Oleh: Irham Thoriq*
Tugumalang.id – Madinah. Kota ini dibuat dengan cinta, dirawat dengan kasih sayang, dan tercipta untuk para perindu. Kota ilmu, penuh berkah dengan sejarah yang kental. Di kota inilah, tempat manusia paling utama, kekasih Allah SWT hidup, wafat, hingga dimakamkan. Dari Madinah, Islam berkembang ke seluruh penjuru dunia, hingga kini.
Saya merasa beruntung, kota di luar negeri, pertama kali yang saya datangin adalah Madinah. Bersama Istri saya, yang juga baru pertama kali ke luar negeri. Madinah menjadi magnet. Umumnya, orang yang pernah ke kota ini untuk berziarah ke makam Nabi, dan beribadah di Masjid Nabawi, ketagihan ingin berkali-kali ke kota ini.
Baca Juga: Rokok dan Lontong Sayur Kuswiyoto
Inilah yang juga diceritakan beberapa rombongan saya dari Kelompok Bimbingan Ibadah Haji dan Umrah (KBIHU) Al Rifa’ie, Gondanglegi, Kabupaten, Malang. Beberapa kali di antara mereka sudah sering umrah, salah satunya karena ketagihan dengan suasana nyaman dan tenang di Madinah.

Ya, memang tenang dan nyaman di Madinah. Tidak bisa diceritakan dengan kata-kata. Inilah kota ternyaman yang pernah saya datangi. Di tempat ini, kita hanya disibukan dengan ibadah dan ibadah.
Juga ziarah ke makam Nabi Muhammad SAW. Kita berjalan sambil mengucapkan salam, kepada makhluk paling mulia, yang disebut iman kita belum sempurna, ketika kita tidak mencintai beliau, melebihi cinta kita pada diri sendiri.
Baca Juga: Nostalgia dan Belajar Inovasi dari Kepala Kantor Imigrasi Kelas I TPI Malang
”Rindu,” kata salah seorang jemaah asal Malaysia menceritakan kenapa dia sering melakukan ibadah umrah. Pemuda yang merupakan petani sawit ini, mengaku sudah tiga kali umrah.
Dia, dan mungkin beberapa jemaah yang lain, mengaku lebih nyaman di Madinah. Di Makkah, yang merupakan pusat ibadah umrah, kata dia cukup crowded. ”Bisa jadi Makkah crowded karena di Makkah pahalanya besar sekali, sehingga tantangannya harus besar juga,” imbuhnya.

Ya, dalam sebuah hadis, ibadah di Makkah pahalanya dilipatgandakan sebanyak 100.000 kali. Sedangkan di Madinah, ibadah dilipatgandakan 1000 kali. Madinah membuat nyaman dan tenang, tapi Makkah adalah tempat paling istimewa yang merupakan tempat kelahiran Nabi Muhammad SAW serta tempat di mana Nabi Ibrahim diuji dengan berbagai tantangan. Salah satunya diuji diminta menyembelih anaknya Nabi Ismail. Inilah cikal bakal terjadinya ibadah kurban di Idul Adha.
Madinah oh madinah. Beberapakali air mata menetes tidak bisa dibendung, saat berziarah ke makam Nabi Muhammad SAW. Tanpa perantara paduka rosul, kita tidak akan mengenal Islam, tidak akan mengenal adzan. Tidak mengenal salat, dan mungkin tidak mengenal akhlak nan mulia.
Di Madinah ini, beberapa orang berkeyakinan sebaiknya kita tidak memakai alas kaki. Ini sebagai akhlak kepada Nabi Muhammad SAW. Ketika kita memakai alas kaki, kita takut tanah yang kita injak itu, pernah diinjak oleh Nabi Muhammad SAW.
Di Madinah, waktu seperti berjalan begitu pelan. Salat jemaah demi salat jemaah kita lakukan dengan khidmat. Total ada 42 salat jemaah fardu kita lakukan di Madinah.
Total delapan hari kita di Madinah, tapi waktu seperti berjalan sangat lama. Meski cuaca cukup ekstrem yakni sekitar 9 derajat saat waktu subuh, tapi ibadah di Madinah cukup nikmat. Waktu berjalan cukup lambat. Kita ingin berlama-lama, ’bertetangga’ dengan Nabi Muhammad SAW.
Ibadah 40 salat jemaah di masjid Nabawi ini, biasa disebut sebagai arbain. Yakni salat jemaah di Masjid Nabawi sebanyak 40 kali. Ibadah ini merujuk salah satu hadist nabi, yakni:
Barang siapa yang salat di masjidku (Nabawi) empat puluh kali salat, tidak tertinggal satu salatpun maka baginya pembebasan dari api neraka dan selamat dari azab, serta terbebas dari kemunafikan. (HR. Ahmad).
Hadis ini kata beberapa orang memang multi tafsir. Ada yang menyebut, 40 salat itu tidak harus salat fardu (wajib). Ada juga yang menyebut arbain artinya 40 salat fardu. Ada yang menyebut arbain adalah 40 hari salat di masjid Nabawi. Kata pembimbing kami, selisih pendapat sah-sah saja, silahkan lakukan sesuai yang kita mampu dan yang kita yakini.
Beribadah di Masjid Rosulullah
Salah satu hidden game di Madinah adalah tempat di samping Raudhah. Jemaah laki-laki diperbolehkan salat lima waktu di tempat ini. Inilah yang diyakini sebagai areal Masjid Nabawi yang lama, yang sudah terbangun masjid sejak Nabi Muhammad SAW masih hidup.
Kalau kata salah satu pembimbing kami, i’tikaf di tempat ini biasa disebut sebagai “nyamping”. Disebut nyamping, karena lokasinya berada di samping Raudhah.
Kita tahu, Raudhah yang kini dibatasi kunjungannya untuk para jemaah umrah, adalah taman di antara taman surga. Tempat ini luasnya sekitar 330 meter, yang merupakan antara rumah Nabi Muhammad SAW dengan mimbar tempat Nabi berdakwah dan beribadah. Kini, setiap jemaah umrah, hanya bisa 1-2 kali ke Raudah untuk salat dan berdoa.
Selama nyamping di Masjid Rosulullah itu, saya menemukan pribadi-pribadi penuh senyum dan pemurah. Dua sifat ini adalah sedikit dari sifat Nabi Muhammad SAW. Setiap kali nyamping, saya selalu melihat satu orang membagi-bagikan air zam-zam kepada orang yang sedang i’tikaf.
Perangainya penuh senyum. Dia ke sana kemari membagikan air zam-zam. Hampir setiap hari, menjelang waktu magrib, orang ini bagi-bagi air zam-zam.
Ada juga orang yang membagikan kurma, dan aneka makanan yang lain. Selama di tanah haram, selain ibadah ubudiyah yang dilipatgandakan pahalanya, berbagi dengan sesama juga dilipatgandakan pahalanya.
Selain rajin beribadah, Nabi Muhammad SAW adalah seorang pemurah. Beliau tidak pernah menumpuk harta berlama-lama. Semuanya dibagikan, tanpa beban apapun.
Dalam sebuah hadits, Nabi Muhammad SAW sering pergi ke pasar dengan membawa 8 dirham. Beliau lantas membagi-bagikan uang 8 dirham tersebut, kepada orang yang lebih membutuhkan. Sikap pemurah itu, tampaknya ingin ditiru oleh para jemaah yang melakukan i’tikaf di Masjid Rosulullah tersebut.
”Tempat ini adalah tempat para sahabat dulu, mendengarkan dakwah Nabi dari atas mimbar, yang kita duduki ini adalah tempatnya para sahabat dulu, InsyaAllah,” kata Nazmi, insinyur asal India yang bekerja di Australia, sedang mengambil cuti untuk umrah.
Saat tulisan ini dibuat, saya dan istri sudah hampir satu bulan tiba di Indonesia. Tapi, kerinduan terhadap Madinah begitu besar. Bahkan, keinginan untuk kembali lagi ke Madinah, lebih besar daripada sebelumnya.
Bahkan, istri saya mempunyai mimpi yang menurut saya agak tinggi dan liar, ingin suatu saat kelak, punya bisnis di Madinah. Sehingga, bisa kapan pun ke kota indah ini, sembari menengok bisnis tersebut.
Istri saya juga menyesal, kenapa tidak membeli sajadah seperti sajadah yang ada di Raudhah, agar ketika salat, bisa merasakan vibe, seperti salat di Masjid Nabawi.
Kita berdo’a agar selalu dimudahkan waktu dan uang untuk kembali lagi ke Madinah. Seperti mudahnya sahabat Bilal, pergi ke Madinah ketika rindu kepada Nabi Muhammad SAW. Ya, sang juru azan itu setelah nabi wafat, memang meninggalkan Madinah, karena tidak kuat jika harus azan di Madinah. Lantaran, ketika Nabi wafat, Bilal yang azan, dan setelah azan, beliau membangunkan Nabi Muhammad di kediamannya.
Suatu ketika, sahabat Bilal bermimpi Rosulullah. Sang Rosul bertanya, kenapa Bilal lama tidak mengunjungi Madinah. Tidak lama setelah itu, Bilal ke Madinah, dan sempat azan di Masjid Nabawi.
Ketika itulah, Madinah gempar, dan orang-orang beranggapan kalau Rosul diutus lagi. Tidak ada kegemparan melebihi kegemparan saat azan setelah Nabi Muhammad SAW wafat.
Doa agar kita semua seperti sahabat Bilal itu, juga disebutkan oleh pembimbing kami yakni Gus Ja’i dalam doa perpisahan dengan Madinah.
Sebagaimana sahabat Bilal, semoga kita semua, termasuk yang membaca artikel ini, juga diberi waktu luang serta rezeki yang cukup, untuk bisa mengunjungi Madinah. Dan berziarah ke makam Nabi Muhammad SAW. Amin.
Madinah, aku rindu.
*Penulis adalah CEO Tugu Media Group (tugumalang.id & tugujatim.id).
Editor: Herlianto. A