hal yang mengganjal perasaan.
Dewasa ini, perkembangan tradisi melukat juga beragam, ada yg melakukannya menjelang bulan Sura (dlm penanggalan Jawa), menjelang bulan Pasa, bulan Sela, dsb. Dalam kegiatan yang kami lakukan ini, kami mengambil alternatif siram jamas yang dilakukan pada bulan Sela. Bulan Sela, dalam tradisi Jawa sendiri diyakini sebagai bulan jeda dan kosong. Sehingga banyak di antara masyarakat yang tidak menyelenggarakan upacara pernikahan pada bulan ini. Hal ini diyakini masyarakat, sebab bulan Sela adalah bulan yang dikhususkan untuk mengasah dan memperdalam ilmu pengetahuan (kagunan Jawa). Sehingga akan takdzimnya masyarakat Jawa akan ilmu dan pengetahuan, pada bulan ini dianjurkan tidak melakukan kegiatan yang sifatnya meriah, hiburan, ataupun hura-hura.
*Penulis adalah seorang freelencer
editor: jatmiko
—
Terima kasih sudah membaca artikel kami. Ikuti media sosial kami yakni Instagram @tugumalangid , Facebook Tugu Malang ID ,
Youtube Tugu Malang ID , dan Twitter @tugumalang_id