MALANG – Berdiri megah di sebelah utara Alun-alun Kota Malang, Gedung Sarinah selalu penuh dengan pengunjung yang ingin berbelanja, menonton film di bioskop, atau sekedar menyantap hidangan di restoran cepat saji. Sayangnya, selain sebagai pertokoan, tak banyak yang mengetahui tentang seluk-beluk gedung ini.
Selama lebih dari 200 tahun, Gedung Sarinah telah menjadi saksi peradaban masyarakat Malang, dimulai dari zaman penjajahan Belanda hingga sekarang.
Pejalan kaki yang menyusuri trotoar di pjok gedung ini pasti menemukan sebuah palang dengan papan yang berisikan sejarah lengkap gedung Sarinah. Menurut catatan di papan tersebut, sejarah Gedung Sarinah dimulai 200 tahun yang lalu saat menjadi pusat pemerintahan Kabupaten Malang.
Gedung Sarinah pertama kali digunakan pada tahun 1820 sebagai rumah dinas Bupati pertama Malang, Raden Toemenggeong Notodiningrat. Tentunya saat itu gedung ini belum bernama Sarinah. Masyarakat mengenalnya sebagai rumah dinas Bupati atau pendopo.
Di tahun 1839, setelah Raden Toemenggeong Notodiningrat wafat, pusat pemerintahan Kabupaten beralih ke gedung Kantor Bupati yang berada di Jalan H. Agus Salim hingga saat ini.
Gedung tersebut kemudian jatuh ke tangan Belanda dan mereka menjadikannya sebagai gedung pesta bernama Societiet Condordia. Di sinilah tempat kaum elit Belanda berdansa, main biliar, dan bercengkrama.
Pada 25 Februari-5 Maret 1947, Gedung Sarinah yang saat itu bernama Gedung Rakyat menjadi saksi penyelenggaraan Sidang Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) yang dihadiri oleh para pemimpin RI kala itu. KNIP merupakan cikal bakal Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI.
Saat terjadi Agresi Militer Belanda, gedung ini dibumihanguskan sebagai strategi gerilya agar pasukan Belanda tidak masuk kembali ke Malang.
Setelah hampir 20 tahun rata dengan tanah, gedung ini kembali dibangun. Kali ini difungsikan sebagai pusat perbelanjaan modern bernama Sarinah. Nama ini dipilih oleh Soekarno sebagai penghormatan pada pengasuhnya saat kecil yang bernama Sarinah.
Pada tahun 1992, sebuah monumen untuk mengenang sidang KNIP dibangun di sudut gedung yang menghadap ke Gereja Immanuel. Namun pada tahun 2016, monumen tersebut dibongkar karena telah lapuk dan membahayakan pengunjung.
Pembongkaran ini sempat menuai pro dan kontra, namun pihak manajemen gedung bersikukuh agar monumen diganti dengan batu prasasti yang lebih kecil dan lebih mudah perawatannya.
Saat ini bangunan Sarinah masih berdiri kokoh dan tetap bertahan di tengah gempuran mall-mall yang lebih megah dan modern di Kota Malang.
Berikut adalah catatan sejarah gedung Sarinah yang tertulis di papan di sudut gedung:
Berdasarkan Surat Resolusi 31 Oktober 1820, no. 16 (Bupati Soerabaia, 1914) menyatakan bahwa tempat ini rumah dinas Raden Panji Wielasmorokoesoemo setelah diangkat menjadi Bupati Malang dan Ngantang berganti nama menjadi Raden Toemenggeong Notodiningrat.
Jadi, Kantor Kabupaten Malang sebelum berada di lokasi sekarang (H.Agus Salim) awalnya berada di tempat ini sampai tahun 1839 bersamaan dengan wafatnya beliau. Setelah itu, tempat bekas pendopo Kabupaten ini diambil alih oleh Belanda kemudian dijadikan gedung Societeit Condordia, dibangun sebelum tahun 1900 dengan gaya Indische Empire yang bercirikan kolom-kolom Yunani kuno.
Setelah tahun 1914 di mana Malang telah menjadi kotapraja, gedung tersebut dirobohkan dan digantikan dengan model bangunan kolonial modern untuk mengakomodasi kebutuhan tempat rekreasi warga Belanda seperti: meja tempat main kartu, meja bilyard, perpustakaan, gedung pertemuan, dan ice skating di atap yang datar pada saat tertentu dilapisi es (Ong Kian Bie).
Pada tahun 1947 gedung yang pernah dipakai sidang KNIP ini dibumihanguskan dalam rangka strategi perang gerilya dan tahun 1948 gedung ini diratakan dengan tanah kemudian dibangun gedung baru untuk pusat pertokoan pertama di Malang yang sekarang bernama Sarinah.
Nama Sarinah diciptakan oleh Presiden Soekarno yang berarti abdi masyarakat, diharapkan satu-satunya BUMN yang bergerak dalam bidang retail ini langsung mampu melayani masyarakat semaksimal mungkin sesuai dengan namanya.
Reporter: Aisyah Nawangsari Putri
editor: jatmiko