Oleh: Masbahur Roziqi*
Tugumalang.id – Masa Pengenalan Lingkunga Sekolah (MPLS) mulai berlangsung sejak Senin (15/07/2024). Para siswa baru akan melangsungkan perkenalan awalnya dengan sekolah baru. Tentu banyak hal akan mereka hadapi. Mulai teman baru, guru baru, hingga lingkungan fisik baru.
Tidak mudah. Pasti banyak kendala. Tantangan tentu juga ada. Salah satu tantangannya berkaitan dengan interaksi sosial. Proses pertemuan dan pergaulan siswa dengan siswa, siswa dengan guru, siswa dengan tenaga administrasi sekolah, dan siswa bersama masyarakat lingkungan sekolah. Bagaimana menyikapinya?
Satu hal yang perlu siswa miliki adalah empati. Empati menjadi bahan internal diri yang patut berada konsisten pada diri siswa. Adanya empati akan membantu siswa.Terutama dalam mengarungi pergaulan antar siswa dengan orang-orang di sekitarnya.
Baca Juga: Rencana Relokasi Sekolah Terdampak Tanah Gerak di Kota Batu Gagal Terealisasi
Khususnya pada lingkungan sekolah. Sebab siswa tidak hidup sendiri. Siswa yang memasuki lingkungan baru akan bertemua kakak kelas, guru, dan tenaga administrasi sekolah baru.
Mungkin ada yang sudah kenal. Namun tentu akan lebih banyak yang belum pernah berinteraksi dengan siswa tersebut. Empati dapat menjadi unsur untuk sekolah wujudkan tumbuh pada diri para siswa baru.
Empati merupakan kemampuan untuk memahami dan merasakan perasaan orang lain. Komponen utamanya ada dua. Komponen kognitif (pemikiran) dan afektif (perasaan). Komponen kognitif terdiri atas perspective taking dan fantasy.
Perspective taking berarti kemampuan individu untuk memahami pandangan dan perspektif orang lain, sehingga individu dapat melihat situasi dari sudut pandang mereka.
Baca Juga: Liburan Sekolah 2024, Tren Kunjungan Wisata ke Kota Batu Menurun
Fantasy merujuk pada kemampuan untuk membayangkan diri sendiri berada pada situasi orang lain dan merasakan emosi serta perasaan mereka.
Komponen afektif terdiri atas dua hal. Komponen pertama kemampuan empathic concern, merupakan kemampuan untuk merasakan empati dan simpati pada orang lain.
Individu yang memiliki emphatic concern tinggi akan cenderung lebih sensitif terhadap perasaan orang lain, dan cenderung untuk menolong saat dia dibutuhkan. Komponen kedua personal distress merupakan ketidaknyamanan yang dialami seseorang ketika dia melihat atau mendengar orang lain menderita.
Individu yang memiliki personal distress tinggi maka akan cenderung tidak tahan dan nyaman melihat orang lain menderita. Secara keseluruhan maka empati terdiri atas empat komponen tersebut.
Kemampuan ini berperan penting dalam interaksi sosial para siswa baru dan para siswa lainnya. MPLS dapat menjadi ajang untuk menumbuhkan empati agar meningkatkan kualitas hubungan antar individu dalam lingkungan sekolah.
Penumbuhan empati akan sangat bermanfaat bagi para siswa baru. Manfaat utama tentu akan membuat siswa baru lebih peka terhadap hubungan antara dirinya dengan orang di sekitarnya.
Contohnya dengan teman sebaya sesama siswa baru. Saat siswa baru memiliki kemampuan empati tinggi ada beberapa kemungkinan yang akan terjadi. Pertama, dia akan peka terhadap temannya yang mengalami kesulitan atau ketidaknyaman.
Kedua, dia akan aktif membantu teman yang mengalami kesulitan tersebut. Ketiga, dia akan bersikap menghormati dan menghargai orang lain dalam beraktivitas. Keempat, mencegah dia melakukan perundungan atau kekerasan terhadap teman sebayanya.
Beberapa manfaat ini tentu tidak datang dengan sendirinya, dan tidak pula terjadi secara instan. MPLS dapat menjadi pondasi penumbuhan kemampuan empati para siswa baru.
Sekolah yang melaksanakan MPLS dapat menyasar dua komponen dalam empati. Artinya tiap kegiatan yang akan sekolah lakukan pada Senin besok hingga MPLS selesai bertujuan untuk menumbuhkan dan menguatkan komponen kogntif dan afektif empati.
Caranya dengan melandaskan kegiatan pada penumbuhkan dua komponen tersebut. Beberapa catatan berikut dapat menjadi usulan untuk para punggawa sekolah terapkan pada sekolah masing-masing.
Pertama penumbuhan dan penguatan pada komponen kognitif perspective taking. Sekolah dapat menfasilitasi adanya diskusi dan momen tiap siswa untuk berkelompok kecil.
Misal lima sampai delapan orang. Lima sampai delapan orang ini diharapkan menjadi seperti keluarga. Saling berbagi, saling menguatkan, dan saling bekerjasama. Tujuannya agar menumbuhkan dan mengasah kemampuan mereka untuk memahami pandangan dan perspektif orang lain.
Kegiatan diskusi pada tiap materi kegiatan diharapkan dapat terjadi agar mereka memiliki kemampuan memahami perspektif orang lain.
Kedua, penumbuhan dan penguatan pada komponen kognitif fantasy. Siswa baru dapat diajak untuk mengikuti sesi refleksi bersama anggota kelompok lainnya.
Refleksi ini dapat sekolah fasilitasi dengan meminta beberapa orang dari kelompok berbeda menceritakan pengalaman mereka dalam mengikuti kegiatan pada sesi-sesi tertentu.
Apa yang mereka rasakan, bagaimana mereka melalui sesi itu, dan bagaimana mereka akan menerapkan apa yang diperoleh dari kegiatan itu. Pada sesi refleksi tiap sesi ini siswa akan bersama diajak untuk membayangkan bagaimana jika mereka berada pada posisi teman yang menceritakan refleksi tersebut.
Ketiga, penumbuhan dan penguatan pada komponen afektif emphatic concern. Kegiatan berupa tantangan yang melibatkan kerjasama antar anggota perlu untuk sekolah terapkan demi menumbuhkan kemampuan emphatic concern.
Pada sesi tertentu misalnya dibuat sebuah kegiatan untuk memantik siswa baru saling membantu siswa lainnya. Bisa berupa permainan, bisa pula sebuah project sesi tertentu untuk menumbuhkan munculnya empati dan berujung saling membantu antar teman. Tiap sekolah bisa berbeda wujud kegiatannya. Menyesuaikan pada kearifan lokal sekolah setempat.
Keempat, penumbuhan dan penguatan pada komponen afektif personal distress. Usulan penulis untuk menumbuhkan personal distress ini dapat dilakukan pada sesi pengenalan perundungan, kekerasan dan intoleransi.
Tiga hal terakhir ini merupakan hal negatif yang berpotensi muncul pada diri siswa. Sekolah dapat menunjukkan pada sesi tertentu tentang konsep dasar perundungan, ciri perundungan, dampak perundungan, dan strategi mengendalikan perundungan.
Demikian pula pada isu kekerasan dan intoleransi. Pada sesi ini siswa diharapkan untuk mengenali ketidaknyamanan yang dialami korban tiga hal negatif tersebut.
Sehingga muncul ketidaknyamanan atas perundungan, kekerasan, dan intoleransi. Ketika siswa telah merasa tidak nyaman atas tiga hal tersebut, harapannya membuat mereka terhindar dari menjadi korban dan atau pelaku.
Penumbuhan dan penguatan empati ini semoga menjadi ikhtiar bersama sekolah untuk menjadikan MPLS sebagai bagian episode awal positif bagi siswa baru.
Siswa yang berempati tinggi akan menjadi tumpuan utama memutus mata rantai perundungan, kekerasan, dan intoleransi yang mungkin muncul di sekolah. Semoga.
Baca Juga Berita Tugumalang.id di Google News
*Penulis adalah kandidat magister Bimbingan dan Konseling Universitas Negeri Malang
Editor: Herlianto. A