MALANG, Tugumalang – Masyarakat Malang raya tentu tak asing dengan Klenteng Eng An Kiong Malang. Klenteng ini jadi yang tertua sekaligus jejak para jenderal Tiongkok. Berdirinya Klenteng tentu tak lepas dari perjalanan sejarah berkembangnya masyarakat Tionghoa di tanah Jawa.
Berkembangnya etnis Tionghoa di tanah Jawa telah terjadi sejak ratusan tahun yang lalu. Para pedagang China datang untuk berbisnis dengan penduduk lokal maupun Belanda yang sudah menjajah Indonesia.
Mereka datang dan menempati beberapa pelabuhan utama seperti Tuban, Surabaya, Jepara, Semarang dan Sunda Kelapa. Sekitar tahun 1800-an, Pemerintah Hindia Belanda mencatat jumlah penduduk Cina di Jawa mencapai 100 ribu jiwa dan meningkat hingga 500 ribu jiwa pada akhir abad 19.
Karena jumlahnya yang terus meroket, Pemerintah Belanda pun membuat beberapa peraturan pengelompokan lokasi mukim etnis. Hal tersebut yang melatarbelakangi munculnya kawasan Cina Town atau pecinan hingga pembangunan beberapa pusat Kota. Perkembangan umat Tionghoa juga menjadi awal berdirinya bangunan rumah ibadah Klenteng.
Sejarah Berdirinya Klenteng Eng An Kiong Malang
Klenteng Eng An Kiong memiliki sejarah yang cukup panjang. Klenteng tertua di Malang ini mulai dibangun sekitar 400 tahun setelah Laksamana Cheng Ho mendarat di tanah Jawa pada 1825. Catatan perjalanan berdirinya Klenteng ini pun sempat diteliti oleh Kautsar Ranggi Primanggalang, mahasiswa Universitas Negeri Malang dalam karya akademiknya
Pembangunan Klenteng dilakukan berdasarkan inisiatif Letnan Kwee Sam Hway. Ia adalah keturunan ke-7 dari Jenderal Dinasti Ming yang pernah berkuasa di Tiongkok. Dalam proses pembangunan klenteng, masyarakat Tionghoa pun turut membantu baik dalam hal tenaga maupun pembiayaan.
Setelah pembangunan selesai, Letnan Kwee Sam Hway pun didaulat menjadi ketua pengurus Klenteng Eng An Kiong sejak tahun 1842 hingga 1863. Jabatan ini lalu turun temurun diwarisi oleh kedua putranya.
Putra pertama, Letnan Kwee Sioe Ing menjadi ketua klenteng sejak 1864 hingga 1880. Setelahnya, klenteng dipelihara oleh adiknya, Letnan Kwee Sioe Go mulai 1880 hingga 1889. Cerita ini dapat diketahui dari buku kenang-kenangan kirab ritual dan budaya Klenteng Eng An Kiong.
Periode setelahnya, kepemimpinan pengurus Klenteng Eng An Kiong beralih dari letnan ke letnan yang diikuti berbagai pembangunan dan penambahan ruangan. Seperti pada masa kepemimpinan Letnan Han Shi Tai pada tahun 1897 hingga 1903 yang melakukan penambahan ruangan. Selanjutnya kepeminpinan dipercayakan pada Letnan The Boen Kik mulai 1904 hingga 1914 dan berlanjut ke Letnan Tan Kik Djoen pada 1914 hingga 1920.
Renovasi Klenteng oleh para Letnan dan Dermawan
Bangunan klenteng pun sempat mengalami renovasi beberapa kali. Catatan renovasi pertama pernah dilakukan pada tahun 1912 dibawah kepemimpinan Tok Tjay Sing. Renovasi kedua dilakukan oleh Pat Kwa Teng yang membangun altar Bie Lik Hud pada 1966.
Gerbang klenteng pun tak lepas dari pemugaran. Tercatat gerbang Klenteng Eng An Kiong pernah dipugar pada tahun 1978. Sejarah ini dapat diketahui dari tahun yang tertulis pada gerbang sebagai bukti peresmian saat itu.
Adanya peresmian gerbang klenteng menunjukkan bahwa Pemerintah Indonesia periode tersebut masih membolehkan dan menghormati kebebasan beragama. Walau demikian, kondisi klenteng saat ini masih sederhana dan tak jauh berbeda dengan kondisi tahun 1968.
Arsitektur bangunan Klenteng Eng An Kiong
Saat awal berdiri, Klenteng Eng An Kiong dibangun dengan gaya arsitektur khas Tionghoa, lengkap dengan ornament-ornamennya. Namun selama perjalanan klenteng, terjadi akulturisasi budaya yang juga teradopsi pada beberapa sudut Klenteng.
Misalnya saja penambahan kuda-kuda bangunan yang identik dengan bangunan eropa dengan bentuknya seperti segitiga. Sedangkan rancangan bergaya Cina biasanya berbentuk persegi panjang yang bertumpuk dari bawah ke atas.
Adanya akulturasi budaya Eropa ditemukan pada bangunan baru yang belum ada pada awal berdiri. Bangunan awal yang berisikan ruang-ruang suci utama dan samping yang digunakan untuk beribadah hampir tak berubah dan memang memiliki gaya arsitektur khas Tionghoa.
Kuda-kuda yang merupakan akulturasi dari kebudayaan lain diletakkan di sela-sela bangunan suci utama dan ruang samping atau bangunan tambahan lainnya. Secara fisik, bangunan klenteng pada umumnya terdiri dari empat bagian, yaitu halaman depan, ruang suci utama, bangunan samping, dan bangunan tambahan.
Prasasti di beberapa sudut bangunan Klenteng Eng An Kiong Malang
Bila Anda penasaran tentang sejarah berdirinya Klenteng Eng An Kiong, maka pergi langsung ke klenteng yang berlokasi di Jalan Martadinata Kota Malang. Setelah tiba disana, cobalah untuk berkeliling dan meminta informasi pada pengurus yang ada.
Bukti pembangunan dan renovasi di klenteng tersebut ternyata selalu dicantumkan pada bangunan. Terdapat beberapa prasasti yang berisi nama-nama masyarakat yang menjadi donator dan para dermawan yang membantu pembiayaan pembangunan.
Nasib Etnis Tionghoa pada Masa Orde Baru
Pengelompokan pemukiman berdasarkan etnis atau yang dikenal dengan undang-undang “Wijkenstelsel” oleh Pemerintah Belanda tak hanya mempengaruhi pola perkembangan bangunan milik etnis Tionghoa.
Pasca kemerdekaan, tepatnya saat masa rezim orde baru berkuasa, pengurus Klenteng Eng An Kiong sempat mengalami masalah perizinan saat akan melakukan pemugaran dan renovasi bangunan. Hal ini bisa diketahui dari munculnya Inpres No. 14 tahun 1967 yang mengatur tentang agama, kepercayaan dan adat.
Tak hanya itu, pada 1966 muncul peraturan peraturan yang mewajibkan warga Tionghoa merubah namanya menjadi nama umum masyarakat Indonesia. Alasaanya demi pembentukan karakter nasional yang salah satunya lewat nama.
Hal ini turut dilakukan oleh para ketua pengurus Klenteng Eng An Kiong. Nampak dalam catatan adanya nama Kusuma Rahardjo yang menjadi ketua pada 1977 hingga 1978. Lalu diikuti Wirianto pada 1978 hingga 1981, Kasworo (1981-1988) dan Seotjipto Tanojo (1988-2000).
Penulis: Imam A. Hanifah
editor: jatmiko