Oleh: Rangga Aji*
Catatan pertama: Sabtu, 05 Juni 2021
Diari Silaturahmi
[Surat untuk Semua]
I’ll cross my heart and hope to die… We’re always and forever, I’ll be by your side… When days are dark and stars don’t line… We’re always and forever ‘til the end… The end of time…
Aku tidak tahu siapa nama mas-mas penjaga warung tersebut. Tapi, kami berdua sering mengobrol dan bertegur sapa saat bertemu di kantin sebelah Kantor Pemkot Surabaya di Jalan Jimerto, letaknya di punggung Taman Surya dan Balai Kota Surabaya. Kalau diamati secara lamat, wajah mas-mas itu terlihat ramah, setiap orang yang mampir di sana kebanyakan disapa.
Aku pesan teh hangat dan mengambil dua batang rokok ecer pabrikan Gudang Garam. Guyonan khas mbak Reni marketing Tugu Jatim ID, rokok ‘Surya’ itu punya kepanjangan: ‘Suara Rakyat’, sambil terkekeh. Karena, Surya selalu jadi andalan penghangat pikiran kaum marginal kota. Lantaran ada, lho, orang yang tahan bila tidak makan-minum seharian, tapi tidak kuat bila tidak menghisap rokok walau hanya setengah jam.
Aku memilih duduk dekat jalan masuk kantin saja, alasannya cuma satu: udaranya sejuk, banyak lalu-lintas angin yang masuk. Setidaknya, suhu panas di Kota Surabaya dapat diredam, walau sedikit. Tapi, kalau dibanding dengan suhu pukul 12.00 siang di Semarang Kota kawasan Stasiun Poncol, masih panas sana, serius. Kulit tanganku pernah memerah, walau hanya beberapa detik saja terkena sinar matahari di Semarang.
Siang itu, aku baru selesai meliput kegiatan Pemkot Surabaya tentang sosialisasi teknik-teknik ampuh memadamkan api di pemukiman padat penduduk. Yang memberi peraga ialah barisan petugas Dinas Pemadam Kebakaran (PMK, Damkar) Kota Surabaya di selasar Taman Surya. Mereka berpakaian biru-biru, berlapis baju Damkar warna jingga menyala, memakai baret pula, dimiringkan. Dari kejauhan tampak gagah dan pemberani.
Dari 5 teknik pemadaman api yang diperagakan, ada satu yang bikin aku takjub. Yaitu, aksi petugas Damkar perempuan yang mampu memadamkan api ganas akibat kebocoran LPG dan ‘regulator’ saat memasak. Kobaran apinya bikin merinding, ‘nyembur’ jauh ke depan. Sampai terdengar suara ‘wuusssss’, bagai api yang keluar dari mulut naga milik ‘Daenerys Targaryen’. Tampak ngeri. Namun, srikandi itu hanya memakai satu jari telunjuk untuk menutup lubang regulator, api ganas itu langsung lenyap tak tersisa. Tanpa memakai APAR ‘powder’ atau ‘non-powder’. Aksi petugas Damkar perempuan itu pun diikuti tepuk tangan dan sorak-sorai hadirin yang duduk berbaris di depannya.
Sampai aku di kantin, rasa takjub dari aksi srikandi Damkar itu masih menempel jelas di ingatan. Hebat sekali. Berani dan gagah. Tak heran, apabila petugas Damkar mampu memadamkan letupan api di Tempat Kejadian Kebakaran (TKK) pemukiman padat di Kota Surabaya hanya dalam waktu kurang dari 7 menit perjalanan. Luar biasa, ini baru sosok pahlawan sebenarnya–yang ‘dipahlawankan’ oleh masyarakat, bukan ‘memahlawankan’ diri sendiri.
Durasi 7 menit itu, merupakan perjalanan mobil merah atau ‘mobmer’ Damkar melintasi ruas-ruas padatnya kendaraan di Kota Pahlawan. Dibantu sirine dan klakson khas mobmer, masih mustahil memang bisa sampai secepat itu, tapi itulah hebatnya Dinas PMK Kota Surabaya. Apalagi saat sampai TKK, pasti upaya yang dikerahkan petugas Damkar lebih ‘all out’, dikerahkan semua energi agar api padam dengan cepat. Dibantu pula barisan Satuan Relawan Kebakaran (Satlakar) sebagai ‘volunteer’ dari warga sekitar.
Kadang, wartawan pun ikut berpacu kecepatan dengan mobmer Damkar dan durasi Satlakar dalam memadamkan api, agar dapat berita segar ‘katanya’. Apabila jurnalis sering disebut ‘Penyambung Lidah Rakyat’, ‘Penyampai Kabar Masyarakat’ atau sosok pembawa pesan penting, petugas Damkar pun justru hampir sejajar dengan pahlawan kemanusiaan, sebagian menyebutnya ‘Si Penakluk Api’, satunya memanggil ‘Si Pawang Jago Merah’, ‘Si Pantang Pulang Sebelum Padam’ dan sebutan kepahlawanan lainnya.
Teh hangatku diantar. Aku meneguknya, sambil membakar tembakau. Hanya dua upacara itu–minum teh hangat dan ngudud–setidaknya, bisa membuat pikiranku kembali segar. Di tengah penatnya jadwal liputan dan penugasan yang begitu padat, belum lagi tegangnya komunikasi editor dan wartawan. Bekerja di media memang perlu kesabaran untuk merapikan ribuan informasi yang masuk di kepala–kalau tidak bisa melakukan itu, siap-siap saja, kepala akan pening selama seminggu. Tiba-tiba, ada pesan WhatsApp masuk. Dari salah satu senior, “Taufiqurrahman”, Wartawan Jawa Pos di Jakarta.
[10.45 WIB]
Cak Taufiq: “Jam 2 siang kalau nggak ada acara ikut mancing di Sedati”
Cak Taufiq: “Ketemuan di Margorejo”
Cak Taufiq: “Kosnya Sachi”
Rangga: “Oke siap, Cak”
Rangga: “Ini aku di Pemkot, Cak. Abisini ke Unesa bentar ‘nekani’ adik-adik PPMI. Terus jam 2 siang tak meluncur ning kosan Sachi”
Cak Taufiq: “Iya, santai saja, aku juga abis ini mau istirahat dulu”
[10.48 WIB]
Sebelum Cak Taufiq mengirim kabar itu, memang aku sempat diundang adik-adik Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI) DK Surabaya untuk datang ke Sekretariat LPK Gema Unesa di Jalan Ketintang. Sekadar menemani mereka mengabadikan foto formal pengurus baru 2020/2021 untuk ditempel di media sosial Instagram dan Kartu Pers yang akan dicetak nanti. Tentu, sambil melepas kangen juga—menyambung silaturahmi, berjejaring dan saling menguatkan—karena lama tidak berkumpul secara ‘full team’.
Setelah mendapat kabar dari Cak Taufiq, aku bergegas menyelesaikan artikel berita sosialisasi PMK tentang teknik memadamkan api di pemukiman padat penduduk dan pembuatan kanal-kanal pipa air khusus ‘volunteer’ Satlakar di sekian kawasan Kota Surabaya, sebagai upaya preventif apabila kampungnya sedang dalam keadaan darurat atas perilaku ganas ‘Si Jago Merah’. Selesai menulis berita soal itu, aku langsung memacu Supra X 125 milikku menuju Unesa di Jalan Ketintang.
Menariknya, PPMI merupakan organisasi yang menghimpun ratusan Pers Mahasiswa yang ada di setiap kota/kabupaten di Indonesia. Setiap kota/kabupaten terdapat Lembaga Pers Mahasiswa (LPM), tapi belum semua kota/kabupaten memiliki PPMI, ada yang masih berbentuk ‘Karateker’—sama halnya, tidak semua kota/kabupaten memiliki Aliansi Jurnalis Independen (AJI), walau ada media di sana. Tapi, untuk Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), sepertinya ada di hampir semua kota/kabupaten di Indonesia.
Ada tiga kategori perhimpunan dalam PPMI, yakni ‘Dewan Kota’ (DK) yang menghimpun LPM semua kampus di kota/kabupaten pusat dan LPM semua kampus di kota/kabupaten yang ada dalam wilayah yang berdekatan dengan kota/kabupaten pusat, seperti Surabaya (Ring 1), Sidoarjo (Ring 2) dan Gresik (Ring 3), diikuti Mojokerto, Lamongan, Bangkalan, Pasuruan, dan lain-lain. Sekian tempat itu masuk dalam wilayah tugas ‘PPMI DK Surabaya’.
Contoh lain, kota/kabupaten PPMI yang punya jenis perhimpunan itu ialah DK Surabaya (43 LPM), DK Semarang (43 LPM), DK Jogjakarta (36 LPM), DK Jember (28 LPM), DK Mataram, DK Makasar, DK Purwokerto, DK Kediri dan lain-lain. Ada juga jenis perhimpunan berkategori ‘Kota’. Misalkan, PPMI Kota Malang (28 LPM). Perhimpunan kategori ‘Kota’ ini hanya menghimpun LPM semua kampus di kota/kabupaten itu saja, tidak menghimpun kota/kabupaten di sekitar kota/kabupaten pusat. Hanya PPMI Kota Malang saja yang berkategori ‘Kota’. Lalu, yang satu lagi, jenis ‘Karateker’, ada LPM di kota/kabupaten tersebut, tapi belum memenuhi syarat untuk dibentuk PPMI, Contohnya: Tuban dan Bojonegoro.
Membahas PPMI, banyak cerita, hiruk-pikuk, perjuangan dan kenangan. Bahkan, aku sempat menangis saat mengerjakan LPJ akhir periode, saking banyaknya kisah-kisah, kebersamaan, solidaritas, perlawanan, advokasi dan berbagai kenangan romantisisme selama 19 bulan–hampir 2 periode–memegang setang kendali organisasi ekstrakampus tingkat kota/kabupaten tersebut.
‘Tagline’ PPMI begitu erat kaitannya dengan silaturahmi yakni ‘Mari Berjejaring dan Saling Menguatkan’. Aku pikir, hampir setiap hari aku dan kawan-kawan menjalankan silaturahmi saat di PPMI. Melakukan kunjungan ke kampus ini dan itu, ke sekretariat LPM A, B, C dan seterusnya. Bertemu rekan-rekan jurnalis kampus yang begitu membara semangat belajarnya–walau tidak dibayar sepeser rupiah pun, justru ada teman-teman yang mengeluarkan uang pribadi jutaan rupiah untuk menjalankan periode kepengurusan di PPMI. Komitmen dan kesungguhan yang tidak pernah diragukan.
Panji-panji lain yang sering diteriakkan teman-teman yaitu ‘Panjang Umur Hal-Hal Baik’ dan ‘Salam Pers Mahasiswa’. Benar-benar menjadi bahan bakar semangat kami dalam mendampingi advokasi, melakukan mediasi, membangun gerakan solidaritas dan menyelesaikan persoalan represi dari birokrasi kampus, aparat kepolisian, hingga organisasi intrakampus dan ekstrakampus terhadap Pers Mahasiswa. Dalam agenda nasional, kami berkumpul–dari berbagai kota, provinsi dan pulau di Indonesia. Dari situ, atmosfer kebersamaan begitu terasa, ‘Indonesia’ seakan ada di dalam pertemuan itu. PPMI tahu, apa yang patut diperjuangkan dan apa yang tidak perlu dibela mati-matian. Tentu, kami bergerak atas dasar niat baik dan progresivitas. Kami yakin, ‘what we do in life, echoes in eternity’, apa yang dibela dan dikerjakan di dunia, bakal bergema di keabadian nanti.
Sampai di Sekretariat LPK Gema Unesa, adik-adik PPMI sudah sibuk dengan swafoto untuk program kerja mereka. Aku menyapa dari kejauhan, menawarkan sebungkus gorengan yang sengaja aku beli untuk menambah pasokan makanan mereka selama berkumpul di siang itu. Sebagian adik-adik tampak sudah di dalam sekretariat untuk beristirahat. Aku masuk, melepas jaket, menyalakan kipas angin, menarik napas dalam-dalam, mengeluarkan ponsel dan beristirahat sebentar.
Aku mengobrol dengan mereka sembari bertanya kabar, membahas ini dan itu soal persoalan terhangat di setiap kampus, isu-isu yang sedang ditangani dan bagaimana keaktifan adik-adik PPMI dan LPM yang lain di Surabaya dan sekitarnya. Agenda silaturahmi semacam ini sering kami lakukan. Rasanya senang bisa melihat mereka memakai PDH baru–warna merah dan hitam; merah berarti ‘berani’ dan hitam berarti ‘perlawanan’. Sedikit melankolik, apabila mengingat kilas balik 2 tahun yang lalu, berdarah-darah merawat organisasi ini; sekarang bunganya, hasilnya, mulai tumbuh perlahan. Ada chat WhatsApp masuk lagi, dari “Sachi”, Pimpinan Umum LPM Ara Aita:
[13.10]
Sachi: “(‘Share location’ dan mengirim foto jalanan depan kos)”
Sachi: “Kalau sampean sudah sampai sini chat ya mas, nanti aku tak keluar”
Rangga: “Oke, siap”
Rangga: “Cak Taufiq wes ning kosan ta?”
Sachi: “Uwes, iki wonge sek turu”
*Penulis adalah Jurnalis Tugu Jatim ID area Surabaya