Oleh: Rangga Aji*
Catatan Kedua: Sabtu, 05 Juni 2021
“If it was easy, it never worth to fight for” – Taufiqurrahman, Wartawan Jawa Pos di Jakarta
Diari Silaturahmi
[Surat untuk Cak Taufiq]
Cak, aku masih ingat kamu pernah bilang kalau orang-orang Jawa Pos pernah memanggilmu dengan sebutan ‘Manusia Kardus’. Akibat memasang ‘profile picture’ wajahmu yang ditempel pada gambar ‘Master Chief Petty Officer John Spartan-117’. Bagus, keren dan halus hasil editnya. Aku tidak tahu, apa yang membuatmu tertarik dengan serial ‘Master Chief’, entah yang ‘anime’ atau versi ‘reality acting’. Aku juga tidak tahu, mengapa orang-orang Gedung Biru itu memanggilmu ‘Manusia Kardus’, padahal Master Chief memakai baju besi mirip Iron Man, Gundam, Transformers dan Robocop, bukan baju kardus. Tapi, aku amati, ada kesamaan semangat dalam nomor 117. Mirip nomor alamat kampus kesayangan kita ya, Cak! Jalan Ahmad Yani 117 Surabaya. Lokasinya berseberangan dengan Graha Pena 20 lantai itu.
Cak, aku masih ingat. Kamu pernah membuat analogi bahwa kampus kita, Gedung Hijau, UIN Sunan Ampel Surabaya berisi orang-orang yang tidak semaju penduduk Gedung Biru yang ada di seberang. Banyak yang nyinyir, saat kamu ditanya dan menjawab kalau almamater kesayanganmu ialah IAIN. Basis ilmumu pondok pesantren—kendati, kamu sempat jadi santri yang dikutuk dan diberi sumpah serapah oleh ‘alim ‘ulama dan dewan musyrif karena terlalu kritis dan pintar. Banyak yang berpikir mahasiswa IAIN masih terbelakang ya ternyata? Selalu dikaitkan dengan kemunduran, demonstrasi dan segerombolan pemuda lusuh, kumus-kumus, tidak modis dan buta ‘style’, memakai ‘outfit’ murahan, tidak tahu teknologi serta kemajuan media, belum mandi selama berhari-hari akibat terlalu sering begadang di sudut-sudut Jalan Wonocolo bersama sahabat-sahabat pergerakannya.
Cak, aku tahu perjalanan hidupmu begitu berat, penuh adrenalin dan tantangan. Kamu benar-benar mulai dari nol, membangun semua bagian-bagian perabotan ‘empire’ milikmu sendiri. Tanpa ‘privilage’ apapun. Apalagi kamu pernah menjadi Ketua Angkatan di organisasi ekstrakampus Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII). Bersama dengan gejolak, hiruk-pikuk, kritikan, umpatan, drama pengkhianatan, damprat, tekanan dan berjibun persoalan yang kamu emban selama 1-2 tahun menjalankan amanah itu, sebelum kamu ditinggalkan oleh teman-temanmu, satu per satu, karena menganggap bahwa kamu egois dan terlalu keras untuk mereka, walau mereka mengakui bahwa kamu amat cerdas dan memiliki pemikiran futuristik-visioner 10 tahun ke depan.
Cak, apa kamu masih ingat? Saat kita membuat tim eksklusif berisi 10 orang. Delegasi dari seluruh LPM fakultas di UIN Sunan Ampel Surabaya, tujuanmu untuk menambah kuantitas pengisian konten pemberitaan di Humas UIN Sunan Ampel Surabaya saat kamu baru masuk menjadi wartawan di dalamnya. Saat itu Kabag Humas masih Bu Retno ya, Cak. Kamu memanggilnya ‘Bunda’, lalu panggilan itu aku pakai juga. Yang aku ingat, dalam tim spesial itu ada aku, Astari, Ishfi, Najih, Afif, Ruri, Ratri, lalu yang lainnya aku lupa. Kami memanggilmu ‘Sensei’. Namun, berjalannya waktu, mereka semua gugur di tengah perjalanan, banyak faktor yang menyerbu kami. Hanya tersisa aku dan Astari. Kami berdua bertahan membantu apapun yang kami bisa bantu di Humas UIN Sunan Ampel Surabaya, menjalankan amanah darimu, sejak 2015 sampai aku wisuda di tahun 2020 kemarin.
Cak, apa kamu masih ingat pula? Saat itu kita membuat komunitas jurnalistik se-UIN Sunan Ampel Surabaya yang ditandatangani oleh semua perwakilan 11 LPM seluruh fakultas di kampus. Saat itu, nama komunitas yang kita buat disepakati dengan sebutan ‘IJMA’ di tahun 2016, kepanjangan dari: Ikatan Jurnalis, apa gitu. Untuk kepanjangan dari ‘M’ dan ‘A’-nya apa ya, aku sudah lupa, Cak. Yang aku ingat, ‘IJMA’ itu artinya kesepakatan dari para ulama terkemuka sebelum memutuskan kebijakan atau hukum, berdasarkan Hadist dan Al-Quran, atas konteks perkara tertentu yang terjadi, demi maslahatnya umat Islam.
Cak, saat kamu pindah tugas ke Jakarta, kami dari teman-teman Pers Mahasiswa selalu menantikan kedatanganmu di Surabaya. Walau kadang, saat kamu datang dan mengajak membuat forum diskusi, tidak ada satu pun orang yang tertarik. Paling banter, cuma berdua-bertiga saja. Kamu merasa teman-teman sudah menyiakan senior, ada SDM yang berkompeten tapi mereka malas belajar dan gengsi mendatangimu. Sampai Sabtu kemarin, kamu bilang padaku bahwa, “Saiki guru seng nggoleki murid, uduk murid seng nggoleki guru”.
Mungkin sudah sekitar 6-8 bulanan kita tidak bertemu. Kita terakhir berjumpa di Sekretariat LPM Ara Aita Jalan Margorejo. Saat itu, kamu juga sempat titip padaku untuk membeli kalung lempengan kader PMII, aku tidak tahu kalau kalung itu kamu berikan ke sahabat pergerakanmu yang sudah tutup umur. Kamu datang ke pusaranya, kamu kalungkan 2 atribut PMII itu di batu nisan sahabat pergerakanmu. Aku nangis, Cak, tahu hal itu. Terharu rasanya. Manusia mana yang tidak meneteskan air mata melihat aksi melankolik, bermakna dan diselimuti nilai-nilai kemanusiaan semacam itu.
Setelah tidak jumpa dalam waktu lama, kamu berkunjung lagi ke Surabaya dari Jakarta dan Bondowoso. Walau Sekretariat LPM Ara Aita sudah habis masa kontraknya, tidak lagi di Jalan Margorejo, karena teman-teman LPM tidak bisa memperpanjang kontrakan yang wajib dibayar langsung selama 2 tahun pada tuan rumah. Uang yang dipegang teman-teman cukup untuk membiayai kontrakan selama satu tahun saja, itupun sudah dikumpulkan dari patungan uang pengurus dan sebagian ‘nempil’ anggaran DPP dari fakultas. Sekarang, teman-teman LPM Ara Aita tidak ada sekretariat lagi, Cak. Tapi, semangat mereka masih tetap membara seperti dulu, belajar masih berjalan, buletin dan majalah masih diupayakan terbit.
[14.00 WIB]
Rangga:
“Sachi, aku wes nang ngarep gang kosanmu. Metuo”
[14.20 WIB]
Siang itu, kami bertiga berangkat memancing ikan bandeng kiloan di Sedati Sidoarjo. Ada aku, Cak Taufiq dan Sachi. Sachi itu Pimpinan Umum LPM Ara Aita Periode 2020/2021. Sedangkan, Cak Taufiq sosok senior yang mengkaderku selama berproses di Humas, Kampus, PMII dan LPM. Selain seniorku lainnya, yakni Luhur Pambudi Wartawan Tribunnews di Surabaya. Kadang kaderisasi itu penting dipersiapkan, karena antara senior dan kader selalu punya ikatan emosional tersendiri, itu yang membuat proses transfer keilmuan begitu optimal, berbeda jauh antara relasi dosen dan mahasiswa—sekadar menjalankan tanggung jawab sebagai pendidik formal di sebuah lembaga/instansi pendidikan, tampak kering. Tak ada makna.
Kami memilih lokasi kolam yang ada di ujung, dekat pemukiman warga Sedati. Kolam yang disediakan ada dua, kata penjaganya yang sisi kolam satu barusan diisi ikan bandeng saat pagi. Sedangkan sisi lain, tidak diisi ikan, tapi ada kemungkinan ikan di sisi kolam yang baru saja diisi tadi, bisa berpindah ke sisi kolam sebelahnya–yang tidak diisi ikan. Kami langsung meminjam ‘jojoran’ atau pancing, mengambil pakan ikan secukupnya, lalu memasangnya di kail.
Beberapa kali pancing Cak Taufiq digondol bandeng. Tapi, masih belum beruntung juga, ikan-ikan itu berhasil lepas dari kail tajam yang ditebarkan Cak Taufiq. Pancingku diam saja tak bergerak, aku heran. Apa ikan-ikan itu sudah kenyang? Atau memang sengaja menahan lapar? Karena tahu bakal habis umurnya, jika sampai memakan pelet yang bertebaran di kolam. Siapa tahu, salah satu dari pakan itu merupakan umpan pancing milikku, Cak Taufiq atau Sachi. Ikan-ikan itu sudah mulai pintar ternyata.
Tapi, Sachi sudah berhasil dapat 1 ikan. Pancing Cak Taufiq kembali sepi. Apalagi punyaku, masih belum ada peningkatan ‘traffic’. Tidak lama, ada 3 orang lagi yang datang. Sebut saja Cak Faris Wartawan Radar Sidoarjo, Anun dan Ian yang merupakan anggota LPM Ara Aita dan kader PMII dari Fakultas Dakwah dan Komunikasi (FDK). Mereka bertiga langsung ikut menceburkan pancing, tidak menunggu lama.
Baru saja datang, Anun sudah menggaet 3 ikan dalam waktu beruntun. Bagaimana dia bisa melakukan hal itu? Apa ada bacaan atau wirid khusus agar pancing bisa cepat digondol oleh ikan? Aku tidak tahu. Aku tidak pernah menemukan mantra-mantra semacan itu selama kuliah dulu. Sedangkan, Ian dan Cak Faris masih belum ada suara, mereka mulai capek mengganti pakan ikan beberapa kali. Lalu memutuskan untuk menyerah, pancing mereka letakkan, memilih bakar tembakau sambil duduk menikmati sejuknya angin di kolam.
Kami selesai memancing sekitar pukul 17.30 WIB. Bergegas mencari tempat bakar ikan bandeng, sekalian makan di tempat sambil mengobrol banyak soal organisasi, PMII, LPM, PPMI, media dan gejolak perpolitikan di masa kontemporer. Seperti diskusi anak-anak Ormeks biasanya, tapi yang membawakan forum sekarang lebih spesial, karena langsung diampu oleh suhunya: Cak Taufiq.
Cak, kadang aku heran. Mengapa di usiamu yang sekarang dan di profesimu sebagai wartawan yang begitu padat agenda, kamu masih saja peduli pada adik-adikmu ini? Masih meluangkan waktu untuk berbagi pengalaman, ilmu-ilmu dan membakar semangat agar mereka makin giat belajar. Aku ingat, kamu pernah bilang bahwa, “Di mana pun kamu berpijak, kamu berkewajiban agar orang-orang di atas tanah berpijakmu itu, bisa kamu angkat juga derajatnya”. Khususnya dalam hal-hal ilmu pengetahuan dan kompetensi jurnalistik. Luar biasa mulia.
Aku masih ingat, Cak. Kamu pernah memarahiku, menyindirku dan membuang muka dariku akibat aku yang begitu bodoh karena tidak ada perubahan dari waktu ke waktu saat di kampus dulu. Tapi, aku selalu yakin, itu caramu agar aku makin giat untuk belajar dan tidak mau kalah dengan pencapaianmu. Memang, setelah berjalannya waktu, kamu menyambutku kembali. Meminta bantuan lagi, mau mengajariku, mengajak untuk ikut diskusi bersama kerabat dekat dan lain-lain. Tentu aku senang bisa diterima kembali.
Malam itu, sambil melahap ikan bandeng bakar hasil kami memancing, ditambah lezatnya komposisi makan malam yakni nasi, bumbu kacang dan sambal pedas, kami berlima berdiskusi sampai larut. Saat warung bakar ikan bandeng itu akan tutup akibat pembatasan jam malam, kami memutuskan geser menuju Warung Kopi Juang di Jalan Jemursari, dekat UIN Sunan Ampel Surabaya.
Cak, saat itu, kamu rela menemani adik-adik LPM Ara Aita untuk mencari tema yang akan dipakai dalam majalah tahunan mereka. Ada yang memberi saran untuk mengangkat soal ‘lost generation’ di masa belajar daring. Entah, mengapa saat itu pembahasan kita sampai pada istilah ‘sosiolog muslim’? Yang kemudian jadi guyonan satu forum diskusi. Aku, Cak Faris, Sachi, Fika dan Rafika ketawa terbahak-bahak, Cak. Semua terkekeh tak kunjung berhenti, itu karena ulah Cak Taufiq.
Then I saw your face, your forgiving eyes… Looking back at me from the other side… Like you understood me… And I’m never letting you go, oh…
We all need that someone
Who gets you like no one else… Right when you need it the most… We all need a soul to rely on… A shoulder to cry on… A friend through the highs and the lows…
*Penulis adalah Jurnalis Tugu Jatim ID area Surabaya