Tugumalang.id – Suhu udara terasa semakin panas saja dari hari ke hari. Curah hujan turun tidak seperti biasa. Musim kemarau lalu hujan banyak terjadi di berbagai daerah di Indonesia. Lantaran itu BMKG menyebutnya sebagai kemarau basah. Awal musim penghujan pun berlangsung lebih awal dari biasanya.
Sebaliknya pernah pula musim kemarau berlangsung lebih lama dari biasanya sehingga terjadi kekeringan. Angin siklon tropis yang orang awam menyebut angin puting beliung juga kerap terjadi di berbagai daerah di Indonesia. Suatu ketidaklaziman di Indonesia pada masa lampau mengingat secara teoretis angin siklon tropis biasanya terjadi di sekitar lintang 10o, baik utara maupun selatan.
Berkaitan dengan itu, MGMP Geografi Jatim menggelar Webinar Nasional bertema iklim dan perubahan iklim. Narasumbernya Prof. Dr.rer.pol. Heri Kuswanto, M.Si., seorang guru besar yang masih muda dari Departemen Statistika ITS.
Selain bidang statistik, beliau memiliki lima bidang keahlian lain yang satu di antaranya berkaitan dengan cuaca dan iklim ekstrim. Berikut uraian beliau yang juga bertugas sebagai Peneliti di Pusat Penelitian Mitigasi Bencana dan Perubahan Iklim Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya.
Iklim didefinisikan sebagai ukuran rata-rata dan variabilitas kuantitas yang relevan dari variabel tertentu (seperti temperatur, curah hujan atau angin), pada periode waktu tertentu, yang merentang dari bulanan hingga tahunan atau jutaan tahun.
Perubahan iklim itu terjadinya perubahan jangka panjang pada pola (pattern) temperatur dan variabel cuaca lainnya. Iklim berubah secara terus menerus karena interaksi antara komponen-komponennya dan faktor eksternal seperti erupsi vulkanik, variasi sinar matahari, dan faktor-faktor disebabkan oleh kegiatan manusia seperti misalnya perubahan pengunaan lahan dan penggunaan bahan bakar fosil.
Salah satu indikator dari perubahan iklim di Indonesia adalah terjadinya ketidak-normalan (anomali) suhu udara rata-rata yang trennya terus naik. Dari catatan penelitian beliau, terjadi anomali suhu udara rata-rata tahunan yang terekam di 91 stasiun pengamatan BMKG mulai tahun 1991 sampai Desember 2020 dengan penurunan suhu udara terendah sebesar -0,5o pada tahun 1994 dan kenaikan suhu udara tertinggi sebesar 0,8oC pada tahun 2016. Sedang anomali suhu rata-rata tahun 2020 naik 0,7oC dari suhu udara rata-rata sebesar 27,3oC. Rata-rata temperatur di permukaan Bumi dipengaruhi oleh efek rumahkaca. Kenaikan suhu udara yang ada sudah banyak mempengaruhi permukaan Bumi dan kehidupan yang ada.
Dampak perubahan iklim di Indonesia: Suhu yang lebih panas/hangat; Pergeseran musim;
Meningkatnya kejadian ekstrim (hujan lebat, kekeringan yang berkepanjangan, badai, dsb);
Naiknya permukaan air laut Dsb.
Fakta perubahan iklim meliputi:
- Kenaikan suhu global sejak 1950 banyak disebabkan oleh aktifitas manusia
- Rata-rata suhu di Bumi ditentukan oleh efek rumahkaca (greenhouse effect)
- Kenaikan suhu global sebesar 1oC telah terjadi sejak satu abad yang lalu
- AS menjadi penyumbang karbondioksida (CO2) terbesar kedua di atmosfer kita
- Es di laut Artik dan gletsyer mencair
- Diduga rata-rata permukaan air laut naik antara 0,5m sampai 1,5m pada akhir abad
- Kerusakan hutan merupakan penyebab penting pelepasan karbondioksida
- Terumbu karang menjadi rusak
- Kenaikan suhu global mengakibatkan penduduk sulit beradaptasi, dan beberapa spesies punah.
Cara yang bisa dilakukan untuk menekan dampak buruk perubahan iklim dengan melakukan mitigasi dan adaptasi, yakni melakukan pencegahan agar efek dari perubahan iklim ini tidak lebih buruk lagi. Mitigasi itu merupakan tanggung jawab bersama. Arah mitigasi ini pada pengurangan emisi. Apa yang bisa dilakukan dalam mitigasi?
Menyelenggarakan transportasi yang sustainable; Konservasi energi; Menggunakan energi yang efisien; Menggunakan energi yang dapat diperbarui; Mengganti kendaraan yang efisien bahan bakar; Menangkap dan mencerna gas limbahan;
Sedangkan adaptasi perubahan iklim yang bisa kita lakukan:
Memperbaiki infrastruktur: saluran air dan selokan di tepi jalan
Melakukan program tempat tinggal, misalnya rumah tahan badai, banjir dll
Program kesehatan: barat sungai Nil, kebijakan membuat ruang berteduh, pusat-pusat kegiatan yang sejuk, siaga kabut asap, indeks kualitas udara sehat; Kedaruratan dan rencana usaha yang kontinyu; Bantuan untuk masyarakat rentan.
Sehubungan dengan uraian di atas, Prof. Heri Kuswanto juga memaparkan enam langkah cegah perubahan iklim dari BMKG yang bisa dimulai dari diri kita sendiri, yakni:
- Beralih dari penggunaan kendaraan bermotor pribadi menjadi kendaraan umum, bersepeda, atau berjalan kaki.
- Mengurangi penggunaan plastik, bisa dimulai dengan membawa tas belanja sendiri, dan membawa botol minuman sendiri.
- Menghemat penggunaan energi listrik di rumah, seperti dengan mematikan alat elektronik saat tidak dibutuhkan.
- Hindari membakar sampah, serta membuang sampah pada tempatnya dan dipilah sesuai jenisnya.
- Mengurangi pemakaian gas aerosol yang banyak terdapat di pengharum ruangan, deodorant, obat anti serangga, cat, pembersih perabotan, dll.
- Mulai menanam pohon di halaman atau pekarangan rumah.
Selanjutnya beliau memaparkan tentang Paris Agreement yang merupakan sebuah perjanjian legal internasional terkait perubahan iklim (2015). Tujuannya untuk membatasi pemanasalan global di bawah 2oC (diusahakan 1.5oC) dibandingkan level pra-industri. Untuk mencapai tujuan jangka panjang ini, negara-negara bertujuan mencapai puncak global dari greenhouse gas emission secepat mungkin untuk mencapai kondisi iklim yang netral pada pertengahan abad (2050).
Bagaimana perkembangan yang terjadi? The Emission Gap Report 2021 yang dirilis UNEP menunjukkan bahwa perjanjian-perjanjian baru nasional dikombinasikan dengan ukuran mitigasi yang lain menempatkan Bumi di track untuk kenaikan temperatur global secara fantastis sebesar 2.7°C pada akhir abad ini yang dampaknya sangat signifikan terhadap kehidupan manusia. Ini jelas di atas target Paris Agreement dan akan menjadi isyarat pada perubahan katastropik (malapetaka) dalam iklim Bumi.
Skenario yang dijalankan:
Para peneliti atau pemodel yang berkecimpung dalam permodelan iklim itu membuat suatu proyeksi ke depan terkait dengan konsentrasi gas rumahkaca yang disebut Representative Concentration Pathway (RPC) adalah trayektori konsentrasi gas rumahkaca yang diadopsi oleh IPCC.
Empat jalan (pathway) yang telah digunakan untuk permodelan dan riset iklim untuk IPCC Fifth Assessment Report (AR5) tahun 2014.
Empat jalan (pathway) mendeskripsikan iklim ke depan yang berbeda-beda, tergantung dari volume greenhouse gases (GHG) emitted in the years to come.
The RCPs – aslinya RCP2.6, RCP4.5, RCP6, and RCP8.5 – dilabeli menurut kemungkinan range nilai radiative forcing tahun 2100 (2.6, 4.5, 6, and 8.5 W/m2).
Perlu menjadi perhatian bersama bahwa:
Pola iklim mendatang sulit diprediksi, terutama radiative forcing masa depan dari greenhouse gases.
Hal ini karena emisi gas bergantung pada banyak asumsi dan faktor ketidakpastian misalnya jumlah populasi manusia, penggunaan bahan bakar karbon sebagai sumber energi, perkembangan teknologi, perkembangan ekonomi, dsb.
Skenario iklim biasa dipakai dasar “impact analysis”. Output dari skenario iklim ini biasa disebut General Circulation Model (GCM) yang dapat menghasilkan banyak variabel dengan resolusi temporal yang tinggi (sampai jam). Resolusi spasial dari GCM biasanya terlalu rendah untuk “impact study”, oleh sebab itu perlu dilakukan downscaling.
Statistical Downscaling berkaitan dengan penelitian beliau. Pengembangan hubungan statistik antara variable iklim lokal dengan pembuat prakiraan skala besar. Bisa mendapatkan informasi dari data GCM. Downscaling prinsipnya menggunakan informasi-informasi dari variabel-variabel iklim untuk mendapatkan data beresolusi tinggi yang bisa menggambarkan kondisi di lapangan.
Analisis dampak (impact analysis) adalah menganalisis kondisi iklim pada suatu locus atau area tertentu (regional/lokal). Misalkan fokus tentang kondisi iklim lokal di Indonesia. Analisis dampak menggunakan data dengan resolusi tinggi hasil downscaling. Biasanya kita lihat kalau terkait dengan perubahan iklim itu misalkan pada 50 tahun ke depan kira-kira kondisi iklim di Indonesia itu seperti apa terkait dengan kekeringan, hujan lebat atau hujan ekstrim, dsb.
Berikut diperkenalkan Solar Radiation Management (SRM) atau solar geoengineering Geoengineering merujuk pada teknologi yang dapat memanipulasi lingkungan dan sebagian perngaruh dari perubahan iklim. SRM merupakan supplemen terhadap upaya mitigasi yang sudah ada (pengurangan emisi), bukan menggantikan. Geoengineering secara garis besar dibagi menjadi dua: Carbon Dioxide Removal (CDR) dan modifikasi albedo atau pemantulan kembali sinar Matahari.
Perbedaannya, carbon geoengineering menghilangkan karbondioksida dari atmosfer yang merupakan akar pernyebab perubahan iklim, sedang solar geoengineering merefleksikan sedikit bagian dari sinar Matahari ke angkasa atau meningkatkan jumlah radiasi Matahari yang dipantulkan kembali ke angkasa untuk mendinginkan Bumi.
Apabila aktifitas kita masih berjalan seperti sekarang, maka suhu di permukaan Bumi bisa naik 5oC di tahun 2100 seperti yang telah disampaikan di atas. Dengan penggunaan solar geoengineering, maka kenaikan suhu tidak pernah mencapai 2oC sampai tahun 2100.
Ada dua teknologi yang cukup populer terkait dengan solar geoengineering ini, kesatu: Stratospheric aerosol injection (SAI).
SAI dilakukan dengan menyebarkan partikel reflektif yang sangat kecil, seperti aerolos-aerosol sulfat atau kalsium karbonat di atas atmosfer dimana partikel tersebut akan bisa memantulkan sinar Matahari ke angkasa. Ide awalnya erupsi gunung berapi yang meluncurkan berjuta ton partikel ke stratosfer. Munculnya ide ini ketika terjadi erupsi gunung Pinatubo. Partikel ini mampu memantulkan kembali sebagian kecil sinar Matahari yang masuk ke Bumi selama dua tahun.
Teknologi solar geoengineering yang kedua adalah Marine Cloud Brightening. Idenya mencerahkan awan laut untuk memantulkan sinar Matahari kembali ke angkasa.
Area lautan yang luas ditutupi awan laut stratus. Awan yang lebih putih, lebih cerah mampu memantulkan sinar Matahari lebih banyak ke angkasa, dan membantu mendinginkan Bumi, hanya jangkauanya tidak seluas SAI.
Apakah Solar Radiation Management (SRM) berbahaya? Saat ini, masih menjadi perdebatan yang sangat kontroversial, karena beberapa orang atau organisasi menyatakan berbahaya sekali, menyemprotkan partikel-partikel kimia di angkasa. Apakah berpengaruh terhadap kesehatan dan sebagainya? Masih banyak penelitian untuk membuktikan pertanyaan apakah SRM ini cukup berbahaya atau tidak yang ujungnya nanti diharapkan adanya konsesi apakah SRM ini bisa dilakukan atau tidak. Saat ini, posisinya masih dalam skala laboratorium. SRM berpotensi akan sangat membantu atau sangat berbahaya, namun kita belum cukup bukti untuk memutuskan apakah seharusnya menggunakan atau menolaknya. Masih perlu pembicaraan global tingkat tinggi untuk ini.
Studi-studi terkait analisis dampak akan menjadi referensi sebagai “bukti ilmiah” apakah SRM baik atau tidak.
DECIMALS (Developing Country Impacts Modelling Analysis for SRM) adalah proyek yang mendukung penelitian-penelitian yang dilakukan oleh Prof. Heri Kuswanto dan para peneliti lain dalam kaitannya dengan perubahan iklim. Ide dan penelitian tentang solar geoengineering berasal dari negara-negara maju seperti AS, Inggris, China, dsb. yang melibatkan peneliti-peneliti di negara berkembang untuk ikut andil dalam penelitian SRM. DECIMALS bukan untuk mendukung atau menolak SRM.
Dampak keruangan SRM di Indonesia:
SRM mampu menurunkan temperatur lebih bagus dibanding RCP. Terkait dengan anomali suhu, sebagian besar wilayah akan menjadi lebih panas, namun sebagian kecil wilayah menjadi lebih dingin, antara 0,2oC sampai 0,6oC seperti di Papua dan Nusa Tenggara. Kalau di Jawa masih hampir sama.
Peneliti-peneliti di barat sangat getol melakukan eksperimen. Universitas Harvard memiliki suatu proyek yang disebut Scopex (Stratospheric Controlled Perturbation Experiment). Merekan sedang mendesain suatu alat (balon udara) yang diinginkan bisa untuk mentransport material yang akan disemprotkan di atmosfer, termasuk juga ada fungsi penyemprotan. Jadi bukan dilakukan dengan pesawat untuk kegiatan tersebut.
Tahun 2019, Prof. Heri Kuswanto ditunjukkan bahwa alat tersebut belum jadi 100%. Mereka masih dalam tahap perhitungan optimasi, dsb. Mereka terus bergerak dengan ide ini untuk melakukan segala sesuatu yang harapannya SRM itu bisa diaplikasikan terlepas dari banyak sekali adanya kontoversi (Iswahyudiharto).(*)