HARI LEBARAN
Setelah berpuasa satu bulan lamanya. Berzakat fitrah menurut perintah agama.Kini kita beridul fitri berbahagia. Mari kita berlebaran bersuka gembira.
Berjabatan tangan sambil bermaaf-maafan. Hilang dendam habis marah di hari lebaran
Minal aidin wal faidzin. Maafkan lahir dan batin. Selamat para pemimpin, rakyatnya makmur terjamin.
Dari segala penjuru mengalir ke kota, rakyat desa berpakaian baru serba indah.
Setahun sekali naik terem listrik perey. Hilir mudik jalan kaki pincang sampai sore.
Akibatnya tengteng selop sepatu terompe, kakinya pada lecet babak belur berabe
Maafkan lahir dan batin,’lang tahun hidup prihatin. Cari wang jangan bingungin,’lan Syawal kita ngawinin
Cara orang kota berlebaran lain lagi, kesempatan ini dipakai buat berjudi.
Sehari semalam main ceki mabuk brandi. Pulang sempoyongan kalah main pukul istri.
Akibatnya sang ketupat melayang ke mate. Si penjudi mateng biru dirangsang si istri
Maafkan lahir dan batin,’lang taon hidup prihatin. Kondangan boleh kurangin. Korupsi jangan kerjain
Lagu ‘Hari Lebaran’ diciptakan Ismail Marzuki di tahun 1950-an, tak lama setelah Belanda hengkang dari Indonesia pada akhir 1949. Dikutip dari laman rri.co.id, Lagu ini diyakini pertama kali dinyayikan Didi, nama samaran dari Suyoso Karsono, diiringi group vokal Lima Seirama, kala itu perekaman dilakukan di Studio RRI Jakarta.
Lagu ini bukan sekadar lagu perayaan Idul Fitri, tetapi juga cerminan sosial yang menggambarkan berbagai fenomena di masyarakat saat hari raya tiba. Dengan lirik yang bernuansa ceria namun kritis, lagu ini berhasil mengabadikan tradisi, kegembiraan, dan juga ironi yang kerap terjadi saat momen lebaran.
Baca juga: Ini 8 Titik Rawan Macet di Kota Batu Selama Lebaran 2025
Salah satu kekuatan utama dari lagu ini adalah bagaimana Ismail Marzuki merangkum esensi Idul Fitri sebagai hari kemenangan setelah berpuasa selama satu bulan. Lirik seperti “Setelah berpuasa satu bulan lamanya, Berzakat fitrah menurut perintah agama” menggambarkan kewajiban yang dijalankan umat Islam sebelum menyambut hari kemenangan. Selain itu, aspek kebersamaan dan kebahagiaan juga ditonjolkan dalam bait “Kini kita beridul fitri berbahagia, Mari kita berlebaran bersuka gembira” yang mencerminkan semangat Idul Fitri sebagai hari untuk saling memaafkan dan merayakan.
Namun, di balik nuansa kebahagiaan tersebut, Ismail Marzuki dengan cerdas menyisipkan kritik sosial terhadap fenomena yang terjadi saat lebaran. Salah satunya adalah bagaimana masyarakat desa berbondong-bondong ke kota dengan mengenakan pakaian baru, tetapi di sisi lain, banyak yang menghadapi kesulitan akibat perjalanan panjang dan melelahkan. Lirik “Hilir mudik jalan kaki pincang sampai sore, Akibatnya tengteng selop sepatu terompe” menunjukkan realitas bahwa tradisi mudik tidak selalu berjalan dengan nyaman bagi semua orang.
Kritik yang lebih tajam muncul pada bagian akhir lagu, di mana Ismail Marzuki menyoroti perilaku negatif sebagian masyarakat kota yang menyalahgunakan momen lebaran untuk berjudi dan mabuk-mabukan. Padahal itu tidak hanya terjadi di kota, tetapi di desa pun juga terjadi fenomena itu. Lirik seperti “Kesempatan ini dipakai buat berjudi, Sehari semalam main ceki mabuk brandi” mencerminkan bagaimana sebagian orang mengabaikan esensi Idul Fitri dan malah terjerumus dalam kebiasaan yang merugikan.
Baca juga: Kota Malang Diprediksi Banjir Wisatawan saat Libur Lebaran
Bahkan, lirik terakhir lagu ini menyentil praktik korupsi yang marak terjadi, dengan kalimat “Kondangan boleh kurangin, Korupsi jangan kerjain”, yang mengajak masyarakat untuk menjauhi perilaku yang merusak moral.
Kritik Ismail Marzuki terhadap korupsi dalam lagu ini tetap relevan hingga sekarang. Di berbagai sektor, praktik korupsi masih menjadi tantangan besar, merugikan masyarakat luas, dan mencederai nilai-nilai keadilan.
Korupsi di Indonesia kerap terjadi dalam berbagai bentuk, termasuk dalam distribusi bantuan sosial yang seharusnya membantu masyarakat kecil. Kasus-kasus penyelewengan dana bansos yang mencuat dalam beberapa tahun terakhir menunjukkan bahwa tidak semua pemimpin benar-benar menjamin kemakmuran rakyat.
Secara ideal, pemimpin memang seharusnya menjamin kesejahteraan rakyat. Namun, di Indonesia, korupsi yang merajalela justru sering menjadi penyebab utama kemiskinan dan ketimpangan sosial. Banyak pejabat yang memperkaya diri sendiri dengan dana yang seharusnya digunakan untuk kesejahteraan rakyat.
Alih-alih makmur, banyak rakyat masih hidup dalam kesulitan, terutama menjelang Lebaran, ketika harga kebutuhan pokok melonjak dan biaya mudik semakin mahal. Lirik ini, jika diinterpretasikan secara kritis, terasa seperti ironi—sebuah harapan yang hingga kini masih jauh dari kenyataan.
Selain itu, fenomena pejabat pamer kemewahan saat Lebaran, mulai dari rumah mewah, pakaian mahal, hingga open house besar-besaran, sering kontras dengan kondisi rakyat yang masih kesulitan. Hal ini menunjukkan bahwa spirit Lebaran sebagai momen kesederhanaan dan kejujuran sering kali dikaburkan oleh praktik korupsi dan gaya hidup hedonis para elite.
Baca juga: Daftar SPBU 24 Jam di Malang Sebagai Referensi Pemudik Agar Tidak Kehabisan Bahan Bakar saat Mudik Lebaran
Sebagai komponis yang dikenal kritis terhadap kondisi sosial-politik, mungkin jika Ismail Marzuki masih hidup di era sekarang, ia akan menulis lagu Hari Lebaran dengan nuansa kritik yang lebih tajam. Bisa saja liriknya tidak sekadar berbicara tentang kemenangan dan kegembiraan, tetapi juga menjadi sindiran terhadap pejabat yang menikmati hari raya dari hasil korupsi, sementara rakyat kecil masih berjuang untuk sekadar membeli baju baru atau pulang kampung.
Lagu ini mengandung pesan moral yang kuat, mulai dari pentingnya silaturahmi, realitas sosial yang penuh tantangan, hingga kritik terhadap perilaku menyimpang seperti perjudian dan korupsi. Melalui lagu ini, Ismail Marzuki mengingatkan bahwa esensi Idul Fitri bukan hanya soal perayaan, tetapi juga tentang bagaimana seseorang memperbaiki diri dan menjauhi perbuatan tercela, termasuk korupsi yang merusak nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan. Minal aidin Wal Faidzin.
Baca Juga Berita Tugumalang.id di Google News
Penulis: jatmiko, redaktur tugumalang.id