Husnul Hakim*
Tindakan memerangi korupsi di Indonesia mulai ditunjukan dengan banyaknya pengungkapan terhadap perkara korupsi. Menurut Tren penindakan kasus korupsi yang diselenggarakan oleh Indonesian Corruption Watch (ICW) tahun 2020, setidaknya terdapat 120 kasus korupsi yang telah ditangani oleh KPK.
Pemerintah Indonesia menggunakan dua strategi dalam menanggulangi kejahatan yang berdampak pada kemiskinan, ketimpangan, buruknya pelayanan publik, ketidakadilan, terhambatnya investasi serta dampak lainnya tersebut yaitu yang pertama strategi preventif atau pencegahan terhadap tindakan korupsi dan yang kedua upaya represif atau penindakan kasus korupsi.
Kenyataanya dengan meningkatnya perkara korupsi di Indonesia baik jumlah maupun kualitasnya menandakan bahwa upaya penindakan dari para penegak hukum tidak membuat efek jera ataupun tidak membuat sadar dari para pemangku jabatan untuk bersikap jujur, sehingga pemberantasan korupsi tidak hanya dapat dilakukan dengan upaya penindakan saja karena tidak efektif dalam mengurangi jumlah korupsi. Oleh sebab itu upaya pencegahan perlu dilakukan agar Indonesia dapat terbebas dari kasus korupsi yang sangat merugikan Negara.
Berkaitan dengan melakukan kajian terhadap konflik pencegahan korupsi, tentu saja harus dipetakan terlebih dahulu apa saja yang menjadi faktor penyebab supaya langkah pencegahan yang diterapkan dapat sesuai dengan sasaran. Tim Kajian SPKN Badan Pengawas Keuangan serta Pembangunan tahun 2002 menyatakan ada beberapa faktor penyebab perilaku korupsi diantaranya yaitu:
- Aspek Sikap Individu yang merupakan faktor internal yang mendasari sikap individu dalam melakukan korupsi seperti sifat serakah, tamak, moralitas yang masih lemah dalam menghadapi godaan, pendapatan yang kurang mencukupi untuk kebutuhan hidup, gaya hidup yang konsumtif, sifat malas dalam bekerja serta tidak menerapkan ajaran ajaran agama secara benar
- Aspek Sistem Organisasi seperti kurang adanya sikap keteladanan dari seorang pemimpin, budaya organisasi yang kurang tepat, sistem akuntabilitas yang kurang memadai, lemahnya sistem manajemen pengendalian di organisasi, kurang adanya keterbukaan atas tindakan koruptif di organisasi
- Aspek Masyarakat yang berkaitan dengan budaya masyarakat dimana lingkungan tempat individu berada tidak terdapat nilai-nilai yang kondusif untuk terjadinya tindakan korupsi, tidak adanya kesadaran di masyarakat bahwa kerugian utama dalam praktik korupsi adalah masyarakat sendiri. Pentingnya pemberantasan dan pencegahan korupsi hanya akan berhasil jika masyarakat turut serta berperan aktif mengawal, selain itu adanya penyalah artian pengertian dalam budaya di indonesia.
- Aspek Peraturan Perundang-Undangan yang bersifat monopolistik yang hanya menguntungkan kerabat atau kolega dan kroni penguasa saja, kualitas peraturan perundang-undangan yang kurang memadai, adanya judical review yang tidak efektif, penjatuhan hukuman atau sanksi yang terlalu meringankan, penerapan hukuman yang tidak konsisten dan terkesan pandang bulu, serta lemahnya bidang evaluasi dan revisi peraturan perundang-undangan.
Penyebab terjadinya korupsi salah satunya juga terjadi akibat budaya birokrasi dan kualitas moral pejabat yang berwenang kurang memadai dan juga ditunjang oleh budaya masyarakat yang menginginkan jalan pintas disambut oleh kualitas moral pejabat yang rendah sehingga kebiasaan tersebut dijadikan sesuatu hal yang lazim dan biasa terjadi di masyarakat. Hal tersebut menjadikan ladang subur bagi tumbuh kembangnya kasus korupsi.
Landasan Falsafah pancasila yang terdapat pada pemerintahan yang baik menjadi penawaran satu-satunya dalam mencapai tujuan kesejahteraan rakyat Indonesia, karena dengan adanya pemerintahan yang baik, kesejahteraan rakyat akan terpenuhi.
Beberapa prinsip pemerintahan yang baik menjadi pijakan untuk 12 badan atau pejabat (administrasi) negara dalam rangka membentuk aturan hukum yang baik yang dapat digunakan sebagai instrumen pada mencapai kesejahteraan rakyat yang menjadi tujuan utama dalam sebuah negara (badan atau pejabat negara).
Dalam pemerintahan, selain harus baik pemerintah juga harus bersih (clean government). Penyelenggaraan pemerintah yang bersih, setidaknya harus memenuhi asas sebagai berikut, (i) asas kepastian hukum; (ii) asas tertib penyelenggara negara; (iii) asas kepentingan umum; (iv) asas keterbukaan; (v) asas proporsionalitas, seimbang antara hak dan kewajiban dari penyelenggara Negara; (vi) asas profesionalitas; dan (vii) asas akuntabilitas.
Azas-Azas Umum Pemerintahan Yang Baik (AAUPB) sering dikaitkan dengan good government. Pelaksanaan AAUPB merupakan ciri-ciri daripada penyelenggaraan pemerintahan yang bersih dan transparan. AAUPB sudah dijadikan sebagai ukuran dalam memberikan penilaian terhadap tindakan pemerintah khususnya pada Pengadilan tata Usaha Negara.
Beberapa Putusan Pengadilan Tata Usaha (PTUN) menjabarkan tentang penyelenggaraan good government antara lain larangan dalam penyalahgunaan wewenang, perbuatan sewenang-wenang, azas persamaan, azas kecermatan, azas kepastian hukum, azas pelayanan yang baik dan azas keterbukaan. Sampai pada diberlakukannya Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan yang diantaranya mengatur tentang AAUPB.
Dalam proses pemberantasan tindak pidana korupsi, tentunya bukan hanya bagaimana agar korupsi dapat terhapus atau bukan hanya bagaimana menuntut pelakunya ke persidangan, akan tetapi yang seharusnya dilakukan adalah bagaimana melaksanakan kewajiban sesuai dengan hukum administrasi sebagaimana mestinya. Jika hukum administrasi dapat dijalankan dengan sebagaimana mestinya, maka tindakan korupsi dengan sendirinya akan hilang. Dalam pemerintahan, yang menjadikan kekhawatiran para pejabat dalam bekerja saat ini adalah godaan untuk melakukan tindakan yang menyalahartikan wewenang sehingga terjerat kasus korupsi.
Ketakutan pejabat pemerintahan tersebut terjadi pada saat proses pengambilan keputusan yang beresiko meskipun dapat dihilangkan jika pejabat pemerintahan bekerja sesuai dengan tugas, wewenangnya serta tanggung jawab sebagaimana mestinya dan tidak melakukan penyalahgunaan wewenang. Jika terjadi kasus korupsi, uUntuk menuntut seorang terdakwa dalam tindak pidana perkara korupsi, salah satu unsur pasalnya adalah sifat melawan hukum baik yang secara eksplisit maupun secara implisit yang tertuang dalam suatu pasal.
Menurut (Patiro, 2012) unsur melawan hukum merupakan sesuatu yang mutlak yang harus ada dalam suatu tindak pidana agar pelakunya dapat dituntut di persidangan. Kemudian berkaitan dengan perbuatan melawan hukum dari aspek hukum administrasi menurut pendapat (Minarno, 2011) menyatakan bahwa perbuatan melawan hukum oleh pejabat hanya berupa penyalahgunaan wewenang yang tidak selamanya perbuatan penyalagunaan wewenang dapat dipandang sebagai perbuatan melawan hukum.
Didalam kasus tindak pidana korupsi unsur penyalahgunaan wewenang adalah speciesnya sedangkan unsur melawan hukum merupakan genusnya, sehingga setiap perbuatan penyalahgunaan wewenang sudah pasti melawan hukum. Dalam pemeriksaan di Pengadilan, apabila terdapat unsur delik pada Pasal 3 UU PTPK tidak terbukti, dengan demikian Pasal 2 UU PTPK sudah tidak perlu dibuktikan lagi. Karena dalam unsur penyalahgunaan wewenangnya tidak terbukti maka secara mutatis mutandis unsur melawan hukum juga tidak terbukti (Saputra, 2015).
Mengacu pada pendapat tersebut, dalam pencegahan terjadinya tindak pidana korupsi, yang harus dilakukan adalah menjamin penyelenggaraan pemerintahan yang baik, bersih sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan AAUPB. AAUPB dalam kehadirannya diakui sebagai hukum yang tidak tertulis seperti yang tertuang dalam penjelasan UUD 1945, dalam pelaksanaannya dapat dilaksakan oleh pengadilan. Beberapa putusan pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) menguji sebuah keputusan tata usaha negara dengan AAUPB. Sehingga dengan demikian AAUPB diakui sebagai salah satu sumber Hukum Administrasi Negara.
Puncak kekuasaan pemerintah daerah dan pemerintah pusat diperoleh melalui proses politik, yaitu melalui Pemilihan Umum atau Pemilihan Umum Kepala Daerah. Pejabat yang telah menduduki jabatan tertinggi di daerah maupun di pusat seharusnya bisa menjadi teladan bagi pejabat di bawahnya dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat, sehingga pejabat merupakan “pelayan” bagi masyarakat bukan sebagai raja yang berkuasa dan sewenangwenang terhadap rakyatnya.
Proses politik untuk menjadi pemimpin (kepala daerah dan presiden) merupakan sebuah proses yang dapat dikatakan cukup mahal, sedangkan gaji setelah terpilih dan menjabat tidak akan mungkin dapat mengembalikan biaya yang telah dikeluarkan dalam pembiayaan proses kampanyenya. namun demikian, jabatan tersebut bukanlah jalan untuk mendapatkan kembali “modal” yang telah dikeluarkan, terlebih mendapatkan keuntungan.
Pejabat tersebut terpilih karena kedudukan, wewenang dan kesempatan yang ada pada jabatannya dan sangat berpotensi disalahgunakan untuk kepentingan pribadi, keluarga atau kelompoknya sendiri. Sehingga dalam melaksanakan wewenangnya itu, diperlukan rambu-rambu agar pemerintahan tetap berjalan baik untuk kepentingan masyarakat, bangsa dan negara.
Masyarakat sebagai pengguna dari pelayanan yang diberikan Pejabat, harus memiliki pengetahuan yang cukup tentang apa yang menjadi hak-haknya sebagai warga masyarakat. Pengetahuan dan kesadaran hukum masyarakat juga penting agar masyarakat sendiri juga mentaati prosedur dalam mendapatkan pelayanan dari pemerintahan.
Disisi lain pengetahuan ini diperlukan agar masyarakat juga dapat menjadi pengawas dan menilai kinerja pemerintahan yang berkuasa, serta mengadvokasi dirinya sendiri apabila mendapatkan perlakukan yang tidak seharusnya dari pejabat. Penilaian buruk dari masyarakat terhadap pejabat pemerintahan memberikan pandangan buruk dalam proses politik selanjutnya, oleh karenanya masyarakat tidak memilih pemimpin atau partai politik yang memiliki rekam jejak buruk selama berkuasa.
Namun masyarakat Indonesia memiliki kebiasaan cenderung menjadi individu yang “pemaaf” dan “pelupa” terhadap kesalahan-kesalahan dimasa lalu pemimpinnya. Pejabat atau calon pejabat yang terbukti memiliki rekam jejak kurang baik masih tetap dipilih pada saat pemilihan umum kepala daerah periode berikutnya, seolah olah terhapus begitu saja pengalaman buruk mereka di masa lalu.
Sehingga mengharapkan masyarakat Indonesia dalam memilih pemimpin yang memiliki reputasi yang baik belum sepenuhnya dapat diharapkan. Sehingga diperlukan pendidikan politik kepada masyarakat sampai pada akhirnya muncul kesadaran akan pentingnya memilih pemimpin dengan reputasi dan rekam jejak yang baik untuk dapat melaksanakan good government.
Azas-azas umum penyelenggaraan pemerintahan yang baik (AAUPB) sangat penting dalam memberikan keseimbangan serta arahan dalam hal interpretasi terhadap berbagai peraturan perundang-undangan yang berlaku maupun dalam proses perumusan kebijakan oleh pejabat. Kehadiran AAUPB juga menjadi penting, utamanya jika dikaitkan dengan banyaknya Undang-undang pada masa pemerintahan Orde Baru yang dengan leluasa memberikan kewenangan bebas kepada pemerintah pada waktu itu untuk memberikan interpretasi terhadap pelaksanaan berbagai undang-undang.
Keberadaan AAUPB sebagai penyeimbang dan patokan serta arahan dalam memberikan interpretasi maupun dalam proses perumusan kebijakan dalam melaksanakan wewenang pejabat pemerintahan. AAUPB sebagai patokan bekerja yang memiliki fungsi primer, sehingga AAUPB tidak hanya muncul ketika ada gugatan TUN terhadap keputusan Pejabat, melainkan AAUPB telah ada dan digunakan dalam tindakan dan keputusan yang dibuat oleh Pejabat.
*Universitas Islam Raden Rahmat Malang, Jl. Mojosari Kepanjen Kab.Malang, Indonesia
[email protected]
—
Terima kasih sudah membaca artikel kami. Ikuti media sosial kami yakni Instagram @tugumalangid , Facebook Tugu Malang ID ,
Youtube Tugu Malang ID , dan Twitter @tugumalang_id