Akhmad Mukhlis*
Ada dua jam pelajaran paling disukai saat sekolah, jam kosong dan pelajaran olahraga.
Entah kapan dan dari mana anekdot tersebut berasal. Namun nyatanya itulah yang terjadi. Saat saya menulis kalimat jam kosong dan pelajaran olahraga di mesin pencarian google, muncul berbagai artikel, berita sampai opini yang menyebutkan kedua hal tersebut valid.
Okelah kalau begitu, mari kita berselancar bersama dalam memori episodik saat masih sekolah. Apa yang kita temukan? Ya! Kebanyakan memang berada di dua momen tersebut. Bercanda gurau saat guru berhalangan hadir serta kejadian-kejadian lucu dan menggemaskan saat berolahraga. Kemungkinan besar kata kunci mengapa kedua momen tersebut menjadi favorit pelajar adalah karena keduanya menjanjikan kegiatan rekreasi, bermain dan kegembiraan.
Tulisan ini tidak hendak menambahi kritik tentang pendidikan kita, yang itu berarti menyebut kedua momen tersebut sebagai sebuah ironi pendidikan. Masak iya, sekolah yang memiliki misi dan kurikulum hanya menyisakan kenangan dalam dua momen yang dianggap paling lemah mewakili misi sekolah.
Target kurikulum jelas bukan berada pada jam pelajaran orahraga, apalagi jam kosong bukan? Mari kita tinggalkan perdebatan tersebut dan mulai melihatnya sebagai hal positif. Caranya bis acara klasik, yaitu dengan menciptakan atmosfer pelajaran lainnya layaknya dua jam favorit tersebut. Terkait car aini, saya rasa telah banyak ulasan dan metode dikembangkan. Atau bisa dengan cara lain, yaitu mulai melihat dan mempertimbangkan pelajaran olahraga atau sekarang disebut pendidikan jasmani, olahraga dan kesehatan (PJOK) bukan hanya sebagai pelajaran sampingan, namun mengintegrasikannya dengan pelajaran lain.
Olahraga, Bermain dan Psikologi
Terdapat lebih banyak hal dalam olahraga daripada gagasan menang dan kalah atau hanya sekedar mengembangkan keterampilan fisik. Dalam sebuah studinya, ahli kinesiologi California State University Matt D. Hoffmann bersama tiga rekannya, menemukan bahwa berpartisipasi dalam olahraga tim dapat bermanfaat bagi kesehatan mental anak-anak dan remaja.
Studi yang diterbitkan tahun 2022 tersebut menyebut bahwa olahraga berkorelasi langsung dengan rendahnya tingkat kecemasan, penarikan sosial dan depresi. Hal yang tidak jauh berbeda dengan studi lain yang dipublikasikan tahun 2021 oleh Harbec MJ dan tiga koleganya.
Penelitian yang diterbitkan dalam Journal of Developmental & Behavioral Pediatrics tersebut menyebut bahwa anak laki-laki yang berolahraga selama masa kanak-kanak memiliki kemungkinan stres emosional, kecemasan dan depresi lebih kecil di kemudian hari dibandingkan dengan anak laki-laki yang tidak berpartisipasi dalam olahraga.
Para ahli juga menegaskan dalam berbagai penelitian bahwa berolahraga atau sekedar bermain-main kecil mengurangi hormon stress (kortisol) dan meningkatkan hormon perasaan baik seperti, endorfin, dan melepaskan asam laktat yang telah terbukti bermanfaat bagi kesejahteraan psikologis.
Ketika seorang anak bermain, dia membuat keputusan, membangun hubungan sosial, merespons dengan tindakan motorik dan menjalani skenario emosional yang unik. Interaksi dari masing-masing dimensi tersebut (kognitif, sosial, fisik, dan emosional) inilah yang dikenal sebagai pedagogi perilaku motorik (pedagogy of motor behaviours).
Inilah mengapa kita memiliki lebih banyak kenangan manis saat berpartisipasi dalam bermain dan olahraga, karena secara langsung aktivitas fisik mengalihkan perhatian kita dari pikiran dan emosi negatif. Jangan heran jika setelah berolahraga atau bermain santai, kita lebih bisa fokus dan produktif.
Bagaimana Dengan Olahraga dan Permainan Tradisional?
UNESCO menyebut olahraga dan permainan tradisional (traditional sporting games/TSG) sebagai salah satu bentuk dari warisan budaya bukan benda (intangible cultural heritage). Oleh banyak ahli TSG sering disebut sebagai permainan olahraga, yang seringkali berakar pada tradisi budaya yang panjang, yang belum diatur oleh otoritas resmi.
Tidak seperti olahraga pada umumnya yang telah memiliki otoritas (seperti FIFA dalam sepak bola) maka aturan permainan tradisional mengandung ciri khas budaya lokal dan menunjukkan keragaman besar yang menjadi ciri warisan rekreasi immaterial.
Aturan yang belum memiliki standar ketat inilah yang menyebabkan permainan tradisional bisa sangat terbuka untuk terus dimodifikasi. Pierre Parlebas, seorang ilmuan olahraga, bahkan menyebut TSG sebagai quasi-games.
Rafael Luchoro-Parrilla memimpin rekan-rekannya telah melakukan penelitian terkait TSG di kepulauan Canary Spayol juga menyebut bahwa fleksibilitas aturan justru hal yang menarik.
Mengapa banyak permainan tradisional yang kita mainkan sejak kecil begitu menyenangkan adalah karena fleksibiltas aturannya. Ini menjadi kabar baiknya, TSG dengan segala kemungkinan modifikasinya tersebut memiliki kecenderungan menjadi olahraga yang dinikmati orang secara rekreatif hingga dewasa.
Di Indonesia sendiri, penelitian terkait TSG terus dilakukan oleh peneliti-peneliti fakultas Kesehatan dan keolahragaan. Salah satunya adalah Toni Kagoya, dosen Institut Keguruan dan Teknologi Larantuka.
Lewat buku yang berjudul Menjaga Identitas, Membangun Cinta Damai yang diterbitkan tahun 2022, Kagoya menyebut bahwa permainan tradisional dapat digunakan materi untuk menumbuhkan nilai karakter seperti kerjasama, kejujuran, gotong royong dan kepedulian.
(Berharap) Peran Baru PJOK
Sudah saatnya kita mengakui bahwa mata pelajaran dalam sekolah memberikan tekanan psikologis kepada pelajar. Oleh karenanya pelajar butuh untuk sekedar rileks dan keluar dari tekanan-tekanan tersebut.
Kemanakah pelajar menemukan hal-hal yang sifatnya rekreatif selama di sekolah? Apakah ke ruang Bimbingan dan Konseling (BK)? Melihat ‘citra’ yang belum begitu bersahabat, saya rasa guru BK sulit untuk memberikan efek rekreatif, apalagi sifatnya massal. Marilah kita menyambut dan berlapang dada menyebut PJOK sebagai ajang rekreatif untuk kesejahteraan psikologi pelajar secara umum.
Dalam kondisi yang tepat, olahraga dan permainan dapat membantu anak-anak mengembangkan keterampilan pribadi dan sosial serta kualitas kewarganegaraan yang akan mereka pertahankan sepanjang hidup mereka.
Guru PJOK harusnya mendapatkan tempat dan peran lebih dalam roda kurikulum. Bisa jadi guru PJOK dan pelajarannya dijadikan katalisator bukan hanya kesehatan fisik, melainkan juga kesejahteraan psikologis pelajar. Status sebagai pengampu mata pelajaran favorit harusnya digunakan sebaik-baiknya juga untuk membantu pelajar menumbuhkan inisiatif dan motivasi belajar.
Saya secara pribadi seringkali menemukan anak saya lebih bersemangat berangkat sekolah saat hari itu ada pelajaran PJOK. Pun begitu saat pulang. Mereka lebih banyak bercerita tentang kegiatannya di sekolah. Namun sayangnya sampai saat ini, PJOK masih menjadi mata pelajaran yang sama di hampir semua sekolah.
Dibatasi dan diakhiri hanya dengan evaluasi nilai 0-100. Gerakan anak-anak saat olahraga adalah bagian dari bagaimana mereka berfikir, mengambil keputusan, bertindak dengan dorongan emosi, dan juga berinteraksi. Dari sanalah keterampilan sosial dapat terbentuk, karakter positif dapat bertumbuh. Keterampilan motorik harusnya bukanlah acuan utama. Kuantifikasi nilai hanya akan membatasi potensi kualitasnya.
*Dosen Psikologi PIUAD FITK UIN Malang