Tugumalang.id – Anak kecanduan gadget dan makanan kurang sehat adalah salah satu persoalan umum yang ingin dijawab oleh Sakola Motekar, komunitas sekolah warga yang berada di Kampung Cibunar, Desa Sukajadi, Kecamatan Sadananya, Kabupaten Ciamis, Jawa Barat.
Sekolah non formal ini memberikan alternatif bagi anak-anak dan warga untuk belajar menyatu dengan lingkungan sosialnya di mana mereka hidup.
“Sejauh ini sekolah terkesan memisahkan anak-anak dari lingkungan sosialnya, gadget membuat mereka jauh dari mainan tradisional kampungnya. Makanan-makanan yang ada juga membuat anak tidak mengenal makanan daerahnya,” kata salah satu pegiat Sakola Motekar, Dani Jamaludin.
Tim “Jelajah Jawa-Bali, Mereka yang Memberi Arti” oleh Tugu Media Group dan PT Paragon Technology and Innovation mengunjungi sekolah non formal tersebut pada Sabtu (3/9/2022).
Tim disambut langsung oleh Dani Jamaludin atau biasa disapa Ebel di depan salah satu sanggar Sakola Motekar. Dia bercerita banyak tentang kisah perjalanan komunitas tersebut sejak berdiri tahun 2018 hingga sekarang.
Berawal dari Kumpulan Maiyahan
Menurut Ebel, cikal bakal Sakola Motekar adalah kelompok yang ikut maiyahan Emha Ainun Najib atau Cak Nun. Nah, para jemaah itu sering berkumpul, berkenalan, dan bertukar pandangan.
“Dari intensitas pertemuan itu, kami lalu membuat sesuatu yang lebih konkrit dan aplikatif,” kata pria asli Ciamis tersebut.
Maka berdirilah Sakola Motekar pada 2018. Motekar (Modal Tekad Kadaek Rampak) berarti kreatif dalam bahasa Sunda. Selain Ebel, pegiat lain yang juga membidani sekolah tersebut ada Deni WJ. Hingga kini, jumlah pegiat yang aktif sekitar lima sampai tujuh orang.
Menurut Ebel, Sakola Motekar membangun sistem belajar yang berbasis pada penyatuan anak dengan lingkungan sosialnya. Beberapa programnya, misalnya pembelajaran dengan mainan tradisional yang digelar setiap hari Minggu.
Anak-anak datang ke lokasi Sakola Motekar, lalu ada yang mendampingi bermain mainan tradisional, misalnya egrang, ludo, prepet jengkol, dan lainnya. Setiap minggunya, permainan selalu baru agar anak antusias. Dengan begitu, mereka lupa dengan gadget. “Anak-anak main bukan sekedar bermain, tetapi juga sambil belajar,” kata dia.
Kemudian, selain permainan anak juga ada edukasi makanan sehat bagi kaum ibu. Edukasi ini meliputi kelas pangan sehat, kelas pekarangan rumah, dan kelas pilah sampah.
“Jadi pada saat anak-anak bermain di hari Minggu, para ibu-ibu jualan makanan sehat dan yang beli ya anak-ank itu,” kata Ebel.
Selain beberapa program tersebut, Sakola Motekar juga punya program Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM). Di mana masyarakat bisa belajar apa saja di situ. Sementara pengisinya dari siapapun yang memiliki keahlian dan bersedia menyedekahkan ilmunya pada warga.
“Di kami warga bisa belajar apa saja. Misalnya, ada wartawan yang datang, ya kita belajar jurnalistik,” kata dia.
Semangat John Lenon
Selain kegiatan rutin tersebut, ada yang menarik di lokasi Sakola Motekar yaitu kutipan lagu John Lenon yang dituliskan di bagian depan Saung Imagine, tempat anak-anak belajar musik.
“You may say I’m a dreamer but I’m not the only one, (kamu boleh mengatakan aku adalah seorang pemimpi, tapi saya tidak sendiri),” demikian kutipan itu.
Menurut Ebel, kutipan lagu John Lenon itu dipakai karena memang terinspirasi dengan gerakan-gerakan yang dilagukan oleh legenda musik dunia asal Inggris tersebut. Bahkan di salah satu dinding saung, ada foto John Lenon warna hitam-putih.
Selain foto, juga berderet alat musik di saung tersebut, mulai dari gamelan, gitar, hingga drum. Alat musik itu yang digunakan oleh komunitas tersebut untuk mengasah keahlian musik dan belajar budaya.
“Kami pernah tampil di acara Cak Nun dan beliau minta kami kalau ada acara di sekitar Ciamis, kami diharapkan bisa ikut mengisi,” ujarnya.
Lalu di sebelah selatan saung ada bank sampah yang digunakan untuk memilah sampah plastik dan organik. Setelah dipilah, sampah plastik dijual lagi ke Bank Sampah Ciamis, sementara yang organik diolah menjadi enzim. “Dari hasil penjualan sampah itu, kami gunakan untuk operasional juga,” katanya.
Sementara di sebelah utara saung, ada gedung kecil lantai dua. Gedung ini dijadikan tempat Yayasan Sarasa (Sanggar Anak Desa). Yayasan ini digunakan apabila berhubungan dengan sesuatu yang formal dan membutuhkan legalitas. “Yayasan itu kami pakai kalau kita perlu legalitas saja. Selebihnya kita merdeka, dan bebas belajar,” lanjutnya.
Dalam kesempatan itu, Ebel juga menjelaskan soal pendanaan. Bahwa Sakola Motekar tak punya sumber pendanaan, selama ini jika butuh dana, disediakan secara gotong royong, kemudian dari hasil sampah. “Di kami tidak ada sumber pendanaannya, memang acaranya warga. Tapi kami selalu yakin pasti ada jalan,” katanya.
Dengan segala keterbatasan itu, Sakola Motekar tetap menggelar kegiatan secara rutin dan gratis bagi warga dan anak-anak. Setiap hari Minggu, sebanyak 20-25 orang anak bermain di halaman Sakola Motekar.
Catatan ini adalah bagian dari program Jelajah Jawa-Bali, tentang Inspirasi dari Kelompok Kecil yang Memberi Arti oleh Tugu Media Group x PT Paragon Technology and Innovation. Program ini didukung oleh Gerakan Wartawan Peduli Pendidikan (GWPP), Pondok Inspirasi, Genara Art, Rumah Wijaya, dan pemimpin.id.
Reporter: Herlianto A
Editor: Lizya Kristanti