Oleh: Muhammad Faishol*
Tugumalang.id – Pemilihan umum (pemilu) 2024 memasuki masa urgen pasca diumumkan secara resmi partai-partai yang lolos menjadi peserta pemilu. Bahkan, mulai awal 2023, seluruh partai peserta pemilu sudah intens dan masif melakukan komunikasi persuasif ke basis-basis konstituen, baik melakukan perjumpaan langsung dengan warga maupun sarana online melalui aplikasi medsos seperti Instagram, Twitter, Facebook, serta kanal-kanal komunikasi warga lainnya.
Semarak politik elektoral semakin meriah. Sudah sepantasnya kita harus meluruskan mindset bagaimana semua stakeholder yang berkepentingan dengan pemilu 2024 tetap menjaga kualitas pemilu kita agar konsolidasi demokrasi kita terjaga dan tetap menuju arah yang baik.
Satu hal yang sangat penting terhubung dengan pemilu berkualitas ialah komitmen calon presiden (capres) untuk turut menghadirkan kualitas kompetisi yang berkualitas dalam konteks keadaban demokrasi. Momentum proses mengusung capres dan cawapres untuk Pemilu 2024 telah memasuki babak krusial.
Proses dan komunikasi politik semakin getol dilakukan untuk menyolidkan berbagai macam opsi dan kepentingan. Secara gradual proses itu mulai dari penjajakan lintas potensi, memalingkan perhatian publik pada sosok capres-cawapres, membangun kesepahaman koalisi untuk melampaui presidential threshold, hingga pada waktu tertentu tercapai mufakat hingga deklarasi koalisi sehingga secara resmi bisa mengusung paket capres-cawapres.
Sampai hari ini, sudah ada tiga nama yang digadang-gadang akan menjadi calon presiden untuk pemilu 2024, yakni Ganjar Pranowo, Prabowo Subianto, dan Anis Baswedan. Meskipun dalam konteks politik, bisa saja nama-nama itu tiba-tiba berubah drastis hingga jelang detik-detik akhir Oktober-November 2023 yang akan menjadi fase klimaks dalam konteks komunikasi dan negosiasi politik.
Tak tertutup kemungkinan, di detik-detik terakhir akan terjadi kejutan yang menggambarkan proses politik belum tentu bersifat linear dengan desas-desus pemberitaan di media. Namun, siapapun nama yang akan menjadi calon presiden, Pemilu 2024 seyogyanya tidak semata-mata melahirkan fantasi-fantasi tak bermakna, tetapi juga harus benar-benar menjadi momentum perbaikan-perbaikan ke arah yang lebih baik. Al-muhafadhotu ‘ala qodimis sholih wal akhdzu bil jadidil ashlah.
Begitu juga dalam konteks pendidikan, lebih khusus terkait apresiasi kelayakan hidup guru. Komitmen dalam “memanusiakan” guru terutama dalam apresiasi finansial atau gajinya menjadi tugas berat yang harus dibereskan oleh semua capres-cawapres yang sudah berani tampil.
Setidaknya, gagasan-gagasan menyejahterakan guru bisa menjadi isu utama dalam komitmennya ke depan. Bukan lagi pepesan kosong, yang menjadikan guru hanya sebagai komoditas politik praktis karena dianggap sebagai pemilih yang potensial mendongkrak suara. Tetapi, setelah terpilih tidak ada realisasi yang nyata.
Kecilnya gaji seorang guru tampaknya sudah menjadi rahasia umum, kadang nominalnya juga tidak manusiawi. Masih banyak guru-guru di daerah yang memiliki gaji hanya Rp. 300ribu-400ribu. Ironisnya, kenyataan seperti itu terus dinormalisasi dengan berbagai dalih.
Salah satu dalih yang paling populer yakni menganggap profesi guru adalah profesi pengabdian. Sehingga, adagium guru tanpa jasa dijadikan senjata ampuh guna membenarkan agar guru terus menanamkan rasa “legowo”, dan tidak pamrih dengan cara tidak melihat nominal gaji, meskipun itu tidak layak.
Polemik ini terus menjadi hal yang sangat menyedihkan untuk bangsa ini. Bagaimana tidak? Guru yang diamanahi tugas berat dalam mencerdaskan kehidupan bangsa, namun sering menjalani kehidupan sehari-harinya dengan tak manusiawi dan tak layak.
Sehingga sering kita dengar, seorang guru berangkat ke sekolah dengan sepatu yang sudah usang dan hampir rusak, seragam yang sudah luntur warnanya, sepeda motor yang sudah tak layak digunakan.
Pada zaman ini penghormatan terhadap guru justru masih menyisakan sekelumit kisah pilu. Bagaimana tidak miris? Banyak guru honorer yang mengaku bahwa jerih payahnya mengajar tidak sebanding dengan penghasilan yang setiap bulan ia dapatkan
Padahal, penggajian guru yang layak telah diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2005 Tentang Guru Dan Dosen. Namun, sayangnya keberadaan undang-undang tersebut belum secara maksimal memberi pijakan percepatan-percepatan dalam upaya “memanusiakan” kehidupan guru.
Dalam konteks Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2005 Tentang Guru dan Dosen juga belum terlihat bisa memberikan kekuatan untuk para guru menuntut haknya. Apalagi guru dianggap belum memiliki “power” yang cukup untuk menuntut hal tersebut.
Sebab, membicarakan gaji dan menuntut kelayakannya gaji seolah-olah akan mencederai niat pengabdian seorang guru. Upaya-upaya “normalisasi” gaji yang tidak layak sudah seharusnya dihilangkan dari mindset kita.
Sehingga, kecilnya gaji yang diberikan, khususnya untuk guru honorer bukan menjadi hal yang lumrah, tidak biasa, dan merupakan sesuatu yang menyedihkan bagi bangsa ini. Sehingga, ketika hal ini dianggap tidak lumrah, maka akan ada inovasi regulasi dengan melakukan program-program percepatan agar kehidupan guru semakin layak dan “manusiawi.”
Pasal 14 Ayat (1) huruf a UU Nomor 14 Tahun 2005 Tentang Guru dan Dosen menyatakan, dalam melaksanakan tugas keprofesionalan, guru berhak memperoleh penghasilan di atas kebutuhan hidup minimum dan jaminan kesejahteraan sosial.
Lebih lanjut dalam pasal 15 ayat 1 menjelaskan, penghasilan di atas kebutuhan hidup minimum sebagaimana dimaksud dalam pasal 14 ayat (1) huruf a meliputi gaji pokok, tunjangan yang melekat pada gaji, serta penghasilan lain berupa tunjangan profesi, tunjangan fungsional, tunjangan khusus, dan maslahat tambahan yang terkait dengan tugasnya sebagai guru yang ditetapkan dengan prinsip penghargaan atas dasar prestasi.
Tulisan ini tentu bukan untuk mengkerdilkan ikhtiar pemerintah dalam proses menyejahterakan guru. Upaya-upaya perbaikan tentu sudah banyak dilakukan pemerintah dengan berbagai program seperti menaikkan status guru honorer menjadi PPPK, tunjangan sertifikasi guru, tunjangan daerah, serta tambahan penghasilan.
Bahkan, beberapa daerah sudah memberikan pagu minimal gaji guru di daerahnya. Namun, kebijakan-kebijakan baik ini belum merata. Maka, berbagai kekurangan inilah yang wajib menjadi komitmen bersama.
Keseriusan partai politik dan capres-cawapres dalam Pemilu 2024 untuk membuat regulasi yang lebih strategis dalam melakukan upaya-upaya percepatan untuk lebih “memausiakan” gaji guru se-Indonesia. Sehingga tidak ada lagi pemberitaan di media yang berjudul “Miris, gaji guru honorer hanya 300ribu” atau “Gaji hanya 250ribu, Guru Honorer di Kabupaten-A, Tidak Bisa Beli Sepatu Baru.”
Walhasil, kami para guru, sedang menanti gagasan serta komitmen serius, yang nantinya akan direalisasikan oleh capres-cawapres dalam Pemilu 2024 untuk melakukan upaya-upaya strategis, percepatan-percepatan rill dalam hal regulasi, serta inovasi-inovasi program khususnya terkait revolusi “memanusiakan” guru di Indonesia.
*Muhammad Faishol, Ketua II PC PERGUNU Banyuwangi sekaligus Mahasiswa Doktoral Manajemen Kependidikan UNNES.
Editor: Herlianto. A