MALANG – Sejumlah Aremania memutuskan untuk ‘gantung syal’ atau pensiun ke tribun sebagai bentuk duka cita atas meninggalnya 135 suporter dalam insiden Tragedi Kanjuruhan 1 Oktober 2022 lalu. Selain itu, aksi itu dilakukan sebagai bentuk mosi tak percaya terhadap penanganan hukum tragedi itu.
Aksi simbol gantung syal itu seperti dilakukan oleh komunitas suporter Blimbing. Mereka melakukan aksi simpatik dengan mengikat syal kebanggaan mereka di Jembatan penyeberangan di wilayah Kecamatan Blimbing, Kota Malang.
Selain itu, ekspresi kekecewaan suporter juga terlihat dari tagar ‘Sejenak Menepi’ hingga ‘Gantung Syal’ yang beredar di media sosial. Mereka seolah sudah geram melihat penegakan hukum Tragedi Kanjuruhan yang terkesan bertele-tele.
Sindu, perwakilan kelompok suporter Blimbingham, tidak ingin berpendapat terlalu jauh. Hanya saja, hingga kini, pihaknya menilai tidak ada keseriusan dari berbagai pihak, terutama dari aparat penegak hukum untuk menuntaskan kasus ini.
Sebagai contoh, pernyataan resmi atau pengakuan para tersangka pada publik terkait motif mereka menembakkan gas air mata ke arah tribun tidak ada sama sekali. Berbanding terbalik dengan institusi TNI yang sudah mengakui kesalahan anak buahnya pasca kejadian.
Di sisi lain, sambung dia, petinggi federasi juga seolah menganggap kejadian yang hingga saat ini sudah merenggut 135 nyawa ini adalah hal sepele. Bahkan, tidak terlihat respon yang memuaskan dari petinggi federasi.
“Nonton bola saja bisa ada korban meninggal segitu banyak. Gak masuk akal. Kalau kayak gini udah gak usah Arema Arema-an. Kami memutuskan untuk gantung syal sampai kasus ini diusut tuntas,” kata Sindu pada tugumalang.id, Selasa (25/10/2022).
Respon Manajemen Klub Tidak Memuaskan
Begitu juga respon dari manajemen klub yang menurutnya jauh dari kata puas. “Sampai hari ini kami belum melihat sikap konkret dari klub. Kalau berkunjung ke rumah-rumah korban, santunan dana itu kan ya kewajiban. Kami gak butuh berita proses-proses saja, kita butuh hasil. Klub harus aktif ikut usut tuntas,” paparnya.
Di situasi seperti ini, bahkan federasi seolah masih bersikukuh agar kompetisi tetap digelar kembali. Menurut dia, itu sudah di luar nalar, di mana 135 orang suporter Aremania meninggal tanpa alasan yang jelas hingga kini.
“Ini soal nyawa, kawan-kawan kami yang meninggal butuh kejelasan, butuh keadilan. Untuk kali ini, kami menghormati mereka (respect, red),” kata Sindu.
“Kalau terus-terusan begini, ya sudah. Keputusan kami sudah bulat, untuk gantung syal sampai semua ini diusut tuntas seadil-adilnya. Kawan-kawan kami yang meninggal butuh keadilan,” tegasnya.
Dunia Sepakbola Tak Aman
Keputusan yang sama juga disampaikan salah satu Aremanita asal Singosari, Rizka Farly (23). Bagi dia, dunia sepakbola yang digemarinya sejak duduk di bangku SMP itu sudah tak lagi aman. Menurut dia, peristiwa 1 Oktober itu tak seharusnya terjadi.
Rizka menuturkan sudah terlanjur mencintai Arema karena suasana tribun yang diciptakan aman sejak dia mengenal Arema. Bahkan, sejak dia menikah, masih kerap mengajak anaknya yang kini sudah berusia 4 tahun menonton Arema.
“Tapi semenjak kejadian kemarin saya jadi trauma. Saya putuskan untuk gantung syal, mungkin untuk waktu yang tidak bisa ditentukan. Kemarin itu saya sebenarnya ngotot untuk nonton. Untung saja saya enggak diizinin sama suami,” ucapnya.
Pendapat serupa datang dari sejumlah kelompok suporter lain. Seperti lewat tagar ‘Sejenak Menepi’. “Belum adanya perbaikan di tubuh PSSI dan para penembak gas air mata, yang sampai hari ini masih berbahagia dengan keluarga mereka setelah membantai ratusan nyawa,” begitu pernyataan dari postingan @arema_bluearmy.
Lebih lanjut, dari pernyataan tersebut mereka memutuskan untuk tidak mendukung Arema FC dalam kegiatan apapun, selain upaya penuntasan hukum dan keadilan bagi para suporter benar-benar ditegakkan.
“Mari menepi, sampai mereka tahu apa itu arti dari kemanusiaan,” timpal Iqbal Pamungkas dalam postingan tersebut.
Korban Meninggal Terus Bertambah
Seperti diketahui korban meninggal akibat insiden penembakan gas air mata di stadion itu masih terus bertambah. Terakhir, mahasiswa asal UMM, Farza Dwi Kurniawan menjadi korban meninggal ke-135. Ia meninggal saat dalam perawatan di RSSA Malang pada Minggu (23/10/2022).
Tim Gabungan Independen Pencari Fakta (TGIPF) telah melakukan pendataan dan penanganan medis untuk korban Tragedi Kanjuruhan di sejumlah rumah sakit di Kabupaten dan Kota Malang.
Sebagai rumah sakit rujukan utama, RSSA Malang telah menerima 88 orang pasien terdiri dari 20 orang jenazah, 19 orang korban luka berat dan 49 orang korban luka ringan/sedang. Dari enam orang korban yang masih dirawat, empat telah meninggal dunia dan tersisa dua orang yang masih koma.
dr Kohar, Dirut RSSA Malang dalam Laporan TGIPF mengatakan bahwa umumnya penonton dalam Tragedi Kanjuruhan mengalami hipoksia atau kekurangan oksigen. Hal ini disebabkan oleh masifnya asap gas air mata yang dihirup oleh korban.
Namun dari hasil rekonstruksi yang digelar di Lapangan Mapolda Jatim, Surabaya, mendapati para tersangka tidak mengakui menembakkan gas air mata ke arah tribun. Merunut pernyataan Kadiv Humas Polri Irjen Pol Dedi Prasetya yang menuturkan bahwa keterangan itu sah dalam materi penyidikan.
“Secara materi penyidikan, itu penyidik yang akan menyampaikan. Kalau misal tersangka mau menyebutkan seperti itu (tidak menembak ke arah tribun), itu haknya dia, tersangka punya hak ingkar,” ujar Dedi.
Dedi mengungkapkan penyidik memiliki bukti yang bisa dipertanggungjawabkan di Kejaksaan hingga pengadilan saat proses persidangan nantinya.
“Penyidik memiliki keyakinan. Dengan seluruh kesaksian kemudian alat bukti yang dimiliki penyidik, nanti penyidik akan bertanggung jawab baik di kejaksaan maupun dalam persidangan,” ucap dia.
Reporter: M Ulul Azmy
Editor: Herlianto. A