Tugumalang.id – Sejak tahun 1950-an, Kota Batu menjadi daerah di Jawa Timur yang dikenal banyak orang sebagai Kota Apel. Ini karena daerah yang dikelilingi Gunung Arjuno dan Gunung Kawi itu menjadi daerah paling banyak memproduksi apel.
Di masa kejayaannya, di tahun 2004, tingkat panen di Kota Batu tercatat mencapai 46 ribu ton dari 2 juta pohon apel. Namun kini, masa kejayaan itu semakin memudar. Jumlah produksinya dari tahun ke tahun mulai kendur. Melihat kilas balik itu, banyak orang merindukannya.
—
Oktavian Dwi Suhermanto menjadi salah satu petani muda di desanya. Umurnya masih 25 tahun. Berbeda dari anak muda kebanyakan, dia justru memilih jalan hidup berbeda, sebagai petani. Mengolah tanah, menuai kesuburan.
Di lahan seluas sekitar seperempat hektar di Dusun Buludendeng, Desa Bulukerto, Kecamatan Bumiaji, Kota Batu, tumbuh subur puluhan pohon apel yang menghidupi keluarganya sekian puluh tahun. Pohon-pohon itu tetap berbuah lebat hingga kini.
Namun di sela pohon-pohon apel miliknya, ada jenis pohon yang tak asing. Buahnya ada yang warna merah, hijau, ada yang oranye.
”Iya itu kopi. Sengaja ditanam tumpang sari di antara pohon-pohon apel,” kata Herman, sapaan akrabnya, pada Jumat (25/3/2022).
Kedua pohon tersebut, kata Herman, sudah tumbuh berdampingan sejak 2012. Sekian tahun berjalan, pohon kopi ini sukses berbuah lebat dan menjadi hasil panen tambahan keluarganya, selain apel. Waktu itu, kopi masih dihargai murah oleh tengkulak, sekitar Rp 15-20 ribu per kilogram.
Hingga kemudian dia menjumpai fakta bahwa harga kopi di pasaran jauh lebih mahal dari yang Herman perkirakan, mencapai Rp 70-80 ribu perkilogram. Sejak itu, Herman mulai mendalami seluk-beluk perkopian mulai teknik pasca panen, roasting, hingga penyeduhan.
Seiring proses berjalan, Herman mulai menemukan cita rasa berbeda dari kopi yang tumbuh di lahan miliknya. Waktu itu, seorang senior perkopian di Kota Malang bilang kalau kopinya punya cita rasa yang fruity. Ada aroma dan cita rasa apel dalam tiap sesapannya.
Sejak itulah, dia terus mengolah biji kopi di kebunnya sedemikian rupa hingga dikenal menjadi Kopi Apel Siman seperti dikenal sekarang. Kopi ini bahkan menarik perhatian Wali Kota Batu, Dewanti Rumpoko untuk dibawa dan dikenalkan ke pengusaha-pengusaha Mesir.
Tugumalang.id berkesempatan mencicip kopi apel ini dari tangan Herman langsung. Herman menyajikan tiga cangkir kopi dari olahan pasca panen berbeda-beda. Mulai dari proses natural, proses full wash dan honey. Rasa dari ketiganya berbeda-beda, namun tetap memiliki aroma dan cita rasa masam dari apel.
Kenapa bisa demikian? Cita rasa tersebut lahir dari karakter kopi yang menyerap berbagai macam unsur tanaman dan tanah di sekitarnya. Jika di sekitar pohon kopi ada pohon nangka, maka kopi akan memiliki cita rasa nangka. Begitu seterusnya.
”Awalnya dulu ya hanya eksperimen saja, kan ada konsep tumpang sari. Nah, ayah saya ingin tanam sesuatu di antara pohon-pohon apel ini biar produktif gak kosongan. Kami milih kopi dan ternyata tumbuh subur,” kisahnya.
Kisah Menyentuh Di Balik Penamaan Kopi Siman
Herman sekeluarga mulai mendapatkan cobaan di tahun 2017 lantaran kebun apelnya gagal panen. Kondisi itu terus berlangsung hingga tiga tahun. Saking lamanya, sampai kemudian mereka mengira bahwa pohon kopi itulah penyebabnya.
Mereka lalu memutuskan hendak akan menebang habis pohon-pohon kopi tersebut. Namun, sang ibu berkata lain agar Herman merawat pohon-pohon kopi itu dengan baik. Saat itu, kemudian ada istilah jawa ‘Siji Sing Dieman’ atau Satu yang Disayang yang disingkat Siman.
”Itu awal mula penamaan kopi ini. Dan setelah saya telisik lagi waktu itu benar saja. Penyebab gagal panen ini ternyata dialami oleh petani lain dan lebih karena faktor cuaca,” jelas pria kelahiran asli Kota Batu tahun 1996 ini.
Selain itu, lanjut Herman, pohon kopi ini juga punya fungsi untuk menahan pestisida, fungisida atau hormon dari pohon apel tidak langsung jatuh ke tanah. Ini agar mikroba dalam ekosistem kebun itu tetap hidup dan menjaga kesuburan pohon apel.
Pamor Kopi Siman mulai terangkat sejak tahun 2019 meski masih belum punya pasaran hingga luar kota. Permintaan yang mulai meningkat secara bertahap ini mulai diikuti oleh petani di dusun mereka. Dari yang awalnya hanya menanam 80 pohon, kini telah bertambah hingga 3 ribu pohon.
Bayangkan jika semua petani apel di Kota Batu ikut menanam kopi, bukan tidak mungkin masa kejayaan apel di Kota Batu bisa kembali bangkit. Saat ini, Kopi Siman masih tahap pengembangan dan masih berkutat di wilayah Kota Batu dan Malang.
Produk Kopi Siman sendiri terbagi menjadi dua jenis yaitu biji kopi dan bubuk kopi. Kopi Siman Premium dijual dengan harga Rp 70-80 ribu perkilonya. Untuk Kopi Siman biasa dijual dengan harga Rp 20 ribu per 100 gram. Dalam setahun, dia bisa memproduksi biji kopi yang baik kurang lebih seberat 5 ton.
Wali Kota Batu Dorong Kopi Apel Diekspor Hingga Ke Mesir
Saking uniknya, Wali Kota Batu bahkan ikut kepincut dengan Kopi Apel ini. Beberapa waktu lalu, Dewanti Rumpoko membawanya ke acara One Day With Indonesia Coffee Fruits Floriculture (ODICOFF) di Kairo Mesir. Di sana, kopi itu dikenalkan pada jajaran otoritas pemerintahan dan pengusaha.
Hasilnya sesuai harapan. Pemaparan Dewanti tentang kota kelahirannya membuat para pebisnis di sana tertarik. Seperti datang dari CV Mabrouk. Mereka memesan kopi asal Kota Batu dengan total pemesanan mencapai 240 ton di tahun 2022 mendatang.
“Semoga ini menjadi jalan bagi kopi asal Kota Batu, Jawa Timur, yang juga memiliki rasa yang khas di pasar global,” ujar Dewanti.
Selain itu, Dewanti juga mengenalkan produk olahan apel lain seperti keripik buah dan hasil fermentasi apel seperti wine dan cuka apel. Langkah ini tentu membuat Herman bangga. Sebagai petani muda, dia merasa aroma kejayaan Kota Batu di masa dulu akan kembali.
Anak kedua dari tiga bersaudara dari pasangan Supiono (50) dan Bawon Sri Andayani (45) ini, mengaku siap jika nanti diminta untuk memasok Kopi Apel ke Mesir, termasuk ke pasaran dalam negeri.
Untuk saat ini, dirinya tengah melakukan pengembangan dan mengajak petani lain untuk menanam komoditi serupa.
”Kita masih fokus untuk menambah produksi kami di kebun, sampai nanti bisa sustain. Jadi nanti kalau misal ada permintaan di pasar sudah tinggi, secara stok kami sudah siap mencukupi,” jelasnya.
Kabar ini cukup membanggakan bagi Kota Batu di saat produksi apel di daerah yang dijuluki kota apel justru mengalami penurunan. Ini karena mulai terjadi alih komoditi tanam menjadi jeruk karena biaya perawatan pohon apel yang mahal. Selain itu, lahan pertanian juga makin kritis.
Herman sendiri mengaku tidak ingin identitas kota yang selama ini dikenal dengan kisah historis yang panjang itu menghilang. Dia bersama pemuda lain yang tergerak berkomitmen untuk tetap bertani apel sampai kapanpun.
”Saya dan beberapa pemuda di sini berkomitmen untuk terus bertahan menjadi petani apel, agar identitas Kota Batu juga ikut terjaga sampai anak cucu,” ujarnya.
Reporter: Ulul Azmy
Editor: Lizya Kristanti
—
Terima kasih sudah membaca artikel kami. Ikuti media sosial kami yakni Instagram @tugumalangid , Facebook Tugu Malang ID ,
Youtube Tugu Malang ID , dan Twitter @tugumalang_id