Malang, Tugumalang.id – Para peneliti mahasiswa yang tergabung dalam Lembaga Kajian Ekologi dan Konservasi Lahan Basah (ECOTON) mengungkap peningkatan suhu air di Sungai Brantas selama beberapa tahun terakhir hingga 2024. Kondisi tercemarnya air sungai ini bahkan menyebabkan sejumlah jenis plankton dan ikan yang penting dalam ekosistem sungai mengalami kepunahan.
Koordinator Tim Peneliti Ecoton Tasya Husna mengatakan berdasarkan hasil berdasarkan data penelitian yang dilakukan oleh Ecoton dari tahun 1994 sampai tahun 2024 menunjukkan terjadinya peningkatan suhu air sungai Brantas.
Tasya menyebutkan bahwa pada 4 tahun terakhir sejak 2020 suhu air sungai Brantas mencapai titik terpanas yang belum pernah terjadi yaitu 34 C pada tahun 2024 dan 31,57 C pada tahun 2022. Padahal pada periode 1994-2004 Suhu terpanas 29.60C dan periode 2007-2013 suhu terpanasnya 29.450C.
“Kenaikan suhu di air sungai akan mengakibatkan penurunan pH air atau menyebabkan air semakin asam dan penurunan kadar oksigen terlarut dalam air yang mengakibatkan matinya plankton-plankton sensitif yang pada gilirannya mendorong percepatan kepunahan ikan air tawar,” beber Tasya.
Situasi tersebut diperparah dengan temuan sejumlah jenis plankton baik mengalami kepunahan. Berdasarkan hasil identifikasi plankton (zooplankton dan fitoplankton) yang dilakukan menemukan lebih banyak jenis fitoplankton dalam Sungai Brantas Area Gresik dan Surabaya daripada zooplankton.
Baca Juga: Kemarau Panjang, Debit Air di Hulu Sungai Brantas Tetap Mengalir
Tasya mengatakan ada sebanyak 79,42 persen plankton yang hidup di sungai tersebut merupakan jenis plankton yang tahan terhadap polutan tinggi dengan jumlah 3 terbanyak dari golongan fitoplankton seperti jenis Eunotia sp., Fragilaria sp. dan Oscillatoria sp.
”Jika terlalu banyak fitoplankton, air dapat menjadi keruh dan mempercepat terjadinya blooming algae. Sedangkan hanya 20,57 persen yang merupakan plankton sensitif terhadap pencemaran,” paparnya.

Peningkatan suhu air ini ditengarai oleh aktivitas pembuangan limbah cair yang tak terkendali, baik dari industri dan pemukiman warga. Polutan limbah cair menyebabkan peningkatan 10 kali lipat sumbangan emisi gas rumah kaca dari sungai ke atmosfer yang menyebabkan bumi makin panas.
“Pemanasan bumi ini menyebabkan suhu air meningkat pada gilirannya mendorong kepunahan biota dalam air sungai. Saya kira diperlukan upaya penegakan hukum bagi industri pencemar dan masyarakat yang memanfaatkan sungai sebagai tempat sampah,” tegas Tasya.
Jika situasi tersebut tak segera diantisipasi, muncul kekhawatiran semakin tingginya potensi kerusakan ekosistem. Artinya, jenis plankton yang sensitif saja punah, begitu juga keberlangsungan hidup plankton yang toleran juga akan terancam apabila pencemaran terus terjadi.
Diketahui, plankton merupakan sumber makanan utama bagi banyak organisme akuatik, seperti ikan kecil, krustasea, dan cumi-cumi. Jika plankton hilang, akan terjadi gangguan pada rantai makanan yang berimplikasi mempengaruhi sumber daya makanan manusia. Ikan dan makanan laut lain yang dikonsumsi manusia bergantung pada plankton sebagai sumber makanannya.
Baca Juga: Jaga Masa Depan Sumber Air, Ratusan Orang Turun Susuri dan Bersihkan Sungai Brantas Kota Batu
Data tahun 2019 mengungkapkan bahwa Indonesia menduduki nomor 2 kepunahan ikan tertinggi setelah Philipina. Hal ini salah satunya diakibatkan karena berkurangnya makanan ikan, yaitu plankton.
Selain itu, penelitian uji kualitas air yang dilakukan sepanjang 2024 oleh Ecoton membuktikan bahwa terdapat beberapa parameter yang melebihi baku mutu kualitas air sungai Brantas berdasarkan PP No 22 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Berdasarkan tabel tersebut diketahui terdapat 6 parameter yang menandakan kualitas air di Sungai Brantas area Gresik dan Surabaya melebihi dari baku mutu kualitas air sungai.
Pembuangan limbah dari berbagai aktivitas industri dan manusia yang menyumbang kandungan karbon (C) dan Nitrogen (N) dalam limbah menyebabkan peningkatan aktivitas mikroorganisme dalam membentuk gas rumah kaca seperti karbon dioksida, gas metana, dan dinitrogen oksida.
”Gas-gas yang terbentuk ini akan terlepas dari sungai dan berkumpul di atmosfer yang menyebabkan peningkatan suhu bumi,” ungkap Tasya.
Atas hasil penelitian tersebut, pihaknya berharap sejumlah pihak berwenang yang terkait mulai aktif meningkatkan kepedulian terhadap ekosistem sungai dengan mengurangi beban pencemaran air. Dalam hal ini, dibutuhkan peran pemerintah dalam melakukan pengawasan pembuangan limbah ke sungai baik dari perusahaan maupun rumah tangga.
Pihaknya juga merekomendasikan pembangunan fasilitas IPAL secara komunal di area pemukiman untuk mengolah limbahnya. Untuk memutus rantai pencemaran, sebaiknya perusahaan yang membuang limbah ke sungai melebihi baku mutu air limbah harus ditindak tegas.
“Ini agar kualitas sungai tetap terjaga dan sekaligus mengurangi sumbangan gas yang menyebabkan perubahan iklim di bumi,” tegasnya.
Baca Juga Berita Tugumalang.id di Google News
Reporter : M Ulul Azmy
editor: jatmiko